Tiga Langkah Mitigasi Terorisme di Abad Kecerdasan Buatan

Tiga Langkah Mitigasi Terorisme di Abad Kecerdasan Buatan

- in Narasi
93
0
Tiga Langkah Mitigasi Terorisme di Abad Kecerdasan Buatan

Hari ini kita hidup di abad kecerdasan buatan. Era dimana teknologi super cerdas telah merangsek ke dalam kehidupan kita. Kecerdasan buatan hari ini bukan lagi barang elite yang hanya bisa diakses kalangan terentu. Nyaris semua lapisan sosial hari ini bisa mengakses kecerdasan buatan.

Produk kecerdasan buatan hari ini kian beragam. Ada aplikasi yang bisa menjawab pertanyaan apa pun. Ada aplikasi yang bisa memberikan kita ide tulisan atau konten yang potensial viral di medsos. Ada pula aplikasi yang bisa membuatkan musik dan lirik sampai menirukan suara penyanyi tertentu. Bahkan, ada aplikasi yang bisa meniru wajah seseorang secara nyaris sempurna.

Kecerdasan buatan di satu sisi kian mendorong kreativitas manusia sempai menembus batas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun, di satu sisi kecerdasan buatan juga mendatangkan ancaman krisis baru. Beragam aplikasi kecerdasan buatan dimanfaatkan untuk melakukan penipuan online dan sebagainya.

Di saat yang sama, perkembangan kecerdasan buatan juga kian menggusur peran manusia di dunia industri. Terakhir, kecerdasan buatan mulai diadaptasi dan dioptimalisasikan oleh kalangan radikal untuk mempropagandakan ideologi kebencian dan kekerasan. Adaptasi kecerdasan buatan di kalangan radikal teroris adalah fenomena yang sangat mengkhawatirkan.

Serangan Teror dengan Senjata Berbasis AI, Mungkinkah?

Hari ini, mereka barangkali hanya memakai teknologi seperti Deepfake, Chatbot, atau AI Generative untuk memproduksi dan mendiseminasi konten ekstremisme di dunia maya. Bukan tidak mungkin, di masa depan mereka akan menggunakan teknologi kecerdasan buatan seperti pesawat tanpa awak untuk melancarkan serangan teror.

Eric Schmidt dan Robert Work dalam artikelnya berjudul AI at War menjelaskan bahwa penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam perang menunjukkan peningkatan yang signifikan. Amerika Serikat sudah menggunakan teknologi kecerdasan buatan dalam perang di Afganistan dan Irak. Mulai dari penggunaan pesawat pembom tanpa awak, hingga robot penjinak bom yang dikendalikan jarak jauh.

Menariknya, Schmidt dan Work juga menjelaskan bahwa belakangan ini teknologi persenjataan berbasis kecerdasan buatan ini juga digunakan oleh aktor non negara (non-state actor). Seperti kelompok ISIS di Suriah dan Irak yang juga kerap memakai pesawat nir-awak untuk melakukan serangan. Penggunaan senjata mutakhir berbasis IA oleh aktor non-negara ini jelas merupakan ancaman serius bagi keamanan global.

Bisa dibayangkan betapa destruktifnya efek yang mungkin ditimbulkan, apabila kelompok teroris mampu mengembangkan senjata berbasis AI seperti pesawat tanpa awak atau pun sejenisnya. Jika itu terjadi, maka seragan teror dengan skala besar dan masif hanya tinggal menunggu waktu saja. Disinilah diperlukan langkah mitigasi dalam menanggulangi terorisme di abad kecerdasan buatan ini.

Bagaimana Mitigasi Terorisme di Era AI?

Langkah mitigasi pertama adalah membuat regulasi yang memastikan bahwa teknologi persenjataan berbasis AI seperti pesawat tanpa awak dan sejenisnya tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok non-negara. Apalagi kelompok ekstrem seperti jaringan teroris dan sebagainya.

Persenjataan berbasis teknologi AI idealnya hanya dimiliki oleh negara yang memang memiliki otoritas atau wewenang untuk menggunakannya dalam kondisi tertentu. Pembatasan atau lebih tepatnya pelarangan senjata berbasis AI dimiliki aktor non-negara ini sangat penting untuk menjaga keamanan global. Di tangan kelompok ekstremis, senjata berbasis AI itu hanya akan jadi mesin pembunuh yang mengerikan.

Langkah mitigasi kedua adalah masing-masing negara, tidak terkecuali Indonesia harus meningkatkan kualitas dan kuantitas alat persenjataannya. Terutama mengadaptasi senjata berbasis teknologi kecerdasan buatan sebagai bagian dari Alutsista (alat utama senjata) nasional. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara dengan wilayah teritorial yang sangat luas.

Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang tersebar di atas samudera. Kondisi geografis itu tentu menghadirkan tantangan pertahanan dan keamanan nasional yang kompleks. Termasuk dalam hal menangkal gerakan terorisme. Indonesia kerap dijadikan target markas gerakan terorisme, karena kondisi geografisnya yang terbuka dan bisa dikatakan minim pengawasan.

Maka, jaringan teroris global bisa dengan leluasa keluar masuk wilayah Indonesia melalui jalur laut yang memang minim pengawasan. Mereka juga membawa senjata dari luar dengan leluasa. Maka dari itu, sistem keamanan nasional kita tentu wajib di-upgrade. Salah satunya dengan mengadaptasi teknologi kecerdasan buatan.

Langkah mitigasi ketiga adalah mengedukasi publik ihwal hakikat AI sebagai teknologi ciptaan manusia yang idealnya berorientasi para tujuan kemanusiaan, bukan sebaliknya justru menimbulkan kerusakan. Perkembangan AI dengan demikian, harus dikawal agar tetap berada di jalur yang konstrukif, bukan destruktif.

Masyarakat harus diedukasi agar tidak alergi apalagi anti dengan AI karena takut perannya tergeser. Namun, di saat yang sama publik juga harus diedukasi tentang bahaya AI jika jatuh di tangan kelompok radikal-ekstrem.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah masyarakat harus memiliki kemampuan untuk mengenali corak propaganda radikalisme yang dihasilkan melalui teknologi kecerdasan buatan. Hal ini penting agar umat beragama tidak mudah dimobilisasi oleh narasi menyesatkan yang sengaja diproduksi kaum radikal dengan piranti kecerdasan buatan.

Facebook Comments