Membaca Anatomi Sempalan JI; Antara Gerakan Tarbiyah dan Aksi Amaliyah

Membaca Anatomi Sempalan JI; Antara Gerakan Tarbiyah dan Aksi Amaliyah

- in Narasi
114
0
Membaca Anatomi Sempalan JI; Antara Gerakan Tarbiyah dan Aksi Amaliyah

Sejak didirikan pertama kali pada 1993 oleh duo Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar, Jamaah Islamiyyah terus menjalani evolusi. Organisasi ini tidak sepenuhnya solid. Friksi internal membuat JI melahirkan kelompok-kelompok sempalan.

Bahkan, Baasyir sendiri yang merupakan founder utama JI pun akhirnya menyempal dari organsiasi yang diinisiasi ya tersebut. Ia membentuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Tidak lama setelahnya, Baasyir juga mundur dari MMI, lalu mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid alias JAT.

Selain Baasyir, banyak tokoh JI lainnya yang membentuk organisasi sempalan. Misalnya, Oman Abdurrahman yang membentuk Jamaah Ansharud Daulah. Meski menyempal dari JI, namun sejumlah organisasi itu mengusung agenda yang sama; yakni mendirikan kekhilafahan Islam dengan jalan jihad fisik dan menghalalkan teror atau kekerasan.

Kini, selang beberapa saat pasca JI membubarkan diri, kita dikejutkan dengan kemunculan organisasi teroris baru, yakni Daulah Islamiyyah. Konon, Daulah Islamiyyah adalah sempalan JI yang didirikan oleh pihak-pihak yang tidak menerima keputusan senior JI untuk membubarkan organisasi tersebut.

Di titik inilah pentingnya kita membaca kembali anatomi sempalan JI untuk memahami bagaimana organsiasi ekstrem ini bermetamorfosa dan bertransformasi. Jika diamati, anatomi sempalan JI ini dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya dua corak.

Dua Corak Sempalan Jamaah Islamiyyah

Pertama, sempalan JI yang berorientasi pada gerakan dakwah kultural dan dakwah tarbiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan keagamaan di seluruh wilayah Indonesia. Kelompok sempalan JI yang fokus pada gerakan kultural dan tarbiyah ini memang tidak mengorganisasi gerakan teror maupun kekerasan.

Namun, mereka lebih memilih jalur pendidikan agama untuk mentransmisikan paham yang mereka yakini. Pada dasarnya, mereka masih setia memperjuangkan berdirinya negara atau kekhalifahan Islam. Hanya saja, mereka cenderung menghindari cara konfrontatif, lantaran menganggap strategi konfrontasi justru merugikan kepentingan mereka.

Sempalan JI yang berjuang di jalur kultural dan tarbiyah ini umumnya aktif mendirikan lembaga pendidikan keislaman seperti pesantren atau sekolah yang berkarakter paham salafi. Di lembaga tersebut, siswa atau santri diajarkan cara pandang keaagamaan yang tekstualistik, anti kebangsaan dan alergi pada kearifan lokal. Tujuannya tentu berinvestasi menciptakan generasi yang mendukung gerakan pendirian daulah atau khilafah islamiyyah.

Kedua, sempalan JI yang tetap setia di jalur gerakan amaliyah, yakni menggunakan jalur kekerasan dan teror untuk mewujudkan agenda mereka mendirikan negara atau imperium Islam. Sempalan ini tetap meyakini bahwa jalan paling efektif memperjuangkan berdirinya negara dan khilafah Islam adalah dengan jihad fisik, merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah.

Sempalan inilah yang melahirkan sejumlah sel jaringan teroris yang mewujud ke dalam banyak nama. Salah satunya yang belakangan mencuat, yakni Daulah Islamiyyah. Kelompok sempalan Daulah Islamiyyah adalah satu dari sekian gerakan ekstrem yang berorientasi pada aksi amaliyah, seperti penyerangan bersenjata, bom bunuh diri, dan sebagainya.

Kelompok sempalan yang berorientasi pada aksi amaliyah ini akan meneruskan startegi gerakan JI yang konfrontatif, adaptif pada cara kekerasan, dan membangun regenerasi jaringan terorisme secara efektif meski sembunyi-sembunyi. Seperti manuver Daulah Islamiyyah yang belakangan ini sel-nya ditemukan di banyak kota di Indonesia.

Langkah Preventif Terorisme di Level Hulu

Meski dua corak sempalan JI itu punya startegi, metode, dan karakter yang berbeda, namun pada dasarnya mereka punya tujuan yang sama. Dan, kedua faksi sempalan itu sama berbahayanya. Faksi tarbiyah mungkin tidak tampak efek destruktifnya saat ini.

Namun, jika dibiarkan mereka akan menjadi bom waktu yang mengerikan di masa depan. Sedangkan faksi amaliyah jelas akan menimbulkan dampak kerusakan dalam konteks jangka pendek.

Maka, penaggulangan terorisme memang tidak bisa hanya dibebankan pada aparat keamanan saja. Polisi dengan satuan anti teror-nya hanya efektif mengatasi persoalan terorisme di level hilir dengan penindakan dan penegakan hukum yang tepat dan terukur. Di level hulu, pemberantasan terorisme membutuhkan sinergi bersama antar seluruh eksponen bangsa.

Penanggulangan terorisme di level hulu ini merupakan tindakan preventif yang idealnya mengedepankan pendekatan kultural. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif tokoh dan lembaga keagamaan untuk mengampanyekan paradigma moderasi beragama ke seluruh umat. Terutama kelompok milenial dan gen Z yang menjadi target utama regenerasi gerakan ekstrem.

Di saat yang sama, pemerintah harus tegas pada lembaga pendidikan keagamaan yang terafiliasi gerakan ekstremisme atau setidaknya mengajarkan paham radikal ke murid-muridnya. Lembaga keagamaan yang serba eksklusif dengan kurikulum yang intoleran bahkan radikal adalah mesin yang akan mencetak kader dan calon teroris dimasa depan. Diperlukan regulasi khusus agar aparat bisa menindak sempalan organisasi teroris berkedok lembaga pendidikan ini.

Facebook Comments