Radikalisasi Gen Z: Ruang Aman Komunikasi Adalah Kunci Penting Literasi Digital*

Radikalisasi Gen Z: Ruang Aman Komunikasi Adalah Kunci Penting Literasi Digital*

- in Narasi
59
0
Radikalisasi Gen Z: Ruang Aman Komunikasi Adalah Kunci Penting Literasi Digital*

Di era serba media seperti sekarang, media sosial bukan hanya menjadi sarana hiburan dan komunikasi, tetapi juga medan tempur ideologi ekstremis yang mengincar anak muda.

Kasus penangkapan dua orang terduga teroris dalam dua hari berturut-turut di Solo dan Malang di akhir bulan Juli lalu, misalnya, menunjukkan betapa generasi z yang dikenal sebagai digital native tetap saja menjadi target rentan konten-konten radikal-ekstremis.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan lebih penting lagi, bagaimana kita bisa mencegahnya?

Sebagai bagian dari Gen Z yang sedikit mempelajari teknologi media dan ilmu komunikasi, saya mencoba mensimulasikan bagaimana konten-konten dengan ideologi ekstrem itu beredar di media sosial hingga mempengaruhi orang.

Jebakan Algoritma

Bayangkan ada seorang remaja yang aktif di Instagram dan TikTok, menemukan dirinya terjebak dalam pusaran konten radikal yang membahayakan. Untuk memudahkan kita panggil saja Sisi.

Kita mulai dari algoritma media sosial yang canggih namun tak berperasaan. Saat Sisi mengklik beberapa video tentang isu-isu sosial, algoritma segera menyesuaikan diri.

Video-video penuh emosi tentang “ketidakadilan” dan “perjuangan” mulai mendominasi berandanya. Algoritma ini, yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna, malah membawa Sisi ke dalam jurang konten ekstremisme.

Dalam hitungan hari, Sisi tidak hanya terpapar konten visual yang intens, tetapi juga undangan untuk bergabung dengan grup diskusi di Telegram. Di sini, simpatisan ideologi ekstremis berkumpul, berbagi pandangan, dan mendorong aksi radikal.

Dan, jangan salah, iman yang kokoh atau jiwa nasionalisme yang menjulang tinggi tidak selamanya bisa menjadi vaksin ampuh untuk menangkal virus ekstremis. Mungkin Sisi pada awalnya resisten. Namun, teori kultivasi milik Gerbner dan kawan-kawannya menunjukkan sebaliknya. Katanya, dalam publikasi berjudul Living with Television: The Dynamics of the CuItivation Process, paparan berulang terhadap konten tertentu bisa membentuk persepsi atau ilusi terhadap dunia nyata.

Maka bagi Sisi, keterpaparan konten ekstremis secara terus-menerus dapat membuat ideologi tersebut terlihat normal dan dapat diterima. Di sinilah letak pendidikan literasi digital dan kritisisme media sebetulnya menjadi sangat penting.

Perisai Fundamental Literasi Digital

Pentingnya literasi digital tidak bisa diremehkan. Generasi muda-mudi harus dibekali kemampuan untuk mengenali dan memverifikasi informasi. Ini meliputi bagaimana para siswa–jika medium pengajarannya adalah sekolah–belajar cara memeriksa sumber informasi, mengenali bias, dan berpikir kritis tentang apa yang dia lihat online. Pengetahuan ini adalah perisai pertama yang melindungi mereka dari konten berbahaya.

Namun, literasi digital saja tidak cukup. Generasi muda perlu didorong untuk mendiskusikan konten yang mereka temui dengan orang dewasa yang tepercaya. Juga, orang tua dan guru tetap harus aktif dalam memberikan dukungan sekaligus bimbingan, menciptakan lingkungan yang aman untuk berdiskusi.

Misalnya, kembali ke Sisi. Ketika dia mulai meragukan (atau justru mengamini) konten ekstremis yang ditemui di internet, Sisi mafhumnya akan mencari ruang yang dianggap aman untuk mencakap hal itu tanpa takut dihakimi. Mengapa?

Konten ekstremis, apalagi yang berkedok agama, termasuk hal tabu dan berstatus haram mugholadhoh dalam konstruksi masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.

Maka ruang aman di sini menjadi krusial sebagai support system, selain literasi digital yang mewedarkan nalar kritis di tengah disrupsi informasi. Ruang aman di sini tentu saja bisa dimengerti sebagai orang tua, sahabat, guru, atau teman online. Yang terakhir itu adalah lumrah belaka bagi Gen Z.

Kesadaran akan ruang aman bagi mereka yang mengalami krisis identitas karena paparan konten ekstremis ini merujuk pada teori “spiral keheningan” milik Elisabeth Noelle-Neumann. Dalam buku “The Spiral of Silence, Public Opinion-Our Social Skin”, Noelle-Neumann menjelaskan bahwa individu cenderung diam jika pandangan mereka dianggap menyimpang dari norma sosial.

Dalam konteks ini, anak muda yang terpapar ideologi ekstremis mungkin merasa didukung oleh komunitas (online) mereka dan enggan menyuarakan pandangan berbeda karena takut diasingkan. Ini memperkuat keterlibatan mereka dalam kelompok ekstremis, karena mereka merasa mendapatkan validasi dan dukungan.

Tanggung Jawab Kolektif

Tentu saja, tanggung jawab untuk mengentaskan masalah ekstremisme ini tidak hanya ada pada individu dan keluarga. Platform media sosial juga harus memperketat kebijakan mereka dalam memantau dan menghapus konten ekstremis. Penggunaan teknologi deteksi konten yang lebih baik, serta kerjasama dengan pemerintah dan lembaga internasional, bisa membantu mengurangi penyebaran ideologi berbahaya.

Namun, bagaimana jika seseorang sudah terlanjur terpapar dan terpengaruh? Di sinilah program deradikalisasi berperan.

Sisi, misalnya, bisa diarahkan untuk mengikuti konseling dan terapi yang disediakan oleh profesional berpengalaman dalam upaya radikalisasi. Program yang melibatkan tokoh agama, psikolog, dan pendidik bisa membantu menarik mereka kembali ke dalam marka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendekatan swa-radikalisasi yang dilakukan tidak hanya fokus pada mengubah pandangan mereka, tetapi juga memberikan dukungan emosional dan sosial yang mereka butuhkan. Ini diperlukan agar siapapun yang pernah terpapar akan merasa bahwa ada komunitas yang mendukung perkembangan dirinya tanpa perlu mengadopsi ideologi ekstremis.

Sebab, jika salah penanganan, Sisi atau siapa pun yang tadinya nasionalis-kritis, karena trigger atau paparan konten ekstremis, justru akan berbalik atau semakin teguh untuk menjadi agen ISIS dan peranakannya.

Facebook Comments