Deklarasi Istiqlal: Komitmen Paus Fransiskus dan Indonesia Cegah Dehumanisasi dan Eksploitasi Agama

Deklarasi Istiqlal: Komitmen Paus Fransiskus dan Indonesia Cegah Dehumanisasi dan Eksploitasi Agama

- in Narasi
65
0
Deklarasi Istiqlal: Komitmen Paus Fransiskus dan Indonesia Cegah Dehumanisasi dan Eksploitasi Agama

Pada Kamis (5/9/2024) Masjid Istiqlal Jakarta menjadi saksi dialog lintas agama. Momen ini ditandai dengan hadirnya Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik di rumah ibadah umat Muslim terbesar se-Asia Tenggara itu.

Prosesi ini sangat monumental karena melahirkan sebuah deklarasi penting yang disebut Deklarasi Istiqlal 2024. Deklarasi ini dibacakan oleh Romo Christophorus Tri Harsono dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Ismail Cawidu selaku juru bicara Masjid Istiqlal. Beberapa pimpinan organisasi keagamaan lainnya di Tanah Air juga hadir mendampingi.

Paus Fransiskus dan Imam Masjid Istiqlal Prof. Dr. Nasaruddin Umar menandatangani Deklarasi Istiqlal 2024 ini diiringi dengan beberapa tokoh lintas agama yang hadir. beberapa Mengutip BBC, para tokoh tersebut, di antaranya Yahya Staquf dari Nahdlatul Ulama (NU), Abdul Mu’ti dari Muhammadiyah, Jacky Manuputty dari Gereja Protestan, Wisnu Bawa Tenaya dari perwakilan Hindu, Philips Kuncoro Wijaya dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Bhante Dhammasubho dari Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Budi Tanuwibowo dari Konghucu, dan Engkus Kuswara dari aliran kepercayaan.

Terdapat dua poin penting dalam Deklarasi Istiqlal 2024 yakni dehumanisasi (krisis kemanusiaan) dan perubahan iklim. Romo Christophorus memulai pembacaannya. Pertama, terkait fenomena global dehumanisasi ditandai dengan meluasnya kekerasan dan konflik. Hal itu seringkali membawa jumlah korban.

Lebih mengkhawatirkan agama seringkali diperalat dalam hal ini. Sehingga mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang terutama perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia. Padahal peran agama harus mencakup peningkatan dan pemeliharaan martabat setiap kehidupan manusia.

Kedua, eksploitasi manusia atas ciptaan rumah kita bersama telah berkontribusi terhadap perubahan iklim. Itu menimbulkan berbagai konsekuensi destruktif seperti bencana alam, pemanasan global dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini telah menjadi hambatan bagi kehidupan bersama yang harmonis.

Ismail Cawidu melanjutkan. Menyikapi dua krisis tersebut, sambil berpegang pada ajaran agama masing-masing dan falsafah negara Pancasila di Indonesia. Kami bersama pemimpin agama lain yang hadir menyerukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama-agama kita harus dimajukan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang melanda dunia kita.
  2. Sejatinya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk meningkatkan budaya hormat, martabat, bela rasa, rekonsiliasi dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan perusakan lingkungan.
  3. Para pemimpin agama khususnya terinspirasi oleh narasi dan tradisi rohani masing-masing, harus bekerjasama dalam menanggapi krisis-krisis tersebut di atas; mengidentifikasi penyebabnya dan mengambil tindakan yang tepat.
  4. Oleh karena terdapat satu keluarga umat manusia di seluruh dunia, dialog antar umat beragama harus diakui sebagai sebuah sarana yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik lokal, regional, dan internasional. Terutama, konflik-konflik yang dipicu oleh penyalahgunaan agama.
  5. Selain itu, keyakinan dan ritual-ritual agama kita memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia. Dengan demikian, menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia.
  6. Menyadari bahwa lingkungan hidup yang sehat, damai, dan harmonis sangat penting menjadi hamba Allah dan pemelihara ciptaan yang sejati, kami dengan tulus mengimbau semua orang yang berkehendak baik untuk mengambil tindakan tegas, guna menjaga keutuhan lingkungan hidup dan sumber dayanya, karena kita telah mewarisinya dari generasi sebelumnya, dan berharap untuk dapat meneruskannya kepada anak cucu kita.

Kekerasan atas nama agama sering menjadi sorotan dalam dinamika kehidupan sosial di Indonesia, terutama ketika agama digunakan sebagai alat untuk memperkuat polarisasi dan konflik. Salah satu isu yang mencerminkan hal ini adalah pelarangan beribadah bagi umat Kristen serta penolakan pendirian gereja di beberapa wilayah.

Di beberapa daerah di Indonesia, umat Kristen kerap mengalami hambatan dalam menjalankan ibadah mereka. Contoh yang sering terjadi adalah penolakan masyarakat lokal terhadap pendirian gereja baru, dengan alasan bahwa kehadiran rumah ibadah ini dianggap mengancam “ketenangan” atau keseimbangan sosial.

Dalam beberapa kasus, terdapat tindakan agresif dari sekelompok masyarakat untuk menghentikan aktivitas ibadah, dengan argumen bahwa pendirian gereja tersebut tidak sesuai dengan “kehendak” penduduk mayoritas di sana. Ironisnya, aksi-aksi semacam ini justru bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia.

Isu pelarangan beribadah dan pendirian gereja ini juga kerap diwarnai oleh aksi-aksi kekerasan, baik dalam bentuk verbal maupun fisik. Beberapa kelompok ekstremis mengklaim bahwa keberadaan tempat ibadah agama minoritas dapat memicu ketegangan sosial dan moralitas yang mereka pandang “terancam”. Hal ini menunjukkan bagaimana agama dipolitisasi dan digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu atas yang lain, dan dalam beberapa kasus, bahkan mengarah pada persekusi.

Dalam konteks ini, dokumen kemanusiaan Deklarasi Istiqlal 2024 menjadi sangat krusial. Di samping tensi agama di luar negeri, deklarasi ini dapat mendorong para pemimpin agama, baik Islam maupun Kristen, untuk bersama-sama mengedepankan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan hormat terhadap martabat manusia. Dengan demikian, narasi agama bisa diubah menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah.

Facebook Comments