Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia menjadi momen bersejarah yang menandai komitmen kuat Vatikan dalam membangun hubungan antaragama, khususnya antara umat Katolik dan Muslim. Sebagai pemimpin spiritual umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus memilih Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sebagai titik awal dari rangkaian perjalanan kerasulannya yang panjang, yang juga mencakup Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura.
Indonesia menjadi pilihan Paus Fransiskus bukanlah kebetulan, melainkan manifestasi dari pandangan Paus yang progresif terhadap dialog lintas agama dan keinginannya untuk memecah ketegangan historis antara Islam dan Kristen. Dalam beberapa dekade terakhir, hubungan antara umat Muslim dan Kristen seringkali dipenuhi ketegangan, terutama di kawasan Timur Tengah. Namun, Indonesia menghadirkan wajah Islam yang berbeda. Di negeri ini, umat Islam dan Kristen hidup berdampingan dengan relatif harmonis dalam naungan Pancasila, yang menjadi landasan kebhinekaan dan toleransi.
Uskup Agung Jakarta, Ignatius Suharyo, menjelaskan bahwa Vatikan, di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus, ingin mempelajari model kerukunan beragama yang ada di Indonesia. Menurut Ignatius, Paus Fransiskus terkesan dengan prinsip dasar negara ini yang memberikan ruang bagi semua agama untuk berkembang secara damai, berbeda dengan beberapa negara Timur Tengah yang kerap didominasi oleh satu agama.
Paus Fransiskus melihat Indonesia sebagai miniatur dunia yang pluralis, di mana keragaman agama dan budaya dapat hidup berdampingan dalam harmoni. Ketika ditanya mengapa Indonesia dipilih sebagai destinasi pertama dalam rangkaian turnya, Jonathan Tan, seorang pengamat dari Vatikan, menyatakan bahwa Paus Fransiskus ingin membuka jalan baru dalam hubungan antara Islam dan Kristen yang tidak defensif, melainkan terbuka dan penuh dengan niat baik. Indonesia, dengan pengalaman panjangnya dalam mengelola pluralisme, menjadi contoh penting bagi dunia.
Negara Indonesia memiliki sejarah yang mencerminkan komitmen bangsa ini terhadap kerukunan dan toleransi antarumat beragama. Pada momen bersejarah ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.” Keputusan ini merupakan hasil dari diskusi yang penuh hikmah antara Bung Hatta dan tokoh-tokoh Islam pada saat itu. Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, keputusan ini mencerminkan keinginan untuk membangun negara kesatuan yang inklusif, di mana semua agama dihormati.
Keputusan tersebut menjadi landasan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tidak berbasis agama tetapi didasarkan pada Pancasila, sebuah ideologi yang menghargai keberagaman. Vatikan, melalui kunjungan Paus Fransiskus, sangat tertarik untuk mempelajari lebih lanjut bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia juga disambut oleh berbagai tokoh agama, termasuk dari organisasi-organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, menyambut kunjungan Paus Fransiskus dengan ucapan yang menggarisbawahi keragaman dan kesatuan bangsa Indonesia: “Selamat datang dan selamat menikmati negeri persatuan dan kesatuan, negeri toleransi dan persaudaraan, bangsa Bhinneka Tunggal Ika.”
Pernyataan ini mencerminkan esensi dari kerukunan Indonesia, di mana perbedaan agama bukanlah alasan untuk memecah belah, melainkan untuk saling melengkapi dalam kebersamaan. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan pertemuan dengan Paus Fransiskus ini sebagai platform untuk mendiskusikan peran Indonesia dalam perdamaian dunia, terutama dalam isu-isu global seperti Palestina. Melalui kunjungan ini, Indonesia dapat mempertegas posisinya sebagai pelopor dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian di panggung internasional.
Salah satu aspek penting dari kunjungan Paus Fransiskus adalah komitmen Vatikan dalam memperluas dialog antaragama. Paus Fransiskus dikenal sebagai tokoh yang memprioritaskan pendekatan inklusif dan humanis dalam menjalankan tugas kerasulannya. Kunjungan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga merupakan langkah konkret untuk memperkuat kerja sama lintas iman yang bertujuan mempromosikan perdamaian dan mengatasi ketegangan antara umat Muslim dan Kristen yang telah lama ada.
Jonathan Tan menilai bahwa dengan memilih Indonesia, Paus Fransiskus ingin menunjukkan bahwa dialog antaragama harus dimulai dari negara-negara yang memiliki keragaman agama seperti Indonesia. Paus Fransiskus percaya bahwa Indonesia, dengan sejarah panjang kerukunan antarumat beragama, dapat menjadi contoh bagi dunia dalam membangun hubungan yang lebih baik antara Islam dan Kristen. Indonesia, di bawah naungan Pancasila, menunjukkan bahwa dengan dialog yang terbuka dan saling menghormati, keragaman agama bisa menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah momentum penting yang memperlihatkan arti strategis Indonesia dalam hubungan global antara Islam dan Kristen. Bagi Paus Fransiskus, Indonesia bukan sekadar negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi juga sebuah contoh bagaimana kerukunan antaragama dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Kunjungan ini juga menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di dunia sebagai negara yang mempromosikan perdamaian, dialog, dan toleransi.
Melalui dialog lintas agama, tantangan radikalisme dapat dihadapi dengan lebih efektif, dan dunia dapat melihat Indonesia sebagai model dalam membangun harmoni di tengah perbedaan. Paus Fransiskus telah membuka pintu untuk hubungan yang lebih baik antara Islam dan Kristen, dan Indonesia, dengan segala kebhinekaannya, berada di garis depan dalam perjalanan ini.