Toleransi beragama adalah energi lembut yang dapat menyatukan perbedaan. Itulah kiranya, salah satu ajaran mulia Rasulullah SAW sejak dulu. Dan rasa-rasanya kita patut berkaca pada khazanah sejarah Islam manakala Nabi Muhammad SAW menyatukan masyarakat yang heterogen di Madinah. Kalangan elite suku di Madinah melakukan kesepakatan politik dengan mengangkat Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik Madinah.
Pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin Kota Madinah merupakan representasi harapan mereka untuk mewujudkan toleransi dan perdamaian di kawasan tersebut. Konflik kesukuan telah membawa kehidupan penduduk Madinah ke dalam penderitaan. Di tengah penduduk Yastrib yang heterogen, Nabi Muhammad SAW tampil sebagai pemimpin politik sekaligus juru damai/hakim.
Sejak awal Rasulullah SAW telah menanamkan sikap toleransi beragama kepada kaum muslimin di Madinah. Toleransi beragama yang diajarkan Rasulullah SAW tentu harus didasari pada menegakkan keadilan, menjaga keseimbangan, toleransi terhadap orang lain, tidak bertindak ekstrim, berpengetahuan luas dan menerapkan perilaku kasih sayang.
Dalam rangka mewujudkan sikap toleransi beragama di kalangan umat Islam Madinah, Rasulullah SAW menegakkan hukum seadil adilnya. Siapa pun yang terjerat hukum harus diadili. Tidak tebang pilih dan tidak pandang bulu. Miskin kaya, pribumi pendatang, bangsawan rakyat mendapat perlakuan hukum yang sama.
Toleransi beragama juga dilandasi oleh moderasi adalah seimbang, tidak berat sebelah. Selama berada di Madinah Rasulullah SAW mengajarkan setidaknya empat keseimbangan yang harus dijalankan oleh umat Islam. Keempat keseimbangan itu meliputi keseimbangan antara dunia dan akhirat, berpikir dan berdzikir, hablum minallah dan hablum min al-nas, serta iman dan amal shalih.
Fakta sejarah berbicara bahwa strategi politik awal Nabi Muhammad SAW adalah mempersaudarakan penduduk Madinah yang multikultural. Persaudaraan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar diabadikan dalam Al-Qur’an, Q.S. Al-Hasyr ayat 9 yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
Nabi Muhammad SAW menanamkan spirit ukhuwah Islamiyah sebagai pengganti pondasi sosial masyarakat Yastrib yang beretos kan fanatisme kesukuan. Persaudaraan yang Islami tidak dimaknai sebatas persaudaraan sesama umat muslim, akan tetapi persaudaraan yang meliputi semua elemen penduduk Madinah yang terikat janji dan ikrar setia kepada Nabi sebagai pemimpin politik. Spirit ini kemudian membentuk ummah wahidah (Misrawi, 2009: 306). Fakta historis ini menegaskan bahwa toleransi menjadi salah satu landasan etika politik Nabi Muhammad SAW selama memimpin Madinah.
Kemudian spirit toleransi dan musyawarah ini dimaktubkan dalam Piagam Madinah. Jika dikaji secara historis, piagam tersebut merupakan konstitusi Islam pertama yang menghubungkan relasi Islam dengan politik. Dalam piagam ini termaktub konsensus seluruh penduduk Madinah berkomitmen untuk mendukung, menghargai dan saling bekerja sama dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis, toleran, dan damai. Semua penduduk Madinah dituntut bersinergi membela Madinah dari serangan luar. Dari sinilah, penduduk Madinah memiliki kedaulatan bernegara.
Pada intinya, etika politik Nabi Muhammad SAW selalu mengedepankan persaudaraan dan integritas keumatan. Artinya, semua aktivitas politiknya selama di Madinah berorientasi pada toleransi, keadilan, persatuan, dan kepentingan umum daripada kepentingan golongannya. Selain itu, etika politik Nabi Muhammad SAW mengedepankan prinsip sopan santun, musyawarah, dan kejujuran saat berkomunikasi dengan rakyat Madinah.
Oleh karenanya, marilah kita belajar toleransi sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW dalam kaitannya persaudaraan kebangsaan untuk mempersatukan masyarakat Madinah dalam bingkai persaudaraan kebangsaan. Contoh nyata ditunjukkan bangsa Indonesia kala Paus Fransiskus yang melakukan kunjungan ke Indonesia, dimana berjalan man dan damai serta masyarakat menunjukkan rasa toleransinya. Dari sini bangsa ini yakin untuk terus menjaga warisan sikap toleransi Rasulullah SAW untuk terus bersemi di bumi NKRI.