Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

- in Narasi
230
0
Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi adalah sebuah komitmen yang jauh melampaui sekadar tampilan fisik. Sayangnya, sebagian kelompok sering kali hanya menekankan pada aspek-aspek tampilan luar yang bersifat simbolik, seperti cara berpakaian atau perilaku-perilaku yang dianggap mendukung kepentingan pribadi dan kelompok. Ada pula kelompok yang mengklaim mengikuti Nabi secara kaffah, tetapi dengan cara menjadikan Islam sebagai ideologi politik.

Meneladani Nabi secara kaffah bukan hanya sekadar meniru cara berpakaian atau memanfaatkan sebagian aspek dari kehidupan beliau untuk pembenaran perilaku tertentu. Lebih dalam dari itu, meneladani nabi berarti menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh beliau dalam setiap aspek kehidupan, baik secara individu maupun sosial.

Meneladani Nabi sejatinya adalah meneladani ajaran Islam yang penuh kasih dan rahmat serta menghidupkan sifat-sifat dan perilaku Nabi yang sangat terpuji. Akhlak Nabi Muhammad adalah salah satu aspek yang paling menonjol dalam kehidupan beliau. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).

Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang jujur, penyabar, dan pemaaf. Bahkan kepada musuh-musuhnya, beliau menunjukkan sikap pemaaf yang luar biasa. Salah satu kisah yang sangat masyhur adalah ketika Nabi berhasil menaklukkan kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan beliau memaafkan penduduk Mekah yang pernah menyakitinya dan pengikut-pengikutnya selama bertahun-tahun. Dengan akhlak yang pemaaf ini, banyak di antara musuh-musuhnya yang akhirnya luluh dan memutuskan untuk mengikuti beliau.

Selain sifat pemaaf, Nabi Muhammad juga dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Beliau tidak pernah memihak kepada kelompok atau individu tertentu hanya karena hubungan pribadi atau kepentingan golongan. Salah satu contoh keadilan Nabi yang terkenal adalah ketika beliau menangani kasus pencurian yang melibatkan seorang wanita dari suku terpandang.

Meski banyak pihak yang ingin Nabi meringankan hukuman karena status sosial wanita tersebut, Nabi dengan tegas menegakkan hukum Allah tanpa pandang bulu. “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya,” demikian sabda Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan dan penegakan hukum yang beliau lakukan tidak dipengaruhi oleh faktor sosial, keluarga, atau tekanan.

Nabi Muhammad juga dikenal sangat lemah lembut dalam berinteraksi dengan sesama, baik terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim. Ada banyak kisah yang menggambarkan bagaimana Nabi memperlakukan non-Muslim dengan penuh penghormatan dan sikap baik hati. Misalnya, Nabi sering menjenguk tetangga Yahudi yang sedang sakit, meskipun tetangga tersebut sering kali berbuat tidak baik kepada beliau.

Sikap lemah lembut ini mampu meluluhkan hati banyak orang yang sebelumnya memusuhi beliau, dan perlahan membawa mereka kepada Islam. Ini membuktikan bahwa dakwah yang dilakukan Nabi bukanlah dengan kekerasan atau paksaan, melainkan dengan akhlak yang mulia dan pendekatan yang penuh kasih sayang.

Islam, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, mengajarkan umatnya untuk menghormati orang yang berbeda agama. Pada zaman Nabi, terdapat berbagai komunitas non-Muslim yang hidup berdampingan dengan umat Islam, dan Nabi selalu memastikan bahwa hak-hak mereka dijaga dengan baik.

Dalam Piagam Madinah, yang dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia, Nabi menetapkan perjanjian yang menjamin hak-hak penuh bagi kaum Yahudi dan non-Muslim lainnya di Madinah. Mereka diberikan kebebasan beragama dan perlindungan yang sama seperti umat Islam. Sikap inklusif ini menunjukkan betapa besar penghormatan Nabi terhadap perbedaan agama dan keyakinan, yang sangat relevan untuk dijadikan teladan oleh umat Islam saat ini, terutama dalam konteks dunia yang semakin beragam.

Dengan demikian, mengikuti sunnah Nabi bukan hanya sekadar tampilan luar seperti berjubah atau memelihara jenggot, tetapi yang lebih penting adalah menghayati dan meneladani perilaku serta karakter beliau yang sangat mulia. Meneladani Nabi bukan berarti sering berteriak khilafah sebagai sistem politik Islam, tetapi bagaimana meneladani sifat dan karakter kepemimpinan Nabi yang inklusif, adil dan bijaksana.

Karakter dan sifat itu yang terkadang umat Islam abaikan karena fokus kepada perjuangan simbolik semata. Terkadang perjuangan simbolik itu malah mengabaikan esensi keteladanan Nabi. Jika ingin meneladani Nabi secara kaffah, mulailah dari meneladani pribadi dan karakter Nabi yang adil, pemaaf, penyabar, lemah lembut, dan penuh kasih sayang kepada semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.

Nabi adalah pemimpin yang tidak pernah memihak golongan tertentu dan selalu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Menjadi ahlu sunnah yang sejati berarti mengikuti ajaran-ajaran tersebut, bukan sekadar meniru tampilan fisik yang bersifat lahiriah.

Kelompok yang mengklaim sebagai pengikut sunnah Nabi harus menyadari bahwa sunnah tidak terbatas pada aspek-aspek tampilan luar semata. Pengamalan sunnah yang sejati harus mencakup keseluruhan ajaran dan perilaku Nabi yang mulia, yang menekankan keadilan, kasih sayang, toleransi, dan akhlak yang baik.

Facebook Comments