Menjaga Sakralitas Simbol Agama di Tengah Ancaman Terorisme

Menjaga Sakralitas Simbol Agama di Tengah Ancaman Terorisme

- in Narasi
74
0
Menjaga Sakralitas Simbol Agama di Tengah Ancaman Terorisme

Sakralitas simbol-simbol agama di ruang publik merupakan salah satu aspek penting yang harus dijaga dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di Indonesia yang dikenal dengan keberagaman agama dan keyakinan. Sayangnya, di tengah upaya menjaga keharmonisan, ancaman terorisme sering kali memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai alat pembenaran tindakan kekerasan dan radikalisme.

Di Indonesia, fenomena ini tidak jarang memicu ketegangan sosial, bahkan menodai makna sakral dari simbol-simbol tersebut. Simbol-simbol agama memiliki arti penting bagi penganutnya, baik secara spiritual maupun kultural. Namun, dalam beberapa kasus, simbol agama justru dimanipulasi oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham ekstremis dan terorisme.

Penggunaan simbol agama dalam aksi-aksi teror sering kali bertujuan untuk membenarkan tindakan mereka, sehingga menciptakan persepsi yang salah tentang agama itu sendiri. Misalnya, aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar pada tahun 2021, di mana simbol keagamaan Kristen menjadi target serangan​. Aksi tersebut menunjukkan bagaimana simbol-simbol agama yang sakral bisa disalahgunakan untuk tujuan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Terorisme yang mengatasnamakan agama sering kali berusaha menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Kelompok radikal menggunakan simbol agama untuk memperkuat narasi bahwa mereka adalah pembela sejati agama, sementara pihak yang tidak sepaham dianggap sebagai musuh atau kafir. Jelas bahwa pemikiran mereka bertentangan dengan nilai sakralitas agama Islam yang mereka anut, yang pada dasarnya mengajarkan perdamaian dan kasih sayang.

Salah satu cara untuk mengatasi eksploitasi simbol agama oleh kelompok teroris adalah dengan menguatkan moderasi beragama. Moderasi beragama menekankan pentingnya sikap toleran dan menghormati perbedaan dalam beragama. Pendekatan ini sudah diupayakan di Indonesia melalui berbagai program, termasuk upaya digitalisasi konten moderasi beragama, yang dilakukan untuk memerangi penyebaran konten radikal di media sosial. Peace Generation, sebuah organisasi yang aktif di media sosial, telah mempromosikan moderasi beragama dengan tujuan mereduksi potensi radikalisme di kalangan generasi muda.

Upaya ini sangat penting karena media sosial sering kali menjadi tempat bagi kelompok radikal untuk menyebarkan narasi ekstremis, yang bisa dengan mudah menjangkau masyarakat luas. Dengan memanfaatkan media sosial, moderasi beragama bisa menjadi benteng yang efektif untuk menangkal radikalisme dan menjaga sakralitas simbol agama.

Pada tanggal 28 Maret 2021, terdapat kasus bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar. Serangan tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri yang diyakini sebagai bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS. Aksi teror ini menunjukkan bagaimana simbol keagamaan Kristen seperti salip yang ada dalam gereja, menjadi target serangan untuk menyebarkan teror di kalangan masyarakat.

Serangan tersebut memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk tokoh agama dan pemerintah, yang mengutuk tindakan tersebut sebagai aksi tidak berperikemanusiaan. Gereja, sebagai tempat ibadah yang sakral, menjadi simbol target yang diserang, sehingga mengganggu keharmonisan umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga simbol-simbol sakral yang menjadi pusat kehidupan spiritual penganut agama tertentu.

Penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan terorisme menjadi langkah krusial dalam menjaga sakralitas simbol agama di ruang publik. Hukum di Indonesia telah memberikan landasan yang kuat untuk memerangi terorisme, termasuk upaya deradikalisasi terhadap pelaku terorisme yang tertangkap. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) aktif melakukan upaya deradikalisasi dengan pendekatan yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat. Upaya yang dilakukan BNPT ini dinilai penting untuk mencegah kembalinya para pelaku terorisme ke jalur radikalisme, serta untuk menghindari penodaan simbol-simbol agama di masa depan.

Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa masyarakat luas, terutama generasi muda, tidak terpapar paham-paham radikal yang merusak. Oleh karena itu, program-program deradikalisasi harus dipadukan dengan pendidikan dan literasi digital yang kuat, untuk memfilter konten-konten radikal yang menyebar melalui media sosial dan internet. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam penyebaran konten radikalisme, terutama di kalangan anak muda yang menjadi target utama rekrutmen kelompok radikal​.

Menjaga sakralitas simbol-simbol agama di ruang publik dari eksploitasi oleh kelompok teroris merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus bersatu dalam upaya menjaga keharmonisan antar umat beragama, sekaligus memerangi radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pendidikan tentang pentingnya moderasi beragama, penegakan hukum yang tegas, dan upaya deradikalisasi harus terus digalakkan untuk melindungi simbol-simbol sakral agama dari tindakan terorisme.

Dengan menjaga sakralitas simbol agama, kita tidak hanya menjaga identitas spiritual, tetapi juga melindungi tatanan sosial yang damai dan harmonis di tengah keberagaman. Terorisme yang menggunakan agama sebagai kedok tidak boleh dibiarkan merusak nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh agama yakni perdamaian, toleransi, dan rasa saling menghormati.

Facebook Comments