Merawat Hak Konstitusional dan Tanggung Jawab Sosial dalam Kehidupan Plural

Merawat Hak Konstitusional dan Tanggung Jawab Sosial dalam Kehidupan Plural

- in Narasi
44
0
Merawat Hak Konstitusional dan Tanggung Jawab Sosial dalam Kehidupan Plural

Indonesia adalah negara yang dibangun di atas prinsip keberagaman, baik dari segi etnis, budaya, maupun agama. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi fondasi kebangsaan yang kuat, memastikan bahwa di tengah perbedaan, persatuan tetap menjadi prioritas. Salah satu hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi Indonesia adalah kebebasan beragama. Setiap warga negara berhak menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut, termasuk mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama. Namun, dalam kehidupan plural seperti di Indonesia, menjaga keseimbangan antara hak konstitusional ini dengan tanggung jawab sosial menjadi tantangan yang kompleks.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Selain itu, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menggariskan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat sesuai kepercayaannya. Konstitusi Indonesia jelas memberikan landasan hukum yang kuat bagi kebebasan beragama dan mendirikan lembaga berbasis agama. Hal ini menjadi landasan penting dalam mendukung pluralitas di Indonesia.

Namun, hak-hak konstitusional ini kerap kali terancam oleh pandangan-pandangan primordial yang melihat keberadaan lembaga pendidikan agama tertentu sebagai ancaman bagi masyarakat setempat. Penolakan terhadap pembangunan sekolah berbasis agama hanya karena perbedaan keyakinan bisa memicu stagnasi dalam perkembangan hak-hak individu, serta mengancam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Di sisi lain, pembangunan dan pengelolaan lembaga-lembaga ini harus dilakukan dengan tetap memperhatikan tanggung jawab sosial agar tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat.

Pendidikan berbasis agama bisa menjadi simbol dari inklusivitas dan keberagaman apabila dikelola dengan bijak. Mendirikan lembaga pendidikan agama bukan hanya tentang melindungi hak asasi warga negara, tetapi juga tentang bagaimana lembaga ini dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Pendidikan yang inklusif adalah simbol nyata dari Bhinneka Tunggal Ika, di mana siswa dari latar belakang agama yang berbeda dapat belajar dan hidup berdampingan dalam semangat toleransi.

Pendidikan inklusif yang mencakup pemahaman pluralitas bisa membantu memadamkan isu klasik yang kerap memicu ketegangan, seperti konflik antara kebebasan berekspresi di platform digital dengan sensitivitas agama. Di era media sosial saat ini, umat beragama, khususnya yang memiliki pandangan radikal atau intoleran, sering kali gagap dalam mengadaptasi ekspresi religius mereka ke ruang digital. Akibatnya, simbol-simbol agama lain menjadi bahan olok-olok atau diserang secara tidak bertanggung jawab.

Simbol-simbol agama memiliki nilai sakral di wilayahnya masing-masing. Setiap agama memiliki nilai-nilai spiritual dan simbolis yang mendalam. Tugas kita sebagai masyarakat plural adalah menghormati kesakralan ini tanpa merasa perlu mendesakralisasi simbol-simbol agama lain demi menonjolkan simbol agama sendiri. Kebebasan berekspresi memang hak setiap individu, namun kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menjaga bangsa dari konflik horizontal yang dapat timbul akibat penyalahgunaan platform digital.

Konflik yang terjadi di Cengkareng Barat baru-baru ini antara pengurus Vihara Cetiya Permata Dihati dengan warga RW 12 memberikan contoh konkret tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara hak konstitusional dan tanggung jawab sosial. Dilansir oleh mitrapol.com, ratusan umat serta pengurus Vihara menghadiri upaya mediasi yang difasilitasi oleh Lurah Cengkareng Barat untuk mencari solusi damai terkait perselisihan yang terjadi.

Vihara Cetiya Permata Dihati hanya ingin menjalankan haknya untuk beribadah yang dilindungi oleh undang-undang. Namun, sebagian warga mengeluhkan dampak kegiatan keagamaan yang mereka anggap mengganggu ketertiban di lingkungan. Ketegangan ini menunjukkan bahwa, meskipun hak konstitusional dijamin, implementasi di lapangan sering kali memerlukan dialog dan kesepahaman antara semua pihak.

Hasil mediasi memperlihatkan beberapa poin penting yang dapat menjadi contoh bagi kasus serupa di masa depan. Salah satu poin kesepakatan adalah pentingnya musyawarah antara Cetiya dan warga untuk menjamin kerukunan di lingkungan tersebut. Kesepakatan lainnya termasuk pengaturan parkir dan pengelolaan kebisingan selama kegiatan keagamaan. Ini menunjukkan bahwa, meskipun hak untuk beribadah adalah hak asasi, pelaksanaannya harus disertai dengan tanggung jawab sosial untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan masyarakat sekitar.

Kasus Cetiya Permata Dihati menggambarkan bahwa hambatan terhadap kebebasan beragama di Indonesia bukan hanya berasal dari regulasi, tetapi juga dari aspek kultural dan struktural. Kultural dalam artian masih adanya pandangan primordial di sebagian masyarakat yang cenderung melihat agama atau kepercayaan lain sebagai ancaman. Sementara itu, hambatan struktural bisa muncul dari kurangnya pemahaman atau kurang optimalnya fasilitasi oleh pihak berwenang untuk menciptakan dialog yang konstruktif.

Peran pemerintah dalam hal ini sangat penting. Seperti yang terjadi di Cengkareng Barat, Lurah Cengkareng Barat dan pihak TNI-POLRI turut hadir dalam upaya mediasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa hak-hak konstitusional warga negara dilindungi, tetapi juga harus menjaga agar keberagaman ini tidak menimbulkan ketegangan sosial yang berkepanjangan.

Menjaga hak konstitusional dalam kebebasan beragama adalah hal yang esensial bagi setiap warga negara Indonesia. Namun, di dalam kehidupan plural seperti di Indonesia, hak tersebut harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Pendidikan yang inklusif dan pemahaman akan pluralitas dapat membantu memupuk toleransi, sehingga konflik horizontal yang disebabkan oleh perbedaan agama dapat diminimalkan.

Kasus Vihara Cetiya Permata Dihati di Cengkareng Barat memberikan pelajaran bahwa dialog dan musyawarah merupakan kunci untuk merawat kerukunan dalam keberagaman. Ke depan, penting bagi setiap elemen masyarakat untuk terus memegang teguh semangat Bhinneka Tunggal Ika, menjaga hak konstitusional, dan menjalankan tanggung jawab sosial agar Indonesia tetap menjadi bangsa yang harmonis di tengah perbedaan.

Facebook Comments