Tuntunan Dakwah Berkebhinnekaan dalam Al-Qur’an

Tuntunan Dakwah Berkebhinnekaan dalam Al-Qur’an

- in Keagamaan
47
0
Tuntunan Dakwah Berkebhinnekaan dalam Al-Qur’an

Saya terkadang risih melihat orang yang baru hijrah ke Islam lalu tiba-tiba menjadi “ustadz dadakan”. Mereka berdakwah di luar tuntunan Al-Qur’an yang begitu bijaksana. Hanya dengan modal menjelek-jelekkan agama sebelumnya lalu tenar berceramah di mana-mana, menjual kebencian-kebencian semacam itu.

Cobalah pahami. Mengapa di satu sisi Tuhan dalam Al-Qur’an memerintahkan untuk “Serulah di jalan Tuhanmu” (Qs.An-Nahl:125), tetapi di sisi lain Tuhan menegaskan “Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam” (Qs: Al-Baqarah:256)? Dua kebenaran ayat di atas bukan sebagai bentuk kebenaran yang dilematis. Tetapi itu sebagai bentuk-bentuk perintah dakwah yang sangat paradigmatis, yakni menyampaikan kebenaran-Nya secara bijaksana, bukan tumbuh dari sentiment beragama.

Jadi, di sinilah pentingnya konsep dakwah berkebinekaan itu. Yakni Sebuah upaya menempatkan konteks dakwah (keimanan) yang tetap menjaga (kerukunan sosial) di tengah kemajemukan. Misalnya, berdakwah menyampaikan ajaran agama kita tanpa “menyenggol” mendistorsi/mereduksi agama lain. Tidak ada kebenaran Islam yang kokoh dengan cara menjatuhkan/membenci.

Dakwah kebhinekaan yang ditawarkan Al-Qur’an merujuk pada dua kesadaran. Istilah “serulah di jalan Tuhanmu” sebagai tugas iman. Tetapi kebenaran “Tidak ada paksaan dalam agama” itu menunjukkan satu bentuk moderatisme yang mapan. Bahwa menjadi pendakwah harus peka akan realitas keberagaman, bukan sekadar tau halal-haram.

Dakwah di dalam Islam itu memiliki aspek yang sanhat luas dan tak sekadar tertuju pada wilayah keimanan. Contoh: Al-Qur’an (Qs. Al-Imran:104) memerintah sebagian di antara kita senagai umat agar berdakwah supaya manusia berbuat ma’ruf dan menjauhi kemungkaran. Perintah demikian sebtulnya memiliki nilai kebenaran yang sifatnya universal, tanpa seseorang harus pindah keimanan.

Saya ingin menegaskan bahwa, nilai-nilai Islam itu bukan sekadar perkara wilayah keimanan. Bentuk tak ada paksaan dalam menganut agama juga menunjukkan bahwa dakwah berarti bukan menjadikan konfersi iman sebagai satu-satu tujuan dalam dakwah. Bagaimana mendakwahkan seseorang agar terhindar dari perilaku kemungkaran dan berada dalam kebaikam juga menjadi visi-misi dakwah yang mampu merawat kebhinekaan itu.

Saya begitu tertarik dengan prinsip dakwah di dalam (Qs. An-Nahl:125) yang meniscayakan prinsip dakwah bil hikmati wal mau’idatil hasanati. Kalau kita amati, setidaknya ada 2 makna subtansial yang dapat kita pahami dan itu merujuk ke dalam sebuah prinsip, bahwa menjaga keragaman itu pada dasarnya tugas seorang pendakwah dalam menyampaikan ajaran agama-Nya.

Pertama, dalam konteks dakwah (bil hikmah), Nabi Muhammad SAW menegaskan ke dalam orientasi dakwah yang tidak bersifat eksklusif, subjektif dan sempit pada suatu kaum/golongan saja. Melainkan mampu mengajak umat manusia ke jalan Tuhan yang benar. Sebagaimana, kebenaran jalan Tuhan yang Saya amati dalam konteks perilaku sosial, selalu cenderung memerintahkan manusia agar tidak memecah-belah, menjaga persatuan, penuh tolerant dan penuh kedamaian.

Dakwah bil hikmah lebih condong mendasari pokok dakwah yang harus dibekali dengan (ilmu pengetahuan). Dalam arti fungsional, paham/mendalami segala bentuk entitas hukum Tuhan, menyerukan yang benar dan menjauhi yang salah. Serta bisa menyampaikan ajaran agama sebagai sesuatu yang bermanfaat dan membawa dampak maslahat, terhindar dari kemudharatan.

Model dakwah yang disarankan Al-Qur’an ini sebetulnya menitik-berat-kan pada dakwah yang berkualitas dalam menyampaikan ajaran agama. Sebab, banyak orang dengan “kadar pemahaman agama” yang pas-pasan sering-kali mudah mengafirkan dan bahkan selalu memunculkan sikap kebencian serta penuh intolerant.

Banyak para mufasir yang meniscayakan dakwah (hikmah) itu mampu menjembatani antara (kebenaran teologis) sebagai ajaran pokok agama. Dengan melihat/mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi, seperti di tengah kemajemukan. Sehingga, muncul semacam nurani teologis yang meniscayakan konsep dan prinsip dakwah tolerant di tengah keragaman.

Kedua, prinsip dakwah (mau’idatul hasanah) pada dasarnya bukan hanya sempit ke dalam konteks dakwah untuk umat Islam saja. Sebab, tantangan pendakwah di tengah keragaman adalah mempertimbangkan segala sesuatu yang diucapkan. Ucapan-ucapan yang baik dalam konteks prinsip di atas pada dasarnya mengacu ke dalam wilayah etis agar tidak menyakiti apalagi melukai orang lain. Seperti dalam konteks keragaman, dakwah penuh intolerant dan provokasi pemecah-belah bukan sebagai satu pola ideal dakwah mau’idatul hasanah itu.

Dakwah dengan prinsip mau’idatul hasanah lebih memosisikan agama dapat diterima bukan sebagai paksaan, melainkan cahaya dan kenyamanan. Misalnya, jika kita berdakwah lalu apa yang kita sampaikan dianggap baik “menurut kita” akan tetapi menyakiti umat agama lain. Maka, dakwah yang semacam ini telah menyalahi prinsip dakwah mau’idatul hasanah itu sendiri dan perlu dibuang jauh-jauh.

Oleh sebab itu, marilah membangun pola dakwah yang kokoh pada semangat kebhinekaan itu. Yakni dakwah yang sesuai tuntunan Al-Qur’an. Di mana, dakwah tidak lagi sekadar bermodal kebencian, cacian agar orang lain pindah agama. Tetapi, mengembangkan dakwah-dakwah yang bijaksana serta dapat memahami realitas keberagaman untuk selalu dijaga. Karena, Al-Qur’an tidak memaksa siapapun masuk agama, tetapi Al-Qur’an memaksa siapapun agar berada dalam kebaikan, terhindar dari keburukan.

Facebook Comments