Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat menjadi tata-etika nilai dalam berpolitik yang etis. Sehingga, kepentingan politik itu tumbuh ke dalam tujuan-tujuan yang maslahat bagi kehidupan berbangsa kita.
Kita harus merawat hubungan antar agama dan politik yang bersih dari politisasi agama. Sebab, agama melarang mutlak politisasi agama yang melahirkan truth claim kebenaran politik identitas. Memperalat agama secara paksa untuk kepentingan kelompok tertentu agar unggul secara primordial dengan cara mereduksi kelompok lain.
Prof Masdar Hilmy PhD, salah satu Gurus Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Menegaskan bahwa politisasi agama itu adalah upaya untuk mengkapitalisasi nilai agama. Artinya, politisasi agama cenderung eksploitatif dan yang berperan di situ bukan nilai-nilai agama, tetapi memanfaatkan cangkang luar dari agama itu.
Menolak politisasi agama bukan anti agama. Tetapi demi menyelamatkan marwah agama agar kesucian-Nya tak ternodai oleh kepentingan politik. Seperti yang dijelaskan dalam argumentasi awal, bahwa agama dan politik itu tak pernah bertentangan. Keduanya sangat integratif karena kepentingan politik yang tumbuh ke dalam nilai-nilai agama sejatinya akan melahirkan politik yang beretika, politik yang bermoral dan politik yang tak menegasi kebhinekaan kita.
Tidak ada satu-pun kebenaran Al-Qur’an tentang praktik politisasi agama. Sebagaimana agama digunakan sebagai legalitas untuk menghakimi kelompok lain keliru, buruk dan lain sebagainya. Klaim-klaim kesucian agama yang digunakan untuk mengafirkan lawan politik sebagai satu bentuk politisasi agama yang bisa membawa kekacauan tatanan sosial.
Jadi, kita harus menjaga hubungan agama dan politik yang bersih dari segala politisasi agama itu. Agama ketika tumbuh sebagai etika berpolitik, dia akan menjadi obat bagi kehidupan sosial-kebangsaan. Seperti dalam konteks kepentingan politik-demokrasi, yang akan membawa jalan kontestasi yang lebih konstruktif, argumentatif dan reflektif demi mendapatkan pemimpin bangsa yang baik ke depan.
Hubungan agama yang integratif dengan kepentingan politik akan melahirkan efek yang mendamaikan, penuh tolerant dan saling menjaga kebersamaan di tengah perbedaan pandangan politik. Agama di situ hadir ke dalam pikiran dan kesadaran kita yang bijaksana dalam kepentingan politik itu.
Politik identitas agama adalah hama yang harus kita hindari. Jadi, yang menjadi persoalan kita saat ini, bukan perihal hubungan agama dan politik. Melainkan, praktik politisasi agama atau politik identitas yang memanfaatkan agama. Sekali lagi, ini sifatnya memperalat agama.
Agama mengajarkan kita untuk tetap bersaudara dan jangan memecah-belah. Agama mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dan membangun sebuah bangsa yang menjunjung tinggi kemaslahatan. Jadi, agama adalah (ruh nilai) yang harus terhubung dan melahirkan (etika politik) yang dapat membawa kemaslahatan. Jadi, kita harus membebaskan hubungan agama dan politik yang bersih dari politisasi agama itu.
Jadi, kepentingan politik yang “agamis” itu penting. Bukan menjadikan agama sebagai “identitas” yang diperalat untuk mereduksi identitas yang lain. Tetapi, menjadikan agama sebagai ruh berpolitik. Bbagaimana politik yang agamis itu adalah membangun tujuan politik berdasarkan ajaran-ajaran agama itu sendiri.
Tidak ada kebenaran “Tuhan” yang dibawa untuk sebuah legalitas kepentingan politik. Tak ada kebenaran “Tuhan” untuk menghakimi lawan politik lain secara reduksionis. Kepentingan politik adalah sebentuk kita dalam ber-ijtihad untuk mengangkat seorang pemimpin. Sehingga, dasar-dasar ketuhanan itu tidak digunakan sebagai alat peperangan, tetapi sebagai alat untuk menjaga tujuan mulai itu dengan tetap menjadikan Tuhan sebagai asas kebijaksanaan dalam kepentingan politik kebangsaan kita.