Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan besar untuk membangun, tetapi juga bisa menghancurkan jika digunakan dengan cara yang salah. Dalam praktiknya, hukum Islam sering kali dipahami secara normatif dan dijadikan identitas “genuine” yang membedakan satu kelompok dengan yang lain.
Pemahaman tersebut, ketika diterapkan secara sempit dan tanpa mempertimbangkan konteks sosial-budaya, dapat menciptakan polarisasi yang merusak integrasi nasional. Bahkan, dalam beberapa kasus, kemanusiaan dapat tergadaikan demi keimanan yang gelap mata.
Politisasi agama bukan fenomena baru di Indonesia. Dalam berbagai momentum politik, seperti pilkada atau pemilu, agama sering dijadikan alat untuk meraih simpati massa. Namun, ketika agama dimanfaatkan dengan cara yang manipulatif, ia justru berpotensi menciptakan segregasi sosial. Kelompok puritan, dinilai kerap memutarbalikkan hukum Islam untuk menjustifikasi tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat kemanusiaan. Fenomena ini sering kali dipicu oleh pemahaman yang terlalu berfokus pada teks tanpa mempertimbangkan realitas sosial (kepekaan konteks).
Pendekatan yang hanya menitikberatkan pada aspek normatif agama sering kali menimbulkan konflik horizontal. Ketika hukum agama diterapkan tanpa mempertimbangkan keberagaman budaya dan sosial Indonesia, hasilnya adalah perpecahan, bukan persatuan. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, Indonesia membutuhkan pendekatan agama yang inklusif dan adaptif terhadap keberagaman.
Konsep demistifikasi agama mengajak kita untuk melihat agama secara rasional dan proporsional, dengan menekankan esensinya sebagai panduan moral dan nilai universal, bukan sekadar perangkat hukum yang kaku. Demistifikasi agama berupaya mengembalikan agama ke dalam kerangka yang inklusif dan kontekstual, sehingga mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Demistifikasi agama, tidak berarti menghapus agama dari ranah publik, tetapi mengajak umat beragama untuk memahami agama secara lebih rasional, kontekstual, dan manusiawi. Hukum Islam tidak boleh dilihat semata-mata sebagai aturan kaku yang harus diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Sebaliknya, hukum Islam harus dipahami sebagai panduan moral yang dinamis, yang selalu relevan dengan tantangan zaman.
Kesadaran teks yang berlebihan tanpa kepekaan terhadap konteks sosial hanya akan menciptakan jurang antara ajaran agama dan kebutuhan masyarakat modern. Demistifikasi agama membantu menjembatani jurang tersebut dengan menekankan bahwa esensi agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Penting bagi para pemimpin agama dan politik untuk menggiring masyarakat pada narasi agama yang mempersatukan, bukan yang memecah belah.
Ketika agama dipahami secara inklusif, ia menjadi kekuatan yang mempersatukan. Namun, ketika agama dipahami secara eksklusif, ia berubah menjadi alat kekuasaan yang menindas. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, penting untuk menekankan bahwa keimanan tidak boleh menjadi alasan untuk menggadaikan kemanusiaan. Sebagaimana diajarkan oleh banyak ulama, agama harus memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan perdamaian, bukan memaksakan dogma yang memecah belah.
Pentingnya menata ulang narasi agama dalam politik menjadi semakin relevan di era digital, di mana informasi dapat dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Kesadaran dalam peran ruang digital, hoaks dan ujaran kebencian berbasis agama sering kali digunakan untuk menciptakan ketegangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan berbasis literasi digital untuk melawan narasi manipulatif yang memanfaatkan agama sebagai alat politik.
Untuk menciptakan persatuan bangsa, diperlukan upaya kolektif dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil. Pendekatan demistifikasi agama dapat dimulai dengan memberikan pendidikan agama yang mencerahkan dan inklusif. Kurikulum pendidikan agama, harus dirancang untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan keadilan sosial. Selain itu, tokoh agama perlu mengambil peran aktif dalam menyebarkan narasi agama yang memperkuat persatuan.
Penting bagi para pemimpin dan politisi untuk menghindari eksploitasi agama demi kepentingan elektoral. Sebaliknya, mereka harus memanfaatkan posisi mereka untuk mempromosikan nilai-nilai universal agama yang mendukung keadilan dan perdamaian. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkuat kohesi sosial, tetapi juga menciptakan ruang politik yang lebih sehat dan demokratis.
Menata ulang narasi agama dan politik menuju persatuan bangsa adalah tantangan yang kompleks, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin. Dengan memahami agama secara inklusif dan rasional melalui pendekatan demistifikasi, kita dapat mengembalikan agama ke fungsi aslinya sebagai panduan moral yang mempersatukan. Dalam situasi di mana hukum agama sering kali diputarbalikkan oleh kelompok tertentu, penting untuk selalu menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan sempit. Dengan cara ini, agama tidak hanya menjadi alat spiritual, tetapi juga kekuatan sosial yang memperkuat integrasi nasional.