Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

Moderasi dan Beragama dengan Berketuhanan

- in Narasi
4
0

Pancasila, yang konon disebut-sebut sebagai dasar negara, tak pernah menyematkan istilah agama di dalamnya, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara beragama. Hal ini tentu saja memicu orang untuk bertanya lebih lanjut, apakah Pancasila menyamakan Tuhan, sebagaimana yang termaktub dalam sila I, dengan agama yang dalam pandangan umum tak bisa dibedakan dengan Tuhan atau ketuhanan. Atau justru, Pancasila memandang bahwa Tuhan dan agama adalah dua hal yang berbeda dan bisa dibedakan, yang karenanya, dengan mencantumkan istilah Tuhan daripada agama, Tuhan itu dipandang jauh lebih penting daripada agama.

Satu dalil umum, pemilihan istilah Tuhan daripada istilah agama adalah dalam rangka menjaga dan mengolah keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, istilah Tuhan dirasa lebih dapat mencakup perbedaan agama dan juga kebudayaan. Dalil lainnya lagi, penyematan istilah Tuhan daripada istilah agama hanyalah tepisan atas bentuk negara sekular yang lazimnya dimiliki oleh negara-negara kolonialis.

Namun, bagi saya, penyematan istilah Tuhan dalam sila “Ketuhanan yang Maha Esa” daripada istilah agama merupakan sebentuk kearifan yang telah hidup sejak lama di Nusantara. Dengan kata lain, Tuhan dan agama adalah dua hal yang bisa dibedakan. Orang bertuhan, meskipun tak beragama, sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan penghayat, dapat saja hidup seturut dengan apa yang menjadi tujuan dari agama. Dan orang beragama justru bisa jadi hidup dengan tak seturut dengan apa yang menjadi tujuan dari agamanya, apalagi Tuhan.

Dalam khazanah spiritualitas Islam, orang bertuhan semacam itu konon disebut sebagai orang-orang arif yang cukup berbeda dengan orang-orang alim atau para agamawan. Jadi, agama, pada fase ini, bukanlah sebentuk harga mati untuk menandai kualitas seseorang. Atau dengan kata lain, jalan ketuhanan bisa jadi lain dengan jalan keagamaan. Jalan ketuhanan sudah pasti mencakup jalan keagamaan (meskipun dilalui tanpa kerangka agama), namun belum tentu jalan keagamaan mencakup pula jalan ketuhanan. Bukankah konon yang Maha Besar itu adalah Tuhan dan bukannya agama?

Jalan ketuhanan yang bisa pula mencakup jalan keagamaan itu adalah sebagaimana istilah “budi pekerti” dalam kalangan kejawen yang sebangun dengan istilah “akhlaq” dalam agama, yang sama-sama dimaknai sebagai perilaku-perilaku yang luhur. Namun, jalan keagamaan yang bisa pula tak dapat mencakup jalan ketuhanan itu adalah ketika “akhlaq” tak dianggap sebagai output dari “Budi” yang sudah tak terbedakan dengan “Rasa” yang dalam bahasa agama dikenal sebagai sang “uswatun hasanah,” Muhammad.

Artinya, ketika “akhlaq” itu dianggap sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di situlah jalan keagamaan gagal dalam mencakup jalan ketuhanan yang justru menempatkan “budi pekerti” itu sebagai tujuan. Pada fase inilah ketika orang berbicara tentang “moderasi,” sebenarnya ia tak sedang berbicara tentang sekedar pola pemahaman ataupun perilaku. Namun, ia tengah berbicara pula tentang tentang sebentuk “spot” yang konon dilalui oleh orang-orang arif.

Facebook Comments