Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

- in Narasi
11
0
Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu bukanlah sekadar insiden lokal. Ini adalah lonceng peringatan, sebuah cermin retak yang menunjukkan betapa rapuhnya persatuan Indonesia, jika kita abai merawatnya. Bara dalam sekam berupa fanatisme kelompok, kesalahpahaman yang dipupuk, dan keyakinan semu akan kebenaran tunggal, dapat dengan mudah tersulut menjadi api konflik yang merusak persatuan antar anak bangsa.

Teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1979), menerangkan bagaimana seseorang mendefiinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan suatu kelompok, seperti berdasarkan ras, suku, agama, atau kelas sosial. Hal ini menunjukkan individu tersebut berusaha untuk meningkatkan harga dirinya melalui identitas kelompoknya untuk membedakan diri dari kelompok lainnya. Hal ini tentunya sangat berbahaya jika fanatisme pada suatu kelompok diyakini sebagai kebenaran Tunggal, yang menganggap kelompok lainnya sebagai ancaman.

Situasi ini menuntut refleksi mendalam dan tindakan nyata dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, penegak hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat. Kita harus menanggapi ini dengan serius. Setidaknya ada beberapa langkah yang bis akita rajut bersama untuk merawat keharmonisan bangsa.

Pertama, pemerintah sebagai pemegang regulator, harus lebih proaktif dalam memitigasi konflik. Aparat keamanan harus bertindak cepat untuk menindak provokator dan pelaku kekerasan dari kelompok manapun. Keadilan yang dirasakan oleh semua pihak akan meredam potensi dendam dan konflik lanjutan.

Kemudian, negara harus aktif menjadi jembatan komunikasi bagi ormas, komunitas, dan kelompok pemuda yang memiliki ideologi berbeda, memfasilitasi ruang-ruang dialog antar kelompok. Dialog yang rutin dan terstruktur dapat mengikis prasangka, membangun rasa saling percaya, dan membuktikan bahwa musyawarah adalah jalan kedewasaan, bukan pemicu perpecahan.

Namun di sisi lain, inisiasi ini juga butuh partisipasi masyarakat, khususnya para pemuda, yang menjadi benteng pertahanan terdepan. Pemuda harus pro aktif ikut serta dalam kegiatan lintas budaya, serta menjadi agen kohesi sosial di lingkungan masing-masing. Menggunakan energi dan kreativitasnya untuk menebar kebaikan dan kesejukan. Hal ini bisa diwujudkan dengan melakukan kampanye kontra-narasi yang sejuk, serta aktif dalam membangun ikatan positif antar kelompok yang berbeda.

Masyarakat, harus menolak eksklusivisme dengan tegas. Paham bahwa “kelompokku paling benar” adalah bibit perpecahan. Sebagai orang Indonesia, gotong royong dan kebhinekaan adalah identitas bangsa. Kita harus mampu berinteraksi dan bekerja sama dengan siapa saja tanpa memandang suku, agama, atau afiliasi organisasinya.

Terakhir, perlunya menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan yang subtantif. Pendidikan ini tidak boleh berhenti pada jargon dan hafalan Pancasila semata, tetapi harus meresap ke dalam pemahaman bahwa perbedaan adalah bagian dari kebhinekaan. Ini bisa ditanamkan dalam kurikulum pendidikan maupun intervensi dalam pendidikan informal lainnya.

Konflik di Timur Tengah, dan konflik di negara tetangga, Kamboja dan Thailand menjadi contoh bagaimana perang hanyalah menyisakan nestapa. Jangan sisakan ruang kepada pihak asing atau ideologi transnasional untuk masuk mencerai beraikan persatuan bangsa. Jangan sampai konflik internal bangsa membuat bangsa kita rapuh dan saling menyakiti satu sama lain.

Facebook Comments