Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

- in Keagamaan
10
0
Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan global, regional, dan nasional yang terjadi belakangan ini membuat propaganda kekerasan kian masif. Terakhir, isu konflik dua negara tetangga, Thailand dan Kamboja serta bentrokan antar-ormas keagamaan di Pemalang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menebar propaganda kekerasan.

Pecahnya konflik, baik global, regional, maupun nasional, merupakan momen yang selalu ditunggu oleh kelompok radikal. Konflik horisontal adalah celah bagi kelompok radikal untuk mengifiltrasi publik dengan strategi adu-domba dan provokasinya. Bagi kaum radikal, konflik dan peperangan adalah komoditas yang efektif untuk mendoktrin dan merekrut simpatisan baru.

Di era digital, ketika nyaris setiap individu terkoneksi dengan dunia maya dan media sosial, bisa dipastikan tidak ada individu atau kelompok yang bebas dari propaganda kekerasan. Secara tidak sengaja, kita kerap dituntun oleh algoritma media sosial untuk mengkonsumsi konten berbau propaganda dan provokasi kekerasan.

Maka, penting bagi semua umat Islam dan beragama lainnya untuk memahami karakteristik pemikiran kelompok radikal dan bagaimana mereka menyebarkan paham tersebut. Secara umum, pemikiran kelompok radikal dapat diidentifikasi dari setidaknya dua ajaran pokok.

Pertama, teologi hakimiyah yakni keyakinan bahwa hukum tertinggi di muka bumi dan layak untuk diikuti atau ditaati hanyalah hukum Allah. Sekilas, konsep teologi hakimiyah ini tidak bermasalah. Mengakui hukum Allah sebagai hukum tertinggi, memang merupakan ajaran Islam.

Namun, yang menjadi persoalan kemudian adalah kaum radikal membajak istilah “hukum Allah” itu ke dalam tafsiran mereka sendiri yang acapkali dipaksakan ke seluruh umat Islam. Pemaksaan itu juga dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Doktrin teologi hakimiyah ini dapat dilacak dalam pemikiran Sayyid Qutb, tokoh Ikhwanul Muslimin yang dikenal sebagai influencer bagi gerakan radikal kontemporer. Qutb mendefinisikan teologi hakimiyah secara radikal-ekstrem, yakni dengan menganggap kelompok yang tidak menerapkan hukum Allah sebagai jahiliyyah kafir. Labelisasi inilah yang kerap dijadikan dasar kaum radikal untuk membenarkan tindakan teror kekerasan yang menyasar kelompok yang berbeda.

Kedua, doktrin istisyhad yakni keyakinan bahwa mati dalam pertempuran merupakan jalan meraih kesyahidan (syuhada). Doktrin ini kerap dipakai oleh kaum teroris untuk membenarkan tindakan bom bunuh diri. Doktrin istisyhad ini kerap dibumbui dengan narasi imajinatif bahwa para syuhada kelak akan disambut di pintu surga oleh 72 bidadari dan ditempatkan di surga paling tinggi.

Jika dilacak, doktrin ini sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan di masa Nabi Muhammad pun konsep mati syahid dalam peperangan itu sudah dikenal. Namun, di era kontemporer, makna istisyhad cenderung dipelintir oleh kaum radikal sehingga tidak lagi kontekstual.

Bagi kaum radikal, amaliyah jihad yang dimaknai sebagai perang fisik itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Maka, banyak aksi teror yang dilakukan di negara yang situasinya aman, dimana umat Islam bebas beribadah, bekerja dan menjalani kehidupan. Pandangan yang seperti ini jelas salah dan berbahaya.

Amaliyah jihad dalam artian perang fisik idealnya hanya berlaku di wilayah perang, terutama ketika umat Islam mendapat intimidasi dan ancaman keamanan fisik oleh musuh. Di wilayah muslim yang damai, amaliyah jihad dalam tafsiran perang fisik kiranya kurang relevan dan tidak kontekstual. Maka, aksi teror bom bunuh diri di wilayah yang damai tentu tidak dapat dikategorikan sebagai istisyhad.

Dua karakteristik pemikiran kaum radikal itu harus dipahami betul oleh umat Islam. Tersebab, mereka lihai mempropagandakan ideologinya dengan menunggangi isu-isu yang tengah menjadi perbincangan publik. Semua propaganda kaum radikal di media sosial, pada dasarnya bermuara pada dua karakteristik pemikiran tersebut.

Misalnya, merespons gejolak politik global dan regional yang terjadi belakangan ini, kelompok radikal akan hadir dengan narasi andalan. Yakni bahwa gejolak global itu terjadi karena hukum yang berlaku saat ini bukan hukum Allah yang islami, melainkan hukum sekuler buatan manusia. Mereka mengklaim, gejolak politik dan keamanan global itu tidak akan muncul jika umat Islam bersatu mendirikan institusi politik dan hukum berbasis syariah.

Teologi hakimiyah dan doktrin istisyhad memang dikenal dalam ajaran Islam. Namun, subtansi dua ajaran itu telah dipelintir oleh kelompok radikal demi memuluskan agenda politik mereka. Dalam konteks keindonesiaan, teologi hakimiyah itu sebenarnya telah tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.

Lima sila dalam Pancasila itu sangat islami. Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sangat kental dengan nuansa Islam. Maka, tanpa formalisasi syariah pun, prinsip hakimiyah itu telah hadir dalam sistem konstitusi dan ideologi kebangsaan kita.

Demikian juga, doktrin istisyhad dalam konteks keindonesiaan juga perlu direvisi. Mencari kesyahidan dalam konteks Indonesia yang aman dan damai dapat dilakukan tanpa peperangan fisik. Memberdayakan umat dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya adalah bentuk jihad yang sesungguhnya. Siapa pun muslim yang mati dalam keadaan memperjuangkan umat atau bahkan keluarganya sendiri, layak disebut sebagai syuhada.

Facebook Comments