Bersama Membentuk Anak Sehat Jasmani, Kuat Rohani, Cerdas Literasi: Fondasi Peradaban Gemilang

Bersama Membentuk Anak Sehat Jasmani, Kuat Rohani, Cerdas Literasi: Fondasi Peradaban Gemilang

- in Narasi
2
0
Menyelamatkan Anak dari Virus Kebencian Digital, Bagaimana Caranya?

Adakah gambaran yang lebih penting daripada sosok anak yang tegak berdiri, dengan raga yang prima, jiwa yang kokoh, dan pikiran yang merdeka? Pertanyaan ini semestinya menjadi landasan bagi setiap upaya kita dalam membentuk generasi penerus. Di tengah hiruk pikuk modernitas yang serba cepat dan informasi yang melimpah ruah, urgensi untuk mencetak anak-anak—pembangun peradaban masa depan— yang sehat jasmani, kuat rohani, dan cerdas literasi menjadi sebuah keniscayaan, bukan sekadar pilihan. Ini adalah investasi peradaban, fondasi bagi masa depan yang gemilang, baik di tingkat lokal maupun global.

Kita bisa melihat bahwa konsep insan kamil—manusia paripurna—yang diperkenalkan dalam tradisi sufisme, sebenarnya menyiratkan integrasi harmonis antara aspek fisik, spiritual, dan intelektual. Kesehatan jasmani bukan hanya tentang absennya penyakit, melainkan tentang kapasitas tubuh untuk berfungsi optimal sebagai wadah bagi jiwa dan pikiran. Bagaimana mungkin seseorang mencapai puncak kebijaksanaan atau berkontribusi signifikan dan optimal pada masyarakat jika tubuhnya lemah dan mudah sakit? Dalam perspektif sosiologi dan antropologi, kita memahami bahwa praktik-praktik budaya tradisional di Nusantara, seperti olahraga tradisional dan konsumsi makanan lokal bergizi, secara inheren telah mengukuhkan pentingnya menjaga kebugaran fisik sebagai bagian integral dari kehidupan komunal yang produktif dan harmonis.

Namun, raga yang sehat saja tidak cukup. Dibutuhkan kekuatan rohani yang menjadi kompas moral dan spiritual dalam mengarungi samudra kehidupan dan menjalani semak belukar peradaban. Dalam konteks kebudayaan Islam, kekuatan rohani tertanam dalam keimanan (iman), praktik ibadah (islam), dan keunggulan perilaku (ihsan). Ini bukan sekadar ritualistik, melainkan pembentukan karakter yang berlandaskan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, integritas, empati, dan ketabahan.

Anak yang kuat rohaninya akan memiliki resiliensi untuk menghadapi tantangan, keberanian untuk membela kebenaran, dan kebijaksanaan untuk membedakan antara yang hak dan batil. Gejolak politik global yang kita saksikan hari ini, seringkali berakar pada krisis moral dan spiritual. Masyarakat yang kehilangan arah spiritualitasnya rentan terhadap ideologi ekstrem, fragmentasi sosial, dan konflik. Oleh karena itu, penguatan rohani pada anak adalah vaksinasi dini terhadap virus-virus destruktif yang mengancam kohesi sosial dan perdamaian.

Lalu, bagaimana dengan kecerdasan literasi? Di era digital ini, literasi jauh melampaui kemampuan membaca dan menulis semata. Saya meyakini bahwa penguasaan bahasa adalah kunci gerbang ilmu pengetahuan dan pemahaman lintas budaya. Literasi dalam konteasi modern berarti kemampuan untuk mengakses, memahami, mengevaluasi, dan menciptakan informasi secara efektif dalam berbagai format dan media. Ini termasuk literasi digital, literasi finansial, literasi sains, dan tentu saja, literasi budaya.

Anak yang cerdas literasi tidak akan mudah termakan oleh hoaks atau propaganda. Mereka akan memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menganalisis informasi, membedakan fakta dari opini, dan merumuskan pandangan yang berdasar. Tanpa literasi yang kuat, kita akan menciptakan generasi yang pasif, rentan dimanipulasi, dan tidak berdaya dalam menghadapi kompleksitas dunia. Teori konstruktivisme sosial, yang menyoroti bagaimana pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial dan pengalaman, sangat relevan di sini. Lingkungan yang kaya akan stimulasi literasi, baik di rumah maupun di sekolah, adalah krusial dalam membentuk individu yang cakap dalam mengolah informasi.

Maka, adalah tugas kita bersama—para orang tua, pendidik, pemuka agama, dan negara—untuk menyelaraskan upaya dalam membentuk generasi yang ideal ini. Ini bukan proyek parsial, melainkan sebuah gerakan holistik. Program kesehatan yang inklusif, pendidikan karakter yang berbasis nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal, serta kurikulum yang mendorong penalaran kritis dan kreativitas, harus berjalan beriringan. Kita perlu menumbuhkan kembali budaya membaca di rumah, bukan sekadar kewajiban di sekolah. Kita harus menanamkan pemahaman tentang pentingnya gizi seimbang dan aktivitas fisik sejak dini. Dan yang tak kalah penting, kita harus menjadi teladan.

Membentuk anak yang sehat jasmani, kuat rohani, cerdas literasi adalah sebuah maraton, bukan sprint. Ini adalah warisan terpenting yang bisa kita tinggalkan bagi peradaban. Sebab, bukankah masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas generasi penerusnya?

Facebook Comments