Demonstrasi adalah salah satu jalan sah dalam demokrasi. Ia membuka ruang bagi rakyat untuk menyuarakan kritik, menuntut keadilan, dan mendesak elite politik agar tidak abai terhadap suara akar rumput. Sejarah Indonesia mencatat, demonstrasi kerap berhasil mendorong perubahan, bahkan memaksa lembaga legislatif maupun eksekutif untuk berbenah.
Baru-baru ini pun, gelombang demonstrasi mendorong DPR mempercepat agenda reformasi internalnya. Keabaian parlemen dalam menangkap jerit tangis rakyat bawah harus dibayar dengan gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Gerakan ini menunjukkan bahwa dalam demokrasi, kekuatan rakyat tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan.
Namun, ada sisi gelap yang juga tak bisa kita lupakan. Demonstrasi sering kali ditunggangi kelompok kepentingan yang tidak peduli pada nilai demokrasi itu sendiri. Alih-alih memperkuat ruang aspirasi, mereka justru menjadikannya panggung untuk menyulut kerusuhan dan menebar ideologi. Akibatnya, demokrasi yang semestinya memberi harapan justru meninggalkan jejak ketakutan, kerugian material, bahkan korban jiwa.
Situasi ini menghadirkan paradoks: demonstrasi yang seharusnya menjadi perayaan kebebasan politik malah berubah menjadi momok bagi dunia bisnis, kecemasan masyarakat, bahkan ancaman bagi persatuan bangsa. Demokrasi tetap bernapas, tetapi emosinya terluka.
Politik Emosi dan Demokrasi
Martha Nussbaum memberikan perspektif tajam untuk membaca fenomena ini. Dalam gagasannya tentangpolitics of emotion, ia menolak pandangan liberal tradisional yang memisahkan secara kaku antara emosi dan rasionalitas dalam politik. Menurutnya, demokrasi justru tidak pernah steril dari emosi.
Emosi adalah bagian kognitif yang mengandung penilaian evaluatif terhadap realitas politik. Kemarahan terhadap ketidakadilan, cinta terhadap kesetaraan, rasa takut terhadap ancaman, hingga rasa jijik terhadap korupsi—semuanya adalah dimensi sah dalam kehidupan demokratis. Dengan kata lain, emosi bukanlah gangguan irasional, melainkan energi politik yang mampu memobilisasi solidaritas dan komitmen publik pada visi bersama tentang keadilan.
Namun, cara pandang politik Nussbaum bukan tanpa kritik. Nussbaum sendiri telah mengantisipasi celah dengan mengingatkan bahwa emosi politik selalu mengandung dimensi konstruktif sekaligus destruktif. Emosi dapat mendorong rakyat menjaga demokrasi, tetapi juga bisa dipelintir oleh para demagog untuk menghancurkannya.
Ketika Emosi Dibajak Para Pembenci
Risiko manipulasi emosi inilah yang kini kita hadapi. Provokator lihai mengubah emosi rasional menjadi irasional. Kemarahan rakyat atas ketidakadilan dipelintir menjadi kebencian membabi buta. Rasa muak terhadap korupsi dipelintir menjadi antipati terhadap seluruh sistem politik. Akhirnya, aksi demonstrasi yang bermula dari tuntutan sahih berubah menjadi anarki.
Kelompok anti-demokrasi adalah pihak yang paling piawai memanfaatkan politik emosi ini. Kita bisa melihat bagaimana propaganda kelompok pejuang khilafah, misalnya, menjadikan dalih agama sebagai alat untuk menebar kebencian terhadap demokrasi. Mereka membangun narasi bahwa sistem politik Indonesia adalah produk kufur, lalu menyulut kemarahan publik agar menolak negara dengan mengganti ideologi.
Begitu pula, kelompok kepentingan lain memanfaatkan politik emosi menjadi kemarahan yang membabi buta. Fasilitas publik dibakar dan kerusuhan merebak di mana-mana untuk memberikan pesan ; delegitimasi pemerintah patut dipertanyakan.
Di sinilah letak bahayanya. Emosi publik yang seharusnya bisa memperkuat komitmen pada persatuan, justru diperalat untuk mendelegitimasi demokrasi dan pemerintah. Para provokator paham betul bahwa di tengah masyarakat yang rawan frustrasi, emosi mudah dikonversi menjadi tindakan anarki: perusakan, kekerasan, bahkan penjarahan.
Merawat Emosi Demokrasi
Lalu, bagaimana cara menyelamatkan emosi demokrasi dari para pembenci? Nussbaum menawarkan kerangka yang optimistis. Ia menekankan bahwa emosi seperti ketakutan, kemarahan, dan kebencian memang tidak bisa dihapus dari politik. Namun, emosi itu bisa dikelola, diarahkan, dan diimbangi dengan empati, kasih sayang, dan cinta.
Emosi justru dapat memperkuat fondasi demokrasi. Artinya, kita perlu membangun ruang demokrasi yang tidak hanya memberi saluran ekspresi politik, tetapi juga menumbuhkan imajinasi moral. Demonstrasi harus tetap menjadi ruang protes, tetapi dengan etika tanggung jawab. Kritik tetap lantang, tetapi tidak dibakar oleh kebencian yang membutakan. Solidaritas harus lahir dari empati pada korban ketidakadilan, bukan dari hasrat menghancurkan sesama warga bangsa.
Demokrasi Indonesia masih muda dan rentan. Tetapi, jika kita mampu merawat emosi demokrasi ini dengan sehat. Pemerintah harus pintar mengolah marah menjadi energi perubahan, mengolah cinta menjadi solidaritas, dan mengolah rasa muak menjadi gerakan reformasi.
Harapan tulus ini bukan ilusi. Gerakan demonstrasi harus dibaca sebagai gerakan emosi cinta rakyat terhadap negara. Gerakan ini harus pula ditangkap sebagai ekspresi emosi getir dan marah terhadap perilaku para elite yang harus diperbaiki. Jika ingin menyelematkan bangsa besar ini, DPR dan pemerintah harus berbenah dan rakyat akan terus merawat emosi politik menjadi energi yang positif.
Demokrasi harus tetap tegak, bukan runtuh oleh emosi yang dibajak para pembenci.