Setelah bebas pada Januari 2021, Abu Bakar Baasyir kembali ke Pondok Al-Mukmin Ngruki dan berkumpul bersama keluarga. Ia terlihat aktif melakukan audiensi kepada pemerintah daerah Surakarta ihwal perpolitikan di Indonesia. Salah satunya adalah ketika Abu Bakar Baasyir sowan ke kediaman Joko Widodo pada 29 September 2025.
Pendiri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki itu tiba di kediaman Jokowi sekitar pukul 12.33-12.37 WIB dengan mengenakan pakaian serba putih. Jokowi menyambutnya dengan mengenakan kemeja batik lengan panjang dan celana hitam, dilengkapi dengan kopiah.
Pertemuan ini menunjukkan dinamika menarik. Di masa pemerintahan Jokowi, Abu Bakar Baasyir mendapat pembebasan setelah menjalani pidana 15 tahun terkait kasus terorisme. Pembebasan tersebut dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan mengingat usia Baasyir yang sudah mencapai 81 tahun dan kondisi kesehatannya yang menurun.
Melansir dari Detik, Pertemuan keduanya berlangsung secara tertutup selama 20 menit. Sebagai tuan rumah, Jokowi menyambut Abu Bakar Baasyir di depan rumah dengan mengucapkan “Waalaikumsalam, ngaturaken sugeng ustaz.” sambil mencium tangan Baasyir.
Mantan amir Jamaah Islamiyah tersebut menjelaskan bahwa kedatangannya bertujuan untuk memberikan nasihat kepada Jokowi. Ia menyatakan, “Saya hanya menasihati. Orang Islam itu wajib menasihati rakyat, pemimpin, dan orang kafir harus dinasihati.”
Inti nasihat yang disampaikan Abu Bakar Baasyir kepada Jokowi adalah agar kembali mengamalkan hukum Islam dengan baik dan berharap negara ini diatur dengan hukum Islam. Baasyir juga menyebut Jokowi sebagai “orang yang kuat” dan berharap ia bisa menjadi pembela Islam yang kuat.
Pesan ini juga ia sampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto melalui surat. Ia menegaskan bahwa menasihati adalah kewajiban seorang ulama menasihati rakyat, pemimpin, dan orang kafir.
Nasihat Baasyir ini konsisten. Jika kembali sejak sebelum Pilpres 2024, beredar di media sosial sebuah potongan audio yang menampilkan suara Baasyir sedang menuturkan perlunya memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan bahwa pilihannya adalah yang dapat membawa aspirasi Islam di Indonesia.
“Pilpres itu bukan ideologi, tapi itu adalah alat. Maka kalau memang tujuan kita ikut pilpres untuk membela Islam itu boleh. Caranya yaitu memilih presiden yang paham Islam.” Terang Ba’asyir dalam audio.
“Calon presiden kita itu yang paham Islam hanya satu, …. , itu yang wajib kita pilih. Kalau dia terpilih menjadi presiden, insya Allah dia banyak menguntungkan Islam, dia akan berusaha untuk mengatur negara ini dengan hukum-hukum Islam semampunya.” lanjutnya.
Saat itu, pernyataannya ini membelah jamaah Baasyir ke dalam dua kubu. Ada yang meninggalkan Baasyir karena dianggap mengkhianati perjuangan penegakkan “khilafah”. Mereka adalah beberapa ormas yang terafiliasi dengan Baasyir, seperti eks Jamaah Islamiyah atau Jamaah Ansharu Tauhid atau Majelis Mujahidin Indonesia. Ada pula yang mendukung Baasyir. Mereka kemungkinan besar relasinya di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki.
Tetapi di sisi lain, Baasyir menunjukkan gestur afirmatif terhadap sistem pemerintahan Indonesia. Gestur ini tidak pernah terlihat di sepanjang kiprah aktivisme Baasyir sebelum 2021. Ia sangat menjaga jarak dengan negara. Sebelum dibebaskan, ia bahkan sempat tiga kali menolak remisi pembebasan karena harus berikrar pada Pancasila.
Baasyir akhirnya mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara. Ia menjelaskan bahwa alasan ulama bersepakat soal ideologi Pancasila adalah karena Pancasila didasarkan pada tauhid, ketuhanan yang maha esa.
Secara tersurat, pernyataan Baasyir tersebut menunjukkan “pertobatan” dari ekstremisme menuju nasionalisme. Namun, apakah memang benar demikian? Apakah Baasyir benar-benar meninggalkan dunia yang “membesarkan” namanya itu?
Menurut saya tidak sesederhana itu. Di bulan yang sama ketika Baasyir mengakui eksistensi Pancasila, Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki sedang mengadakan upacara memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.
Momen itu menandai pertama kalinya Sang Saka Merah Putih berkibar di area kompeks Pondok Ngruki. Dalam satu rangkaian acara yang nampak nasionalis itu, Baasyir menyampaikan sambutannya. Sambutan itu yang membuat saya mengernyitkan dahi jika mendengar pengakuan Baasyir tentang Pancasila.
Ba’asyir masih tegas membenturkan hukum buatan manusia dan hukum yang diturunkan Allah. Ba’asyir, misalnya, mengatakan bahwa jika negara masih menggunakan hukum buatan manusia, yang saya yakin merujuk pada sistem demokrasi, maka moral masyarakatnya tidak akan pernah membaik.
Sebaliknya, jika sebuah negara sudah mengimplementasikan hukum-hukum sesuai dengan syariat Allah, maka moral rakyatnya pasti akan terpuji. Melalui orasi beliau di podium reuni, saya menangkap pesan bahwa Ba’asyir nampak tetap berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini.
Komitmen ini yang ia jaga terus, termasuk yang ia pesankan kepada Joko Widodo di rumahnya. Ia memisahkan antara asas negara dan sistem pemerintahan. Ia tetap sepakat bahwa Pancasila menjadi landasan filosofis negara, namun sistem pemerintahannya harus diganti dengan yang diturunkan Allah, yang saya yakin merujuk pada sistem khilafah.
Semua kepentingan ideologis ini yang membuat Abu Bakar Baasyir tetap menjadi Abu Bakar Baasyir. Ia masih dilindungi oleh asas kebebasan berpendapat oleh sistem yang ia kutuk sendiri.
Baasyir dan lingkaran dalamnya tampaknya telah sampai pada kesimpulan bahwa jalan kekerasan dan penolakan mentah-mentah terhadap negara hanya berujung pada jeruji besi. Metode tersebut terbukti gagal, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak belahan dunia lain.
Dengan mendekati kekuasaan, Baasyir tidak sedang menanggalkan ideologinya, melainkan mencari kendaraan baru yang lebih efektif untuk menyampaikannya. Ia beralih dari perjuangan fisik menuju perjuangan diskursif dan politis.
Sowan Baasyir ini bisa jadi adalah prototipe bagi babak baru gerakan Islamisme di Indonesia, paling tidak dalam kasus Baasyir. Bukan lagi tentang mendirikan negara dalam negara, melainkan mengubah negara dari dalam secara perlahan.
Baasyir tetaplah Baasyir. Ia memiliki massa. Ia tetap memiliki karisma. Caranya menerima simbol-simbol kebangsaan seperti Pancasila sambil terus mendorong implementasi “hukum Allah” bisa jadi akan merangkul segmen yang lebih luas yang mungkin alergi dengan kekerasan namun simpati pada gagasan “syariat Islam”.