Ketika Radikal Menemukan Target Baru

Ketika Radikal Menemukan Target Baru

- in Narasi
1
0
Ketika Radikal Menemukan Target Baru

Kamis siang (20/11/) saya mendapat undangan sebagai narasumber podcast pada program “Sarapan Bubur Pedas” (Saran dan Pandangan, Bual-bual Urusan Politik, Edukasi Kesadaran Sosial) Seri ke-8 gawenya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Acara ini diadakan di Podcastnya harian Tribun Batam di Batam. Temanya cukup menggugah: “Kewaspadaan Dini Terhadap Paham Radikalisme dan Terorisme di Kalangan Generasi Muda,”.

Tema yang keren dan menyentuh hati. Saya semangat hadir. Sebab, soal radikalisme dan terorisme merupakan topik yang hangat belakangan ini. Apalagi sejak adanya ledakan di SMAN 72 Jakarta, baru-baru ini.

Fenomena kasus kekerasan ekstrem oleh remaja sebenarnya bukan hal baru. BNPT dalam laporan Nasional 2023 mencatat bahwa lebih dari 63 persen proses penyebaran paham ekstremisme kini terjadi di ruang digital, terutama melalui media sosial dan platform pesan tertutup.

Radikalisme dan Terorisme dua kata yang mengandung makna menggetarkan. Apa itu radikalisme? Ia adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sistem sosial dan politik secara drastis atau ekstrem.

Sementara terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menciptakan suasana teror atau ketakutan secara luas guna mencapai tujuan politik, ideologis, atau keagamaan. Keduanya saling terkait. Radikalisme sering menjadi hulu. Terorisme hilirnya.

Dulu, radikalisme muncul pada orang-orang yang punya aliran keagamaan yang memandang hanya agamanya yang benar, sedangkan agama lain sesat. Pemahaman sempit semacam ini sering melahirkan aksi kekerasan terhadap pihak yang berbeda.

Namun, belakangan wajah radikalisme dan terorisme mulai berubah. Pihak yang disasar tidak hanya individu dewasa dan laki-laki saja. Tapi mulai bergeser membidik generasi muda, kaum wanita dan anak-anak.

Perubahan pola ini juga dicatat dalam kajian BRIN, 2022-2023, yang menemukan bahwa kelompok ekstremis secara aktif memperluas target menuju Gen Z, perempuan muda dan anak-anak, sejalan dengan strategi global yang disebut youth centric radicalisation.

Cara perekrutannya, tidak lagi konvensional, lewat pengajian atau penyebaran buku-buku yang dinilai “keras”, akan tetapi sekarang mengikuti perkembangan zaman di era digital, yakni melalui media sosial, game online, konten digital, dan ruang-ruang virtual yang sulit diawasi orang tua maupun guru.

Faktanya, di beberapa tempat sudah mulai ditemukan golongan generasi Z, perempuan, dan anak-anak yang terpapar paham radikalisme.

Unesco dalam laporan 2023 menyebutkan bahwa remaja berusia 12-18 tahun adalah kelompok paling rentan terhadap ekstremisme digital, terutama yang berbentuk konten video pendek, forum game dan grup chat privat. Ini menguatkan kenyataan lapangan yang kita saksikan sekarang.

Data Anti Teror Polri dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), 2024-2025, menunjukkan kecendrungan serupa. Generasi muda (Gen Z & Alpha), perempuan, dan anak-anak bukan hanya “terpapar” secara pasif, melainkan aktif dijadikan target perekrutan oleh jaringan radikal dan ekstremis.

Kasus SMAN 72 Jakarta (November 2025) menjadi alarm keras. Seorang siswa terpapar konten ekstrem kekerasan berbasis internet dan merakit bahan peledak setelah terinspirasi tayangan “true crime” dan komunitas kekerasan online.

Temuan menunjukkan bahwa radikalisasi kini tidak melulu soal agama, tetapi juga ekstremisme kekerasan yang tumbuh dari ruang digital.

Densus 88 baru-baru ini mengungkap jaringan yang merekrut anak-anak (usia 10-18 tahun) melalui game online dan media sosial (instagram).

Sebanyak 110 anak teridentifikasi telah didekati atau direkrut. Para perekrut memanfaatkan fitur chat di dalam game untuk membangun kedekatan emosional sebelum menanamkan paham radikal.

Temuan lapangan ini selaras dengan laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) 2023 yang menyebut bahwa perekrutan melalui game online menjadi tren global karena interaksi antarpemain berlangsung tanpa pengawasan dan bersifat personal.

Dinamika serupa terjadi pada grup perempuan. Peran mereka bukan sekedar pendukung, tapi sudah menjadi “Pengantin”, pelaku bom bunuh diri atau bagian dari operasi.

Perempuan dianggap punya keuntungan taktis karena stereotip “tidak berbahaya” membuat mereka lebih mudah lolos saat pemeriksaan keamanan.

Contoh, kasus pasutri di Kalimantan Timur (Juli 2025), menegaskan unit keluarga masih menjadi sel radikalisasi yang efektif. Istri sering kali memiliki peran setara dalam merencanakan atau menyembunyikan aktivitas kelompok.

Mengapa mereka jadi sasaran? Para gerombolan radikal menargetkan ketiga golongan ini dengan alasan strategis, diantaranya, anak muda (Gen Z/Alpha) memiliki rasa ingin tahu tinggi, sedang mencari jati diri, dan sangat “melek” teknologi namun terkadang belum memiliki filter informasi yang kuat.

Survei Kominfo-BSSN 2023 menemukan bahwa 72 persen remaja Indonesia aktif di dunia digital tanpa pengawasan orang tua, menjadikan mereka kelompok dengan paparan tertinggi terhadap manipulasi digital.

Perempuan dianggap lebih mudah menembus target karena label sosial. Sedangkan anak-anak adalah lahan doktrin yang subur, calon “kader biologis” sekaligus “kader ideologis”.

Dewasa ini, lahir modus baru yang perlu diwaspadai orang tua. Pertama, radikalisasi hibrida, yakni perpaduan antara paham agama yang menyimpang dengan konten kekerasan umum seperti, “school shooting” dan komunitas kriminal digital.

Kedua, propaganda halus yang masuk melalui isu-isu sosial yang dekat dengan anak muda (ketidakadilan, anti-kemapanan, asosial) sebelum dibelokkan ke arah kekerasan.

Ketiga, perpindahan aktivitas ke grup chat tertutup, seperti Telegram, Discord, atau fitur chat dalam game, yang sulit dipantau orang tua maupun guru.

Fenomena ini menuntut kewaspadaan lebih serius. Peran serta orang tua dan sekolah diperlukan sekali dalam mengawasi aktivitas digital anak-anaknya.

Radikalisme dan terorisme mungkin berubah wajah, tapi esensinya tetap sama memanfaatkan celah kerentanan manusia.

Karena itu, menjaga generasi muda tetap dalam jalur moderasi, kewargaan dan nalar sehat adalah tugas bersama, antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.

Usai tanya jawab podcast, host nya manggut-manggut. “Ngeri juga ya pak dampak radikalisme dan terorisme saat ini. Bukan hanya generasi muda yang disasar, tapi juga kaum perempuan dan anak-anak. Saya baru tahu sekarang tu,” ujar host nya dengan wajah terlihat cemas.

Saya cuma diam membenarkan.*

Facebook Comments