Kalimatun Haqqun Yuriidu bihaa al-Baathilmerupakan ungkapan yang dipopulerkan Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib di masa perang Shiffin. Kalimat itu digunakan Khalifah untuk menyindir sejumlah orang yang menafsirkan seenak udele dalil agama dengan mempersalahkan kebijakan berunding dengan pasukan pemberontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mereka yang menolak perundingan itu dalam sejarah Islam dikenal sebagai Khawarij.
Khawarij dalam literatur umat Islam merujuk pada sekelompok ‘begundal’ yang dikenal sering melakukan aksi kekerasan berlabel agama. Ciri khas utama yang dimiliki mereka adalah klaim absolut atas kebenaran versi mereka sendiri. Apa yang mereka yakini benar atau salah maka harus menjadi kebenaran umum dan diterima oleh masyarakat luas. Berbeda dari apa yang mereka yakini adalah kafir dan keluar dari agama (murtad) atau dituduh Thogut, konsekuensinya diperangi atau mati.
Atas dasar itulah Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap dua orang aktor utama perang dan dan satu tokoh perundingan Shiffin, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan ‘Amr bin ‘Ash. Ketiga sahabat Rasulullah saw. ini dianggap telah keluar dari agama dan karenanya darah mereka menjadi ‘halal’. Mereka berpendapat bahwa perundingan adalah produk tahkim(berhukum)alamanusia. Padahal menurut mereka, manusia dilarang ber-tahkimkecuali dengan hukum Allah.Laa hukma illallah, begitu jargon yang mereka teriakan. Logika ini persis sama dengan logika kelompok radikal beragama di Indonesia.
Rencana pembunuhan itu berjalan hampir mulus. Tim eksekutor yang ditugasi membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin ‘Ash gagal melaksanakan tugas lantaran dihentikan oleh para pengawal yang mencurigai aksi tersebut. Sementara tim eksekutor Ali bin Abi Thalib berhasil menyempurnakan tugasnya membunuh Khalifah saat berangkat salat Subuh. Tim ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang yang dikenal radikal dan keras dalam memahami ajaran agama.
Siapa itu Abdurrahman bin Muljam? Dalam sejumlah literatur nama ini dikenal sebagai orang ‘saleh’. Dia bukan orang berlatar belakang penjahat. Dia dikenal dalam literatur biografi Muslim dengan,haafidzul quran(penghapal Alquran),shoimun nahaar(penggemar puasa), dan qooimul lail(ahli ibadah malam). Tentang Abdurrahman bin Muljam ini sejumlah riwayat menceritakan bahwa dia merupakan salah seorang utusan khusus di zaman Khalifah Umar bin Khattab kepada penduduk Mesir. Ia pernah diberi tugas khusus untuk mengajarkan Alquran kepada masyarakat di sana.
Kembali ke ungkapan Ali bin Abi Thalib di atas,Kalimatun Haqqun Yuriidu bihaa al-Baathil, secara harfiah berarti, “pernyataan benar yang dimaksudkan untuk tujuan aksi yang salah”. Dalam konteks saat itu Khalifah Ali jelas menyindir Khawarij yang gemar melabelkan justifikasi agama untuk melakukan aksi kekerasan atas nama agama, termasuk membunuh. Ungkapan itu juga bisa diartikan sebagai kritik terhadap sejumlah kelompok orang beragama yang selalu merasa paling benar.
Khawarij dalam sejarah Islam merupakan momok menyeramkan. Kehadirannya selalu dibarengi aksi pertumpahan darah. Sejarah mencatat kekerasan yang mereka lakukan pertama kali adalah aksi demonstrasi berujung pada huru-hara yang menewaskan Khalifah ketiga, Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan. Setelah itu berlanjut pada huru-hara lainnya hingga pemusnahan teror kelompok ini oleh kepemimpinan Dinasti Bani Umayyah.
Meski secara fisik nama kelompok ini telah musnah dan hilang dari peradaban, namun bibit pemikiran dan ideologinya masih sangat jelas terlihat. Virus Khawarij masih kerap menempel di sejumlah kelompok atau individu umat Islam. Korbannya tak hanya mereka yang belum paham agama. Mereka yang sepintas paham agama pun boleh jadi justru adalah ikon ‘ideologi’ Khawarij, seperti Abdurrahman bin Muljam di atas. Hal ini tentu mengkhawatirkan, karena keberadaan ‘ideologi’ seperti ini akan memusnahkan peradaban Islam yang dikenal memuliakan manusia.
Salah satu ciri ‘ideologi’ ini adalah propaganda kekerasan. Bagi mereka menjalankan ‘agama’ harus dilakukan dengan cara pemaksaan. Penggunaan kekuatan mutlak dilakukan untuk menegakkan ‘syariat’ versi mereka. Penafsiran atas teks keagamaan mutlak hanya milik kelompok mereka. Di luar itu, wajib diperangi! Selain kelompok mereka adalah kafir dan thogut. Hanya merekalah yang pantas disebut sebagai para penolong agama Allah (Anshaarullah) atau para penegak tauhid (Ansharut Tauhid). Adakah di sekitar anda para keturunan ‘ideologis’ dari Abdurrahman bin Muljam? Jika iya, waspadalah!