Di Indonesia, terorisme seakan menjadi musuh lintas generasi. Dari zaman kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi, radikalisme dan terorisme menjadi duri dalam sekam bagi kelangsungan dan kedaulatan negara. Tidak ada obat ampuh yang terbukti mampu meredam total virus bernama radikalisme dan terorisme. Beda Orde, beda pula pendekatan dalam menanggulangi terorisme.
Era reformasi membuka harapan baru dengan hadirnya iklim politik baru yang lebih terbuka, menjamin kebebasan dan hak asasi manusia ditinggikan. Siapa nyana, terorisme justru semakin tumbuh subur dan ledakan menakutkan terjadi di mana-mana bersamaan dengan komitmen negara untuk mengakhiri cara-cara militeristik dan pendekatan intelijen.
Sempat muncul harapan baru manakala penegakan hukum diletakkan sebagai ujung tombak penanggulangan terorisme. UU Nomor 15 Tahun 2003 menjadi landasan konstitutif dalam menanggulangi terorisme, sekaligus menandai UU pertama yang berbicara secara eksplisit tentang terorisme. Terorisme dan kelompok penebar teror diposisikan sebagai pelanggar hukum yang menjalankan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Para kriminal tersebut ramai-ramai tertangkap, aktor intelektual terungkap dan jaringan teror lamban laun diamputasi.
Sudah berhasilkah upaya tersebut? Menangkap pelaku, memenjarakannya, dan mengkoptasi pemimpin dan aktor serta memutus jaringan mungkin dikatakan berhasil. Praktis bisa dikatakan tidak ada bom besar pasca 2006-2009 sebelum akhinya muncul tragedi berikutnya yang bernama Bom di Hotel JW Marriot dan Rizt-Carlton. Setelah penegakan hukum mulai dintensifkan, pelaku dan jaringan teror mulai terpecah, bergerak di bawah tanah, menyebar ke berbagai sel dan melakukan diaspora dalam kelompok-kelompok kecil bahkan muncul organisasi dan invidividu baru.
Harus jujur dikatakan, penanggulangan terorisme dengan penegakan hukum tidak mampu meredam dan mematikan terorisme seperti yang diharapkan. Semata penegakan hukum melalui penindakan yang berlebihan justru menimbulkan siklus balas dendam dan kebencian baru. Dan harus dicatat semata penindakan dalam menanggulangi terorisme hanya menimbulkan persoalan baru. Karenanya, kita masih saja menghadapi pertanyaan besar : bagaimana mengakhiri tindakan dan gerakan terorisme secara efektif?
Beberapa pakar lintas negara mencoba memberikan uraian strategis dalam mencapai tujuan tersebut. Omar Ashour, misalnya dalam The Deradicalisation of Jihadists, 2010, yang melakukan studi gerakan radikal di Mesir memberikan pilihan strategi semisal : 1) State Repression : Tekanan negara yang kuat baik dengan cara militer, intelijen atau penegakan hukum. 2) Cooptation of Leaderships : tokoh utama/pemimpinnya didekati, digalang dan dikooptasi negara. Selective Inducement : memberikan tawaran yang menarik bagi gerakan terorisme sehingga berubah pemikirannya. Social Interaction : memfasilitasi teroris agar mampu berinteraksi sebanyak mungkin dengan kelompok moderat sehingga mampu memoderasi pemikirannya.
Hampir senada dengan Omar Ashour, Audrey Kurth Cronin dalam How Terrorism Ends, 2010 : memberikan langkah strategis yang sama dengan istilah berbeda dalam rangka menanggulangi terorisme, yakni dengan State Repression, Decapitation (melumpuhkan pemimpinnya), loss Public Support : mendorong dukungan masyarakat untuk melawan terorisme, Negotiation to Political process : Negosiasi agar masuk ke dalam sistem politik, reorientation ,Transition to other tactics : mereorientasi taktik dari kekerasan ke Non kekerasan.
Menurut hemat, penulis, tawaran strategi di atas sebenarnya bukan pilihan parsial tetapi beberapa anasir strategis yang bisa dilakukan secara simultan dan komplementer. Terorisme sebagai fenomena kejahatan kemanusiaan yang kompleks tidak bisa diselesaikan dengan hanya satu pendekatan dan strategi. Terorisme memiliki banyak faktor, pendorong, dan pendukung yang semestinya lebih dapat ditanggulangi dengan perpaduan pendekatan dan koordinasi lintas sektoral.
Sebenarnya untuk merancang strategi penanggulangan terorisme tidak bisa dilepaskan dari cara pandang kita dalam melihat karakteristik dan titik permasalahan terorisme itu sendiri. Terorisme disebabkan oleh faktor-faktor yang korelatif dan kompleks. Dalam konteks itulah, pemberantasan terorisme memerlukan upaya komprehensif yang bersifat jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Sekaligus sangat penting bahwa terorisme harus dilakukan secara sinergis-koordinatif yang tidak hanya membutuhkan kebijakan lintas sektoral, tetapi partisipasi publik.
Atas pemikiran itulah, muncul kesadaran baru bahwa terorisme bukan persoalan aksi dan tindakan, bukan pula persoalan aktor dan jaringan, tetapi yang sangat berbahaya adalah terorisme adalah persoalan paham, keyakinan dan ideologi kekerasan yang mudah menular dan menkangkiti siapapun. Tantangan terorisme, dengan demikian, tidak melulu persoalan menindak aktor dan memutus jaringan, tetapi menangkal dan mencegah paham itu sendiri.
Tahun 2010, muncul gagasan dan pemikiran untuk menanggulangi terorisme secara komprehensif dan koordinatif yang dapat menyentuh akar persoalan. Dirasa penting pendekatan baru yang tidak hanya menggunakan penegakan hukum, tetapi juga mengedepankan aspek pencegahan. Negara menginginkan penanggulangan terorisme dapat dilakukan dari hulu ke hilir. DPR pun merekomendasikan adanya lembaga koordinatif yang mampu mensinergikan seluruh kekuatan komponen bangsa baik instansi pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan terorisme.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 negara ini mengamanatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga koordinatif dan leading sector penanggulangan terorisme yang diharapkan mampu memadukan antara pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach). Dalam aspek pendekatan keras, sebagai lembaga koordinator BNPT bukan lembaga penindak. Inilah yang sering disalahpahami. BNPT merupakan badan yang mengoordinasikan kekuatan penegakan hukum agar upaya pengakan hukum, kekuatan intelijen dan investigasi dari berbagai instansi berjalan sinergis. Dalam konteks itulah, sebenarnya salah kaprah dan gegabah jika mengatakan BNPT salah tangkap orang.
Inti dan jantung keberadaan BNPT sebenarnya lembaga yang mengedepankan pendekatan lunak yang disebut dengan kebijakan pencegahan terorisme. Pada prakteknya pencegahan terorisme yang dilakukan oleh BNPT adalah dengan mensinergikan program antar kementerian dalam rangka pencegahan terorisme. Dan yang paling utama adalah bersama dengan seluruh elemen masyarakat (tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda, pelajar, akademisi, insan media dan lain-lain) dalam mencegah tumbuh kembang radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Lalu bagaimana strategi Pencegahan terorisme yang dilakukan oleh BNPT?
Bersambung Bagian II