Keluarga ini memahami betul kondisi saya sebagai seorang muslim yang harus menjalankan kewajiban ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Mama, demikian saya memanggil, memaksakan diri menyiapkan makan sahur pada pagi buta sebelum Subuh dan menyiapkan makanan untuk berbuka puasa pada petang.
Biasanya, saat berbuka puasa mama dan seluruh keluarga menemani saya sekaligus makan malam. Hal itu berlangsung selama hampir dua minggu kebersamaan saya dengan keluarga ini. Saat itu saya harus melakukan sebuah riset tentang seluk beluk budaya lokal di desa itu, Sikka-Flores, Nusa Tenggara Timur, beberapa tahun silam.
Saya menyadari menjadi satu-satunya muslim yang ada di desa itu setelah dua minggu kehadiran saya di desa tersebut yang penduduknya seratus persen menganut Katolik. Tak ada masjid maupun musholla sehingga untuk keperluan beribadah saya melakukannya di rumah keluarga ini. Sementara untuk sholat Jumat saya harus pergi ke kota Maumere yang jaraknya sekitar tiga puluh kilometer, dua puluh lima menit menggunakan ‘oto’, sebutan masyarakat setempat untuk angkutan umum.
Sikka merupakan daerah yang unik, berada persis di bibir pantai selatan laut Savu, memiliki sejarah panjang kehadiran agama katolik di kawasan Timur Indonesia. Bahkan, dalam catatan sejarah lokal, Sikka merupakan sebuah nama kerajaan Katolik pertama dan mungkin satu-satunya di Nusantara. Bangunan bekas rumah raja saat ini, Lepo Gethe, telah direstorasi, meskipun menurut penduduk lokal dan tokoh adat setempat, bentuknya tidak seperti yang dulu pernah ada.
Dalam cerita-cerita lisan yang ada, sekitar abad keenam belas, pemimpin kerajaan Sikka melakukan hibah perjalanan sampai ke Eropa dan bertemu dengan rombongan misionaris Portugis. Sang raja kemudian pulang ke Sikka bersama orang Portugis dan menyatakan kerajaannya sebagai kerajaan Katolik. Sebuah gereja tua, yang ada di desa ini disebutkan menjadi saksi kerajaan tersebut.
Hingga saat ini, pengaruh dari kebudayaan portugis dalam beberapa hal masih melekat dalam adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Yang paling kentara adalah pada nama marga warga masyarakat yang mengadopsi nama-nama portugis semisal, Da Cunha, Pareira, Da Silva, Fernandez, Da Gomez dan lain-lain. Banyak pula kata bahasa Portugis yang diserap ke dalam bahasa lokal dan beberapa tetua adat dan orang tua masih mengenalinya.
Menariknya, adat istiadat warga lokal setempat masih kuat dan menjadi ikatan kekerabatan dan kebudayaan warga Sikka, meskipun iman Katolik merupakan afiliasi agama mereka. Dalam setiap acara dan ritual adat, kehadiran pendeta dan restu serta doa secara katolik merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi. Doa-doa dalam ritual adat merupakan doa ala iman Katolik yang disesuaikan dengan kebutuhan adat. Hal ini mengingatkan saya pada pola persinggungan Islam dengan masyarakat Nusantara yang mampu diterima melalui persinggungan dengan kebudayaan setempat dengan cara yang lembut dan damai.
Saya melihat, adat istiadat dan kebudayaan lokal merupakan kekayaan Nusantara yang menjadi perekat dan memuat nilai-nilai kebersamaan serta menghormati apapun latar belakang kita baik suku, agama ataupun golongan. Pada ranah kebudayaan (peradaban) inilah kita bisa merayakan perbedaan dan mendapati nilai-nilai ke-Nusantaraan yang telah diadopsi menjadi dasar dan falsafah bangsa ini, Bhineka Tunggal Ika, dalam dasar negara bangsa, Pancasila.
Dengan pendekatan dan pergaulan nilai kebudayaan inilah, saya tidak merasakan terasing apalagi takut dan terintimidasi saat menjadi minoritas. Di saat prasangka etnis atau suku, iman agama, dan perbedaan faham keagamaan muncul dalam benak kita, cobalah mengalihkan pandangan pada nilai adat dan tradisi leluhur. Kita akan melihat akar persamaan, persaudaraan dan nilai ke-Indonesiaan yang bisa mengatasi perbedaan dan faham. Banyak sekali nilai-nilai lokal di berbagai belahan Nusantara ini yang menjadi modal kuat dan menyatukan imajinasi tentang keindonesiaan.
Disinilah pentingnya pengalaman-pengalaman praktis menjumpai perbedaan yang dapat memperkaya visi keindonesiaan sehingga keanekaragaman Indonesia tak hanya sebatas level diskursus. Salah satu faktor maraknya eksklusivisme yang memicu pada gerakan-gerakan sektarian dalam bidang keagamaan adalah miskinnya pengalaman perjumpaan dan pertukaran pengalaman antara pemeluk agama dan budaya yang berbeda.
Pertukaran dan pengalaman bukan berarti harus mengikuti ritual ibadah atau mengkonversi iman dan keyakinan tapi dengan dialog dan mengeksplorasi bahwa perbedaan-perbedaan benar adanya dan tak perlu untuk dicurigai dan dikhawatirkan. Output dari pertukaran ini adalah sebuah kesadaran bahwa diantara kita memang banyak perbedaan dan keunikan yang akan menjadi Indah jika bisa dikelola sebagai visi pemersatu bangsa.
Pandangan kebhinekaan dan keanekaragaman budaya, agama, suku dan bahasa sejalan dengan prinsip-prinsip multikulturalisme yang tak sekedar menuntut penerimaan adanya perbedaan atau “yang lain”, tapi ia juga menuntut adanya penghargaan dan apresiasi. Sejarah peradaban nusantara yang warna warni telah dirangkum oleh para pendiri bangsa ini menjadi dasar bernegara dalam falsafah Pancasila. Dinamika jelang persiapan kemerdekaan di antara tokoh-tokoh perwakilan dari seluruh wilayah Hindia Belanda yang berbeda latar belakang agama dan suku menggambarkan sikap toleransi dan penghargaan demi tujuan bersama pembentukan sebuah bangsa yang bermartabat. Tanpa ada kesediaan menghargai perbedaan, maka Indonesia ini tidak akan muncul atau malah berserakan dalam negara-negara kecil.