Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

- in Narasi
5428
3

Sama seperti cinta, benci juga kadang buta. Itulah yang saya alami beberapa tahun yang lalu, tahun 2010.
Saya dulu memiliki sentimen pada Malaysia. Kesal dan benci. Entah perasaan apa di dalam hati. Panas, seperti membara. Padahal di hati saya tidak ada siluman rubah berekor sembilan. Tapi tanpa alasan yang jelas. Saya benci Malaysia. Mungkin karena isu-isu tentang pulau Sipadan dan Ligitan yang saling rebut, atau saling hina di internet, saya jadi sedikit terpengaruh untuk membenci Malaysia.

Saya sekolah di Mahad International Damaskus, Syria. Teman-teman saya datang dari 50 negara berbeda, salah satunya Malaysia. Saya tidak mengerti. Setiap melihat wajah-wajah orang Melayu Malaysia ada perasaan jengkel dan sebal. Apalagi kalau mendengar dialek mereka berbicara.

“Kemanee laa.. Bila kesini lagi? Betul, betul, betul!”

Bahasanya itu lho. Seperti anak alay. Aaahh. Saya tidak enak mendengarnya.

Suatu hari saya sangat lapar. Saya belum makan sedari pagi. Badan saya agak panas dan batuk-batuk, karena badan kurang fit saya tertidur pulas ketika datang waktu sarapan.

Jam makan siang pun tiba, saya terlambat masuk ruang makan. Teman-teman yang lain telihat sudah selesai makan. Waduh! Putus asa. Saya tidak kebagian makan.

Saya celingak-celinguk kanan-kiri. Ada seseorang yang memanggil

“Indonesia! Ta’al!, Indonesia, kemari!”

Orang yang memanggil saya itu Munawar, orang Malaysia. Kakak kelas saya, tapi lebih muda 3 tahun dari saya.
Dia juga terlambat seperti saya. Dia berkata pada ustadz, bertanya dan meminta makanan untuk kami, ada 6 orang yang belum makan, salah satunya saya.

Akhirnya datanglah makanan. Saat itu lauknya ayam dengan nasi Mesir. Duduklah kita berenam: saya, Munawar, sisanya orang Afrika dan Rusia yang saya tidak kenal.

Saya orang Indonesia yang memiliki moto, ‘bukan makan namanya kalau tidak ada nasinya’. Ya secara naluriah. Saya terlebih dulu mengambil nasi. Sedangkan teman Afrika dan Rusia yang tidak menyukai nasi, mereka berebut mengambil daging ayam. Habislah daging ayam itu dari hadapan saya. Di piring saya hanya ada nasi mesir. Sedih sekali saat itu.

Tiba-tiba, sebuah sendok yang di atasnya ada daging ayam mendarat di piring saya. Saya liat wajah pemberinya, dia tersenyum.

“Ayolah makan,” katanya.

Itu Munawar, Orang Malaysia, orang yang selama ini saya benci karena prasangka.

Waduh. Saat itu saya mengeluarkan air mata seketika. Sudah lama saya berburuk sangka pada orang Malaysia. benci tanpa sebab, termakan isu. Ternyata sekarang saya ditolong orang Malaysia. Rasa benci saya pada orang Malaysia hancur berkeping-keping, berubah, jadi rasa kasihan pada diri saya sendiri.

Akhirnya sekarang. Saya memiliki banyak teman Malaysia yang baik baik. Seperti Taqiyudin Hamzah, Lukman. Saya jadi sering main ke rumah makan melayu yang diurus mahasiswa Malaysia di Ruknudin, Syria.
Kami sering mengobrol, bercerita, dan berbagi. Indah sekali.

Kita orang Melayu. Mengapa tidak bersatu? Bukankah dengan bersatu kita bertambah mutu?
Bersekutu bertambah mutu. Bhineka tunggal ika. Dua semboyan negara jadi satu.

Sepertinya jika Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei bersatu. Kita tidak akan kalah oleh Amerika, Eropa, China, Jepang, Rusia. Kita akan menjadi bangsa yang keren jua.

Facebook Comments