Islam adalah agama yang pada dasarnya sederhana. Disebut demikian karena Islam adalah agama praktis; Islam bukan agama yang susah dan berat untuk dipahami. Ajaran pokoknya adalah Tauhid, meng-Esakan Allah, dan larangan berbuat syirik alias menyekutukan Dia dengan yang selain-Nya.
Islam adalah agama yang mudah dipahami dan dinalar oleh siapa pun; dari para Nabi, para filsuf, para ulama, hingga kalangan awam yang tidak pernah duduk di bangku sekolah sekalipun. Kehebatan Islam justru terletak pada kesederhanaan ajarannya. Tidak rumit dan tidak pelik.
Islam juga mudah untuk diamalkan. Shalat lima waktu—jika sudah terbiasa—tidak berat ditunaikan. Begitu juga ajaran yang lain; seperti zakat, puasa Ramadhan, dan haji (bagi yang mampu). Semua mudah untuk diamalkan. Sebab, Allah telah menegaskan: “Tidaklah Allah jadikan agama ini menyusahkan” (QS. Al-Hajj: 78).
Bagi para pemeluknya, Islam adalah agama yang seratus persen benar (Dîn al-Haqq). Bahkan Islam diyakini sebagai ajaran paling mulia, paling indah, dan paling sempurna di antara ajaran agama yang ada. Klaim kebenaran atas agamanya juga dianut oleh setiap pemeluk agama yang lain.
Di antara ayat yang bicara tentang keunggulan Islam ialah: “Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (Nabi Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Dîn al-Haqq) agar Dia menampakkan keunggulan agama (Islam) di atas semua agama yang ada meskipun kaum musyrik membencinya (QS. As-Shaf: 9).
Ayat lain menyatakan: “Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19). Ayat lain lagi menegaskan: “Siapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima…” (QS. Ali Imran: 85).
Ayat-ayat di atas dengan terang menyatakan kehebatan, keunggulan, dan kebenaran Islam. Hanya saja, semua itu dapat terwujud dengan nyata dalam kehidupan apabila umat Islam sendiri mengamalkan ajaran agamanya dengan “baik dan benar”.
Untuk bisa mengamalkan Islam dengan “baik dan benar” tentu saja tidak cukup dengan amalan wirid dan zikir. Tidak cukup dengan tadarus Al-Qur’an sehari satu bahkan sampai sepuluh juz. Tidak cukup dengan hanya membaca banyak hadis dan menghadiri majelis-majelis taklim.
Sungguh tidak cukup semua itu. Karena apa? Ada banyak syarat bagi umat Islam untuk bisa berislam secara “baik dan benar”. Syarat paling utama ialah, berislam harus didasari semata-mata karena cinta dan sayang kepada Allah dan Rasulullah. Dalam Islam, Allah dan Rasulullah adalah “satu paket”, tidak bisa dipisah-pisahkan, namun harus dibedakan. Allah selamanya Al-Khaliq, sedangkan Rasulullah adalah makhluk.
Kenapa kami tadi menyebut “satu paket”? “Satu paket” di sini maksudnya adalah seperti yang telah dijelaskan Allah sendiri dalam Al-Qur’an: “Siapa taat kepada Rasulullah berarti ia juga taat kepada Allah” (QS. An-Nisa: 80).
Allah sendiri menandaskan bahwa Rasul-Nya (Nabi Muhammad) itu, apabila ajarannya ditaati, sama artinya dengan menaati Allah. Dengan kata lain, ajaran yang dibawa Rasulullah sudah pasti dan mutlak diridhai dan direstui oleh Allah SWT. Sederhana bukan?!
Perlu di sini ditegaskan, bahwa memandang Islam sebagai agama “sederhana” bukan berarti kita merendahkan dan menyepelekan ajaran Islam. Bukan maksud kami menyatakan bahwa Islam itu agama yang bisa “digampang-gampangkan.” Islam tetaplah Islam, dengan ajarannya yang benar, mulia, dan indah.
Sudah banyak, bahkan nyaris tak terhingga, persepsi dan keyakinan tentang Islam. Islam sederhana bukanlah ideologi baru apalagi akidah Islam yang baru; Islam sederhana hanyalah semacam perspektif (sudut pandang) dalam melihat ajaran Islam.
Dari sekian banyak muatan ajaran Islam jika kita kembalikan kepada substansinya maka akan tampak empat ajaran pokok, yakni: pertama, ajaran tentang tauhid/akidah; kedua, ajaran tentang ibadah, ketiga, ajaran tentang muamalah, dan yang tidak kalah penting, keempat, ajaran tentang akhlak. Empat hal inilah yang pokok dalam Islam, selebihnya hanya cabang.
Banyak kelompok Islam menghabiskan energinya untuk mengurusi cabang (furu’) dan bukan yang dasar atau pokok (ushul). Akibatnya, debat yang tidak berujung yang mewarnai perjalanan umat Islam dari dulu hingga sekarang. Kini saatnya kembali ke dasar/pokok/ushul, dan berhenti atau minimal mengurangi mengurus hal-hal yang bersifat cabang/furu’. Dan itu berarti kita menjadikan Islam sebagai agama yang sederhana. Wallahu A’lam.