Enam Tahun Arab Spring

Enam Tahun Arab Spring

- in Peradaban
2625
0

Tahun 2011 merupakan tahun bersejarah di kawasan dunia Arab karena tiba-tiba kawasan ini menjadi sorotan dunia dan menjadi bahan perbincangan di masyarakat internasional. Peristiwa yang berawal dari kisah kecil itu telah mengubah potret dunia Arab dari kunkungan otoriter dan diktator menuju ke arah kekebasan dan demokratisasi.

Tunis, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Irak dan negara-negara monarki secara tiba-tiba tersentak dengan gerakan massa yang tidak dapat dibendung oleh siapapun bahkan pada akhirnya membuat pemimpim-pemimpin Arab itu harus turun tahta dan menyerahkan kekuasaan secara terpaksa. Hingga saat ini dampak dari people uprising itu masih sangat terasa di Libya, Suriah, Irak, Yaman dan Mesir. Bahkan negara-negara monarki terus mengantisipasi dan menghindari terjadinya peristiwa dimaksud walaupun mereka terkesan aman namun pada dasarnya mereka terus berupaya menghindari munculnya gerakan serupa yang terjadi di negara-negara tetangganya.

Arab Spring yang bermula dari Tunis yang dilatarbelakangi oleh peristiwa pengusiran seorang penjual buah-buahan oleh aparat keamanan karena tidak mematuhi peraturan kota dalam hal pedagang kaki lima sehingga mengakibatkan kemarahan massa karena simpati dan solidaritas terhadap pedagang kaki lima yang telah membakar dirinya akibat keputus asaan atas tindakan aparat keamanan. Kemarahan massa ini bukan saja telah berhasil menggeser penguasa-penguasa diktator akan tetapi juga telah berhasil membuka pikiran masyarakat Arab untuk turut berdemokrasi sebagaimana dengan negara-negara demokrasi lainnya di belahan dunia ini.

Namun, gerakan massa yang begitu murni untuk mendapatkan kebebasan, perlakuan secara adil dan bermartabat dan hak-hak sebagai warga negara telah ditumpangi kelompok-kelompok tertentu yang selama ini tidak mampu mendobrak kekuasaan dan tidak mendapat dukungan dari massa untuk menjadi pemimpin di negara masing-masing. Di Mesir misalnya, gerakan massa yang murni digerakkan oleh anak anak muda yang tidak memiliki kepentingan politik ditunggangi oleh kelompok-kelompok Islam yang selama ini anti pemerintah. Demikian pula di Tunis, Libya, Yaman, Suriah dan Irak semuanya ditunggangi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki agenda politik namun tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menggeser kekuasaan selama ini.

Pemilu Pertama di Mesir, Tunis, Libya dimenangkan oleh kelompok Islam walaupun kemenangan itu tidak begitu berarti karena kemenangan kelompok Islam tidak jauh berbeda dengan kelompok-kelompok nasionalis yang ikut bertarung dalam pemilu dimaksud. Kemenangan itu justru semakin memperburuk situasi di kawasan dunia Arab. Mesir, Tunis, Libya kembali kacau dan justru semakin terpuruk baik secara politik maupun ekonomi. Demikian pula di negara-negara lain seperti Suriah, Irak justru semakin parah akibat munculnya ISIS yang merupakan kekuatan baru dan menjadi ancaman semua negara.

Harapan rakyat untuk hidup dalam suasana demokrasi, kebebasan semakin jauh dari harapan bahkan harapan itu terkubur akibat munculnya gejolak di mana-mana yang tiada henti. Kelompok-kelompok Islamist terus menjadi ancaman bagi kelompok nasionalist dan demikian pula sebaliknya. Dua kekuatan ini yang muncul sejak awal di kawasan Arab ini merupakan kekuatan historis yang akan terus mewarnai pergolakan politik di kawasan Timur Tengah. Kelompok Islamist didukung oleh mayoritas activist dan para ahli-ahli hukum serta profesinlist sementara kelompok nasionalist didukung oleh militer dan rakyat biasa. Yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang harus menjadi pengungsi di mana-mana untuk mencari kehidupan yang lebih baik bukan saja ke kawasan Eropa, Amerika akan tetapi juga ke Australia dan negara-negara maju lainnya.

Facebook Comments