Jika terbentang dua pilihan antara menjaga perdamaian ataukah menebar kekerasan, atau melancarkan peperangan demi merealisasikan tujuan, manakah yang didahulukan?
Orang dengan sumbu pendek yang mudah tersulut emosi akan mengambil jalan pintas, yakni dengan berbuat kekerasan. Sedangkan orang yang berorientasi pada kemaslahatan akan mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, yaitu mendahulukan perdamaian, walaupun terasa tidak menguntungkan atau dirugikan.
Sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW adalah pribadi yang cinta damai. Perang adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan pertikaian. Untuk menegakkan kedamaian itu, Rasulullah SAW mengikat seluruh penduduk Madinah dalam sebuah aturan bersama melalui Piagam Madinah. Dengan kalangan non Muslim Yahudi yang berasal dari Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraizhah, beliau mengikat perjanjian damai untuk tidak saling memusuhi dan saling tolong menolong. Bahkan memberikan kebebasan dalam beragama dan perolehan harta selama dalam jalan yang benar. Toh, akhirnya Nabi mengusir dan memerangi mereka karena perilaku mereka yang khianat dan melanggar perjanjian.
Bani Nadhir diperangi karena mereka memutuskan perjanjian secara sepihak dan melancarkan mufakat jahat untuk membunuh Rasulullah SAW. Sebelumnya diberikan peringatan dengan cara mengusir Bani Nadhir keluar Madinah selama 10 hari. Tapi hal itu ditolak dan menantang perang kaum Muslimin. Maka, menjawab tantangan adalah pilihan terhormat bagi Rasulullah SAW dan kaum muslimin Madinah.
Bani Qainuqa’ juga merupakan komunitas Yahudi yang berkhianat terhadap perjanjian. Bahkan berlaku culas dengan melecehkan perempuan muslimah di pasar Bani Qainuqa’. Seorang muslim Madinah yang berusaha menolong perempuan muslimah itu justru dikeroyok dan dibunuh beramai-ramai. Rasulullah SAW memberi pelajaran kepada Bani Qainuqa’ atas perbuatan keji itu dengan memerangi mereka.
Kekuatan militer dikerahkan untuk memerangi Bani Quraizhah dikarenakan mereka membelot dari perjanjian damai antara mereka dengan kaum Muslimin. Lebih dari hal itu, mereka juga membantu kaum Quraisy dalam peperangan Khandaq atau Ahzab.
Izin melakukan perang diberikan pada awal hijriyah demi melakukan perlawanan atas ancaman dan teror dari Kaum Quraisy yang sedari semula tidak henti-henti melakukan permusuhan. Ayat yang membolehkan melakukan perlawanan dalam bentuk perang adalah QS Al-Hajj (22):39;
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sungguh mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka.”
Namun, ketentuan berperang tersebut tidak dilakukan kepada suku-suku Arab yang lain yang tidak terlibat perselisihan dengan kaum muslimin secara umum.
Perang yang cukup besar adalah perang Mu’tah yang terjadi pada tahun ke-8 hijriyah melawan tentara nashrani dari Syam dan Romawi. Muasalnya bukan karena kaum muslim memiliki kebencian dan nafsu untuk berperang. Melainkan karena adanya tindakan lalim dan kekejian dalam hubungan internasional saat itu.
Musababnya bermula ketika Rasulullah SAW mengirim utusan untuk membawa surat ajakan untuk memeluk Islam kepada Gubernur Basrah di wilayah Syam yang bernama Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani. Saat itu, wilayah Syam berada di bawah kekuasaan Kaisar Romawi. Utusan Rasulullah SAW yang bernama Harits bin Umair Al-Azdi bukannya diterima dengan hangat layaknya seorang duta besar sebuah pemerintahan. Harits bin Umair dibunuh dengan keji. Pembunuhan inilah yang memicu terjadinya perang Mu’tah. Dalam aturan hubungan internasional saat itu, jika seorang delegasi sebuah pemerintahan dibunuh, maka ini sama saja dengan menantang untuk berperang. Nabi SAW menyambut tantangan itu demi mempertahankan harga diri, kemanusiaan, dan menjaga kemuliaan Islam.
Jelaslah adanya, jalan kenabian adalah jalan perdamaian. Rasulullah SAW lebih mendahulukan perdamaian, dan sebisa mungkin menghindari peperangan. Bahkan, demi mewujudkan tujuan yang ingin diraih dan diperlukan sikap mengalah, Rasulullah SAW lebih memilih strategi mengalah. Bukan berarti menunjukkan kelemahan. Justru demi meraih kemenangan.
Jalan damai demi kemenangan itu terlihat ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, pada tahun ke-6 hijriyah. Saat itu, Rasulullah SAW bersama 1,400 orang dari Muhajirin dan Anshar bermaksud melaksanakan haji karena telah turun ayat perintah melaksanakan perjalanan ke Mekkah untuk melakukan ibadah rukun Islam kelima itu.
Keinginan kaum muslimin untuk memasuki kota Mekkah demi melaksanakan ibadah haji ditolak olah kaum Quraisy. Mereka akan memerangi kaum muslimin jika nekad memasuki kota Mekkah. Kaum Muslimin bergeming. Kehendak mereka untuk memasuki Mekkah bukanlah untuk mengangkat pedang dan bertarung dalam peperangan. Mereka tak membawa senjata perang, juga tak menyiapkan pasukan.
Rasulullah berusaha meminta izin untuk memasuki Mekkah dengan mengirim utusan. Kaum Quraisy juga berkali-kali mengirimkan delegasi untuk memastikan tujuan Rasulullah SAW dan bahwa kaum muslimin datang bukan untuk berperang. Setiap kali utusan Quraisy datang dan menanyakan maksud dan tujuan, Rasulullah SAW menjawab dengan jawaban yang seragam, yaitu bukan untuk berperang, melainkan untuk memuliakan Baitul Haram melalui ibadah haji.
“Demi Allah yang Jiwaku berada di tangan-Nya, jika saja orang-orang Quraisy itu memintaku untuk menyetujui perjanjian demi mengagungkan Allah, pasti aku akan menyetujuinya,” ucap Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Setidaknya enam orang utusan silih berganti dikirim oleh kaum Quraisy untuk merundingkan kemungkinan boleh tidaknya Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Di antara masa-masa perundingan itu, ada saja kelompok yang berusaha menggagalkan perundingan, memprovokasi kerusuhan, dan menyulut perselisihan. Pada saat pemimpin kaum Quraisy mulai menerima tawaran perdamaian dari Rasulullah SAW, sekitar 80 orang pemuda Quraisy turun dari gunung Tan’im dan menyusup ke tempat kaum muslimin. Aksi itu berhasil digagalkan. Mereka ditangkap, namun Rasulullah SAW memaafkan dan melepaskan mereka.
Hingga akhirnya, salah satu penggede Quraisy bernama Suhail bin ‘Amr mendatangi Rasulullah SAW dan menawarkan proposal perundingan untuk disepakati antara kaum Quraisy Makkah dan Kaum Muslimin Madinah. Bagi kaum Quraisy, membuat kesepakatan dalam sebuah perjanjian bersama dirasa penting. Karena jika mereka membiarkan Rasulullah SAW dan kaum Muslimin memasuki Makkah dengan mudah, maka jatuhlah harga diri Quraisy di mata kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara, jika mereka melarang kaum Muslimin memasuki Makkah, bisa menyulut peperangan. Kekalahan demi kekalahan dalam pertempuran Badar dan peperangan lainnya belum benar-benar bisa dipulihkan dari kekuatan militer Quraisy.
Maka, di lembah Hudaibiyah Suhail bin ‘Amr mendatangi Rasulullah SAW. Sebelumnya kaum Quraisy menyelipkan pesan kepada Suhail; “Datangilah Muhammad dan berdamailah dengannya. Namun, dalam perjanjian perdamaian itu Muhammad harus mencabut keinginannya untuk berziarah ke Mekkah tahun ini.”
Rasulullah SAW menyambut Suhail bin ‘Amr dengan antusias, berharap kedatangannya membawa kemudahan. “Semoga Allah memudahkan urusan kalian. Sungguh kaum itu benar-benar menghendaki perdamaian dengan mengirim orang ini.” Bukankah Suhail artinya adalah kemudahan?
Suhail mengawali pembicaraan dengan menyampaikan proposal perdamaian untuk disepakati bersama dengan klausul-klausul sebagai berikut:
- Muhammad dan kaum muslimin tidak boleh memasuki kota Makkah tahun ini. Mereka boleh berhaji di Makkah tahun berikutnya.
- Dilakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun antara kedua belah pihak.
- Orang lain di luar Makkah dan Madinah yang mau bergabung dengan Muhammad boleh melakukannya. Pun demikian, jika ingin bergabung dengan Quraisy dia boleh melakukannya.
- Jika ada orang Quraisy yang meminta perlindungan kepada kaum muslim, maka ia harus dikembalikan kepada Quraisy. Sedangkan orang Madinah yang mendatangi Mekkah untuk meminta perlindungan (baik karena murtad atau berkhianat), maka dia tidak dikembalikan.
Rasulullah SAW tersenyum. Sepenuhnya menyetujui usulan perjanjian itu. Tapi, tidak demikian dengan para Sahabat. Mereka merasa, klausul perjanjian itu merugikan kaum muslimin dan lebih banyak menguntungkan kaum Quraisy. Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib kompak menolak isi perjanjian itu. Tapi, melihat junjungan mereka menyetujui, mereka surut langkah.
“Tulislah Ali!,” pinta Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib. Lalu beliau mendiktekan isi perjanjian.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap Rasulullah memulai dikte isi perjanjian.
“Tidak,” Suhail berteriak memotong. “Siapa itu Rahman. Kami tidak mengenal Rahman kecuali seorang pendeta dari Yamamah.”
“Kalau begitu, tulislah Bismika Allahumma.” Ujar Rasulullah SAW.
Draft perjanjian diakhiri dengan kalimat, “Inilah perjanjian yang ditulis oleh Muhammad Rasulullah.”
“Tidak,” Suhail kembali menolak.
“Mengapa?” Tanya Rasulullah SAW.
“Kalau kami tahu engkau utusan Allah, kami pastilah tidak memerangimu. Kami tidak mengakui engkau sebagai utusan Allah. Engkau adalah Muhammad bin Abdullah.”
“Hapuslah Ali!”
Ali bergeming, menolak untuk menghapus. “Demi Allah, aku tidak akan menghapus namamu setelah aku menuliskannya.”
Rasulullah SAW meminta tulisan dari tangan Ali bin Abi Thalib, lalu mengganti sendiri dengan tulisan: Muhammad bin Abdillah.
Kisah negosiasi itu diriwayatkan dengan baik oleh Al-Bukhari yang menandakan bahwa Rasulullah SAW sepenuhnya menghendaki perdamaian. Bolehlah mengalah dan mundur satu langkah demi tercapainya perdamaian. Mengalah bukan untuk mengaku kalah, tetapi demi maslahat yang lebih besar. Dan demi tercapainya sebuah kemenangan yang dijanjikan tanpa pertumpahan darah.
Maka, ketika Umar bin Khatthab melakukan protes, Rasulullah SAW menghadapinya dengan tenang. “Ya Rasulallah, bukankah kita berada dalam kebenaran dan meraka dalam kebathilan?” ujar Umar.
“Demikianlah, Umar.”
“Lalu, mengapa kita merendahkan agama kita?” Umar merangsek.
“Wahai Ibnal Khatthab, aku adalah Rasul Allah dan aku tidak akan mendurhakai-Nya. Dia adalah penolongku dan tidak akan sekali-kali Dia menelantarkanku.”
Umar masih penasaran, hingga turunlah wahyu berupa surat Al-Fath ayat pertama. Inna Fatahna laka fathan mubina. “Sungguh kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (QS. Al-Fath (48):1).
“Ya Rasulullah, apakah itu benar sebuah kemenangan?” Tanya Umar.
“Benar, wahai Umar.” Jawab Rasulullah SAW.
Jawaban tegas Rasulullah SAW meluluhkan hati Umar. Ia merasa tenang kembali. Umar menyesali sikapnya memprotes kebijakan Rasulullah SAW dan menebusnya dengan bersedekah, puasa, memperpanjang shalat, dan membebaskan budak-budaknya.
Dan benar adanya, pada tahun ke-8 hijriyah, bersama kaum muslimin Muhajirin dan Anshor, Rasulullah SAW berhasil menaklukan kota Mekkah tanpa kekerasan, tanpa darah yang tertumpah. Kemenangan yang didapatkan dengan damai dan kedamaian.
Kita bisa merefleksikan semangat perdamaian yang digelorahkan Nabi Muhammad SAW itu. Jika umat Islam menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan yang agung, uswah dan qudwah yang hasanah, sudah selayaknya semangat damai itu pula yang pedoman umat.
Karakter Sang Nabi yang penuh cinta dan damai itu lahir dari pancaran Al-Quran sebagai kitab suci. “Kana khuluquhu al-Qur’an. Karakter Nabi SAW adalah al-Qur’an,” demikian Aisyah RA. Mendeskripsikan karakter agung beliau.
Lalu, jika sebagian umat saat ini dipenuhi amarah dan kebencian, lalu menebar terror dan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, menyeruak sebuah Tanya, siapakah teladan dan panutannya?