Toleransi dalam konteks hubungan kemanusiaan, bermasyarakat, dan bernegara atau bermuamalah merupakan kunci terciptanya kehidupan damai. Toleransi mesti dilandasi saling menghormati dan menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM). Praktik menjunjung HAM mesti dilakukan proporsional dengan tidak menabrak HAM pihak lain. Semua pihak mesti saling menghargai dan bersinergi menciptakan kehidupan yang damai.
Kementerian Agama (2017) mengumumkan bahwa indeks kerukunan umat beragama (KUB) Indonesia tahun 2016 adalah 75,47 persen. Hasil survei nasional tersebut naik 0,12 poin jika dibandingkan indeks KUB tahun 2015. Artinya pula menunjukkan bahwa tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia cukup tinggi.
Tiga indikator utama digunakan guna mengukur indeks KUB, yaitu: toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Selain itu, hasil survei juga menemukan hubungan positif antara keterlibatan tokoh agama dan organisasi keagamaan dengan kerukunan umat beragama.
Islam sendiri sangat menekankan toleransi dan perdamaian. “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Q.S Al-Anbiya’:107). Demikianlah proklamasi Islam yang didengungkan kepada dunia atas ajaran universal dan globalnya. Sejak masa Rasulullah SAW, sahabat sampai generasi berikutnya membuktikan pada dunia akan pernyataan tersebut. Bersama Islam kehidupan global bahkan bagi kalangan non muslim hidup penuh kesejahteraan.
Keterbukaan Islam untuk berinteraksi dengan siapapun, tanggungjawab kemanusiaan saling menolong, meleburnya sekat geografis, etnis, ekonomi, dan strata sosial dalam ikatan iman, serta universalisme dan globalisme ajaran merupakan bukti yang harus ditunjukkan pada dunia akan kapabilitas Islam untuk memimpin peradaban menikmati globalisasi yang sejati.
Seiring perkembangan zaman yang mengarah pada dominasi teknologi dan informasi, bibit-bibit intoleransi semakin bervariasi bentuk dan sumbernya. Salah satunya melalui berita palsu atau hoax. Berita hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu (Wikipedia, 2017).
Media virtual semakin mempercepat berita hoax menjadi viral atau menyebar masif. Media tersebut antara lain portal atau website serta media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya).
Upaya menangkal intoleransi melalui berita hoax perlu dilakukan sistematis, komprehenstif, dan sinergis lintas lini. Basis virtual layak dioptimalkan mengingat produksi dan distribusinya yang masif juga melalui jalur virtual. Beberapa langkah dapat diupayak semua pihak.
Pertama, selaku pelaku atau konsumen media sosial penting melakukan prinsip “saring sebelum sharing”. Informasi penting disaring terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Penyaringan dapat mencermati sumber berita, cek dan ricek konten, dan lainnya. Penyaringan cepat dapat dilakukan misalnya dengan melalui googling, mencermati rekam jejak penyaji informasi, dan lainnya. Apabila terbukti hoax, maka perlu menginformasikan secara viral pula bahwa berita tersebut hoax. Hal ini guna memutus rantai viral suatu berita hoax yang memuat unsur intoleransi.
Kedua, pemerintah atau pemimpin mesti memberikan keteladanan. Pernyataan yang dikeluarkan mesti dipikirkan seksama agar celah dipelintir menjadi sempit. Data-data yang valid harus diperkuat agar tidak membuka ruang polemik di publik dan akhirnya banyak versi tafsir mengarah pada hoax. Upaya preventif lainnya misalnya melalui edukasi masyarakat, sosialisasi, dan kampanye bermedia secara sehat.
Pihak berwenang mesti melakukan standar pengawasan secara baik dan adil. Peringatan penting diutamakan pada tahap awal. Penegakan UU ITE diperlukan jika ada unsur pidana namun mestinya menjadi langkah terakhir.
Ketiga, pihak penyedia informasi semisal pemilik portal, blog, dan sejenisnya penting hati-hati menyampaikan informasi yang mengambil dari sumber lain. Judul yang bombastis dan kontroversial mesti dipertimbangkan agar tidak kontra produktif. Judul tersebut memang diperlukan namun mesti dengan penuh tanggung jawab. Dilema ekonomi muncul karena adanya desakan peningkatan rating demi nilai ekonomi suatu portal atau blog.
Pemerintah belakangan ini mewacanakan pendirian Badan Siber Nasional. Salah satunya guna mengatur lalu lintas dunia maya agar produktif. Polemik masih terjadi di ranah publik. Pihak pro ingin memperkuat penindakan kejahatan dunia maya. Sedangkan pihak kontra menganggap dapat membahayakan kebebasan berekspresi sekaligus memboroskan anggaran karena lembaga baru.
Apapun itu celah intoleransi melalui berita hoax mesti dipersempit dan diputus mata rantainya. Proses ini membutuhkan waktu mengingat era kini publik sedang euforia terkait perkembangan media sosial. Kuncinya semua pihak mesti tanggap dan tidak gagap dalam mengelola situasi dan tren seperti sekarang ini.