Strategi menangkal propaganda radikalisme di dunia maya sejalan dengan kemampuan kelompok teroris dalam memanfaatkan jaringan internet sebagai alat mempromosikan ajaran kekerasan. Pemanfaatan kelompok teroris di dunia maya berkisar pada kemampuannya untuk mengadaptasi pesan-pesan radikal dalam bungkus yang bisa disesuaikan dengan segmentasi usia. Mereka menyiapkan berbagai konten yang mampu menarik minat orang dewasa, remaja, bahkan anak usia dini.
Beberapa catatan misalnya kelompok radikal di Palestina menargetkan anak-anak dengan menyediakan website yang colorful, karakter kartun menyerupai Disney dan cerita anak-anak. Karakter dan cerita anak ini diarahkan untuk menyampaikan pesan kekerasan dan kebencian untuk meningkatkan militansi anak dalam apa yang mereka sebut jihad. Berbeda dengan kelompok teroris yang menargetkan anak-anak yang beranjak remaja. Kelompok ini mengembangkan aplikasi serial permainan perang yang mampu mensitmulasi anak-anak untuk siap berperang. Sementara untuk target remaja disediakan web forum, chat room dan social media yang dapat menjangkau remaja untuk berkomunikasi antar satu dengan lainnya dengan isu dan tema radikal yang sudah disiapkan.
Dalam konteks ini, kelompok radikal setidaknya telah melangkah lebih maju dari pada berbagai upaya penangkalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok moderat. Bagi kelompok radikal internet merupakan alat efektif bagi akselerasi proses radikalisasi di kalangan anak dan remaja. Munculnya istilah radikalisasi secara mandiri (self-radicalization) merupakan fenomena baru seiring berkembang proses radikalisasi secara online yang melibatkan pemuda dalam pemanfaatan jaringan internet.
Katharina Von Knop dalam “Countering Web-based Islamist Narratives: Conceptualizing an Information War and a Counter-propaganda Campaign.”menyebutkan tiga alasan mengapa pemuda berselancar dan jatuh dalam lingkaran website dan akun radikal. Pertama. Bisa jadi mereka mencari hiburan dan bertemu dengan ragam website yang menyediakan berbagai video-video kekerasan. Kedua, bisa jadi mereka penasaran dengan informasi seputar ideologi, aktifitas, dan ajaran kelompok radikal teroris. Ketiga, bisa jadi mereka memang sedang mencari komunitas yang dapat mengekspresikan kesamaan identitas.
Apabila kita catat dalam proses pemanfaatan internet oleh kelompok teroris adalah terletak pada kemampuan mereka membaca kecenderungan pengguna internet berdasarkan segmentasi usia. Berbeda usia berbeda konten dan fasilitas yang mereka berikan. Kecenderungan anak muda yang haus informasi, menggemari hiburan, bebas mengekspresikan kreatifitas dan mencari teman untuk berbagi kesamaan identitas merupakan kencenderungan yang dimanfaatkan kelompok teroris dengan penyediaan beragam website, akun dan konten yang menarik.
Karena itulah, strategi menangkal propaganda dan rekrutmen radikal terorisme di dunia maya terhadap pemuda harus juga mempertimbangkan segmentasi usia. Tentu saja kita tidak menafikan pentingnya pelibatan tokoh agama dalam memberikan penyadaran terhadap pemuda dan anak-anak. Namun, format ceramah yang membosankan dan daya interakasi tokoh agama yang tidak mampu menyelami dunia remaja menjadi persoalan tersendiri. Tidak hanya ada gap usia dan pengetahuan, tetapi juga ada kesenjangan gaya dan passion antara orang tua dan remaja yang tidak mudah dijembatani.
Di sinilah, perlu strategi yang dapat menyesuaikan kelompok usia. Di Singapura misalnya melalui Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) telah mengembangkan website untuk pemuda yang menyediakan konten-konten kontra narasi yang diperlukan oleh pemuda dengan kemasan multimedia. Strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura ini tentu saja merupakan langkah maju dalam upaya menangkal propaganda radikal terorisme di dunia maya untuk kalangan generasi muda.
Di Indonesia, keterlibatan kelompok moderat sudah sangat menjamur. Berbagai ormas keagamaan yang mempunyai sayap pemuda seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga telah melakukan hal yang sama. Mereka rajin memberikan konten-konten mencerahkan yang disesuaikan dengan segmentasi usia.
Namun, hal terpenting yang mesti kita pikirkan adalah bagaimana memberikan kenyamanan bagi pemuda untuk berkomunitas, melakukan sharing informasi antara mereka, mengembangkan jati diri dan kreatifitas, dan mengarahkannya dalam program kontra narasi dan kontra propaganda radikalisme di dunia maya. Di sinilah barangkali pentingnya membentuk duta-duta damai sebagai komunitas yang dapat mengumpulkan anak-anak muda yang gemar berkelompok, berkreatifitas, dan berekspresi untuk dilatih untuk melakukan kontra propaganda.
Memanfaatkan anak muda untuk menjaga anak muda yang lain merupakan langkah efektif daripada memaksakan orang tua untuk menyadarkan anak muda. Anak muda mempunyai habitus sendiri yang hanya dapat dipahami oleh generasi mereka. Duta-duta damai di dunia maya merupakan kumpulan anak muda penggiat dunia maya yang mempunyai visi yang sama, berbagi kesamaan identitas diri, berbagi keperihatinan bersama dan bersama-sama menangkal generasi sebayanya dari pengaruh radikal terorisme dengan menggunakan konten yang kreatif, inovatif dan produktif.