Momentum tahun baru hijriyah 1349 menjadi refleksi sangat penting bagi semua umat manusia. Ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad dipilih sebagai pemimpin pemersatu semua suku bangsa. Ia melindungi semua warga negara, hukum ditegakkan tanpa pilih kasih, bahkan anaknya Nabi sendiri (Fatimah) kalau mencuri, maka akan dihukum dengan tangannya sendiri. Pribadi Nabi yang penuh kasih sayang menjadikan kaum lemah, anak yatim piatu, dan para janda, mendapatkan perlindungan utuh. Nabi sangat dekat dengan mereka, bahkan melebihi kedekatannya dengan kaum elite di Madinah.
Etos kepemimpinan yang digerakkan Nabi Muhammad menjadikan Madinah sebagai negara modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran jaman saat itu. Ini menunjukkan Nabi mampu mengelola organisasi kenegaraan dan pemerintahan dengan baik. Para sahabatnya juga lahir menjadi pemimpin-pemimpin yang juju, teguh prinsipnya, dan sukses membangun masyarakat. Sosok seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dikenang sebagai pemimpin agung yang sukses dikader Nabi. Ini dilanjutkan dengan pemimpin selanjutnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Harun al-Rasyid, dan lainnya. Mereka menitahkan sejarah emas dalam jejak peradaban umat manusia.
Kearifan Kita
“Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….” (QS, 2: 269). Lisanuddin al-Khatib, ulama abad ke-14, dalam kitab Raudat al-Ta’rif, menegaskan bahwa hikmah itu seperti keadilan. Jika ahli hikmah memimpin negeri ini, maka keadilan sosial tak akan menunggu waktu: akan segera datang. Kepemimpinan dengan “anugerah hikmah” inilah yang diperankan Nabi Muhammad, sehingga melahirkan negara Madinah sebagai negara modern yang dicontoh negara-negara di berbagai belahan dunia.
Semangat yang sama ditunjukkan Pancasila dalam sila ke-4, yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kepemimpinan berbasis hikmat kebijaksanaan inilah yang diamanatkan dalam Pancasila, dan ini sangat sesuai dengan al-Quran. Karena kepemimpinan berbasis hikmat, maka yang hadir adalah “karunia yang banyak”, bisa berupa kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam konteks kekinian, maka kearifan itulah yang menjadi sumber hikmat kebijaksanaan. Kearifan bukan saja memahami persoalan sampai akar-akarnya, melainkan juga menyelami dan memberikan teladan kepada rakyat.
Semangat kearifan dalam bingkat hikmat kebijaksanaan ini yang mulai tergerus dalam demokrasi kita. Alam demokrasi hanya berkutat dalam term “langsung” dan “tidak langsung”. Amanat hikmat kebijaksanaan tak lagi digaungkan. Apa yang terjadi? Kaum elite hanya berebut kursi, mementingkan kelompoknya sendiri, dan mengabaikan suara rakyat. Masa silam ihwal kebulatan tekad dan semangat perjuangan menegakkan NKRI seakan menjadi romantisme sejarah, tak pernah lagi dipraktekkan hari ini.
Konteks Terorisme
Dalam konteks terorisme global, makna hijrah sangat tepat menjadi inspirasi dalam menyudahi praktek terorisme dan radikalisme. Berbagai praktek terorisme dan radikalisme seringkali gagal paham memaknai hijrah Nabi dan Negara Madinah. Ide-ide khilafah termasuk menjadi senjata utama dalam praktek terorisme dan kajian gerakan radikal. Mereka melihat Negara Madinah sebagai Negara kekhilafahan, padahal Negara Madinah merupakan Negara yang menjamin semua warga Negara menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Semua yang berada di Madinah ditanggung aman oleh Nabi, bahkan Nabi pernah mengatakan: “Siapa yang menyakiti seorang dzimmi, sungguh telah menyakitiku.”
Gerakan radikalisme yang selalu mengusung khilafah tidak mampu menjernihkan ide kenegaraan Nabi dalam konteks kekinian. Bahkan tragisnya, apa yang mereka lakukan dijustifikasi mengikuti hijrah Nabi ketika membangun kekhilafahan di alam modern saat ini. Ini sangat fatal dan telah menafsirkan sejarah hijrah Nabi secara serampangan. Sangat berbahaya, karena menggunakan dalih hijrah Nabi hanya untuk kepentingan sesaatnya.
Kemudian, terorisme yang dilakukan banyak anak muda melalui bom bunuh diri sebagai syahid, juga sangat berbahaya dalam konteks hijrah Nabi. Jihad dan syahid dalam konteks hijrah Nabi adalah kesungguhan dalam membangun masyarakat untuk menghadirkan kemaslahatan. Dimanapun berada, dan dalam konteks Negara apapun, hijrah Nabi memberikan pelajaran bahwa umat Islam harus tetap optimis dan tulus dalam ikut serta membangun masyarakat, bangsa dan Negara. Hijrah Nabi dilakukan dengan ketulusan dan kearifan, bukan arogansi atau ingin masuk surga sendiri.
Maka dari itu, kaum elite bangsa ini harus kembali kepada tonggak kepemimpinan Nabi, yakni mengasah kearifan dan ketulusan dalam berbagai persoalan. Kaum elite semestinya bisa merujuk para demokrasi Pancasila, yakni bergerak dalam cita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan. Demokrasi Pancasila ini dirumuskan para ulama, bukan orang biasa. Mereka adalah para pendiri yang tulus dan penuh kearifan dalam mendirikan NKRI tercinta ini.
Yudi Latif (2014) melihat cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan, lanjut Yudi, merefleksikan orientasi etis bahwa “kerakyatan” yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari suara terbanyak semata, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang menghadirkan sintesis terbaik.
Pancasila sejatinya adalah ruh kearifan dalam peradaban Indonesia. Saatnya hijrah Nabi Muhammad mampu dijadikan spirit dalam mempratekkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian berbangsa dan bernegara.