Jejak Islam yang Ramah Budaya Lokal

Jejak Islam yang Ramah Budaya Lokal

- in Narasi
1829
1

Islam datang ke bumi Nusantara ini bukan pada situasi ruang kosong yang hampa. Melainkan sudah ada sistem nilai yang menjadi kharakter dan jati diri bangsa. Kharakter dan jati diri bangsa tersebut berupa kebudayaan lokal yang sudah mengakar kuat. Bisa berupa ritual upacara, adat kebiasaan, seni, dan lain sebagainya. Nah kesemuanya itu terpatri dalam jiwa seluruh masyarakat Nusantara.

Apabila kita analisis lebih jauh, Islam itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal. Dalam ushul fiqh budaya lokal berupa adat istiadat disebut ‘urf. Seperti dalam diktum yang populer ialah, al-ma’ruf ‘urfan ka al masyruth syarthan, wa al tsabit bi al ‘urf ka al tsabit bi al nash (yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang benar dalam adat adalah sama nilainya dengan yang mantap dan benar dalam nash). Dengan begitu sudah jelas bahwa proses akulturasi Islam dan budaya lokal, baik berupa adat istiadat dan lainnya berjalan secara simultan, tidak saling mendikotomikan.

Ini bisa kita lihat dalam acara selamatan orang meninggal (40, 1000 hari dan lainnya). Adat istiadat ini sudah ada sejak zaman leluhur kita, nah ketika walisongo datang, ini semua tidak diberangus dimusnahkan. Karena esensi selamatan itu memohon salamah, satu akar kata dengan islam dan salam, yakni kedamaian dan kesejahteraan. Ritual ini kemudian disebut tahlilan, yakni bersama sama membaca kalimah tauhid, la ilaha illallah. Dengan begitu mereka mudah menerima kalimah tauhid dengan penuh keyakinan, sehingga perlahan menjadi Islam dengan tulus dan serius.

Contoh selanjutnya Islam ramah budaya lokal ialah, dalam jejak dakwah Sunan Kudus bisa kita jumpai masyarakat Jawa pada waktu itu masih banyak melakukan ritual sajen setiap ada acara apapun. Semisal mitoni (hamil tujuh bulan) meminta kepada Dewa dan anaknya kelak bisa seperti Arjuna. Nah, oleh Sunan Kudus itu semua tidak dirubah total, tetapi dipadukan dengan Islam. Jadilah acara mitoni tetap berjalan dengan memberi sedekah kepada tetangga dan berdoa kepada Allah.

Ini salah satu model keluwesan Islam yang ramah akan budaya lokal setempat. Sehingga dengan begitu masyarakat bisa dengan mudah menerima, tanpa merasa tersinggung. Dakwah seperti inilah yang harus kita tiru, yakni mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan.

Dalam bidang seni dan tarian Islam juga memberi warna di dalamnya. Mengingat seni dan tarian mengandung nilai estetika yang unggul dan penuh makna. Semisal seni Terbangan, Qosidah, Gambus, yang bisa kita jumpai di Jawa dan Sumatra, ini juga menunjukan jejak Islam yang dominan dalam budaya lokal bangsa ini. Yang lebih menarik lagi kesenian gabungan antara kesenian tradisional pribumi dan Islam, ini bisa kita lihat dalam seni Tembang terutama dalam jenis Laras Madya, yang meskipun menggunakan teks-teks Jawa, berisikan selawatan, atau semacam puji-pujian berdoa sholawat kepada kanjeng Nabi Muhammad saw.

Contoh selanjutnya ialah di Sumatra Utara ada upacara “tabut” untuk memperingati maulid (kelahiran) Nabi, begitu pula di Jawa dengan adanya sekaten. Dari berbagai ritual kebudayaan ini kita bisa melihat unsur Islam yang masuk dan berbaur dengan budaya lokal semisal seni tari, seni musik, kaligrafi, sastra dan lain sebagainya. Bahkan di sekitar Yogyakarta ada ratusan organisasi kesenian tradisional, antara perpaduan budaya lokal dan Islam, semisal Tari Srandul, Kuntulan, Emprak, dan Tari Badui.

Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik. Kaidah ushul fiqh ini harus terus dijadikan platform bagi kita semua untuk terus mengawinkan antara keislaman dan budaya lokal. Sehingga kita semua bisa meneladani leluhur kita yang telah sukses meramu keduanya sehingga bisa hidup sejahtera dan harmonis dalam perbedaan.

Nah, meminjam bahasa Nurcholish Madjid, modernisasi itu ialah rasionalisasi, bukan westernisasi atau bahkan hedonisme. Maksudnya ialah kita hidup di alam globalisasi ini harus selalu waspada dan berpikir mendalam, dengan begitu akan mampu menyerap nilai budaya lokal yang adiluhung, bukan malah gengsi dan mengatakan budaya itu kuno, ini yang bahaya. Banyak kita jumpai anak didik kita tidak mengerti tentang budaya lokal kita. Sehingga mereka menjadi generasi individualistik, gampang mencaci, saling menghujat, yang kesemuanya ini bukan ajaran budaya kita.

Maka tugas kita ialah menjaga wajah Islam yang ramah akan budaya lokal seperti pendahulu kita. Bukan malah mendikotomikan atau bahkan saling membenturkan. Khazanah masa lampau berupa budaya lokal mulai terkikis, kita tidak boleh tinggal diam. Rawat terus kebhinekaan kita, dengan terus mensinergiskan budaya lokal dan Islam. Wallahu a’lam

Facebook Comments