Bersikap Bijak pada Keragaman (Agama) Bangsa Kita

Bersikap Bijak pada Keragaman (Agama) Bangsa Kita

- in Narasi
2316
0

Sungguh sangat disayangkan bahwa dewasa ini masih saja ada pihak-pihak yang menggungat kebhinekaan kita (bangsa Indonesia). Dikatakan menggugat, karena pihak tersebut menghendaki agar bangsa ini beridiologikan satu ideologi (agama) pihak tersebut saja. Dengan perkataan lain, mereka ingin merubah ideologi kita (Pancasila) yang sudah disepakati bersifat final itu.

Disayangkan karena tindakan semacam in, selain tidak melihat realitas kemajemukan bangsa, juga cenderung menghabiskan biaya yang cukup mahal dan energi yang besar, tetapi sangat tidak produktif. Dikatakan tidak produktif karena, jika kita masih saja mempersoalkan atau memperdebatkan ideologi bangsa dalam artian menggantinya, maka sama saja kita diminta untuk mengulangi sejarah masa lalu para founding father bangsa kita.

Sebagaimana dipahami, dalam rekam sejarah bangsa Indonesia, mengenai ideologi bangsa kita ini sudah melahirkan perdebatan akademik yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Ialah oleh golongan Nasionalis yang dianggap diwakili oleh Soekarno dan Natsir yang dianggap mewakili golongan nasionalis Islami, sekitar tahun 1940. Persisnya perdebatan itu ialah berkaitan erat dengan relasi agama dan negara.

Dalam hal tersebut ialah apakah negara ini akan dijadikan Negara Islam, Negara Sekuler, atau Negara Pancasila. Perdebatan panjang ini bahkan berlangsung hingga pada saat dilaksanakannya sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sesaat beberapa hari menjelang hari Kemerdekaan (Rahman, 2010: 87). Guna membangkitkan semangat cinta tanah air yang menurut mereka persatuan adalah hal yang utama, serta negara tidak didasarkan pada sukuisme, agama, atau ras.

Maka,“disepakatilah” oleh kedua belah pihak bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang sah untuk negara Indonesia. Terlepas tahun-tahun berikutnya ada perdebatan lanjutan yang mengemuka. Sampai Pancasila disepakati hingga saat ini. Untuk lebih memahami konstalasinya, maka tidak ada salahnya jika kita membuka (lagi) lembar sejarah bangsa kita terkait dengan itu, yang barangkali sudah lama ditutup rapat-rapat itu.

Adalah Muspra

Oleh sebab itu, betapa muspra atau sia-sianya kita jika harus mengulangi (lagi) perdebatan tentang idelogi negara. Itu artinya kita ahistoris. Dengan perkataan lain, kita telah melupakan salah satu sejarah penting bangsa ini. Terkait dengan hal ini, tidak ada salahnya jika kita mengingat pesan Sang Proklamator kita, bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah). Sebab salah satu pepatah yang mengemuka menyatakan bahwa pada saat kita melupakan sejarah, maka kita diminta untuk mengulanginya.

Tentu saja itu tidak produktif. Karena itu jangan sampai terjadi pada generasi sekarang dan yang akan datang. Biarlah sejarah itu diperdebatkan oleh para pendahulu kita. Kita hanya cukup membaca, mengetahui, dan mengambil ibrahnya saja. Tidak lebih dari itu. Sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (2008:10) bahwa kebesaran bangsa sekarang tidak akan terwujud dengan terlalu banyak menengok ke belakang. Yang diperlukan ialah justru sikap yang lebih berani untuk menghadapi masa depan.

Bersikap Bijak

Oleh sebab itu, dalam persoalan ini setiap pihak sudah semestinya bisa lebih bijak dalam memposisikan dirinya masing-masing di Negara Pancasila ini. Menjadikan ideologi negara selain Pancasila hanya akan melahirkan kegaduhan, mengingat kemajemukan bangsa yang tak terelakkan. Betapa tidak, jika ideologi negara diambil dari salah satu golongan saja, sudah tentu dan secara tegas mengisyaratkan adanya kelompok yang pinggirkan dan yang diistimewakan.

Hal tersebut akan melahirkan persoalan yang pada gilirannya hanya akan menjadikan bangsa kita terpecah belah. Dan berbanding lurus dengan bubarnya NKRI. Bagaimanapun juga semuanya berhak menikmati NKRI, tanpa ditindas atau menindas serta yang lainnya. Semua memiliki andil dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Maka, tak sepatutnya kita membeda-bedakan satu sama lain. Tak layak menyebut minoritas atau mayoritas dan sejenisnya. Kita adalah satu. Bangsa kita adalah Indonesia. Negara kita adalah NKRI yang beridiologikan Pancasila.

Sikap bijak itu di antaranya adalah memiliki semangat persaudaraan universal (universal brothershood). Atau pada saat ini lazim disebut pluralisme. Dalam konteks negara kita ini, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mahfud MD yang meminjam pendapat Gus Dur, bahwa pluralisme ibarat satu rumah besar yang di dalamnya terdapat banyak kamar dengan ruang keluarga dan ruang tamu yang juga besar. Pada saat setiap orang menempati kamarnya masing-masing, ia boleh melakukan apa saja tanpa perlu mengganggu kamar lain. Sebaliknya saat setiap penghuni kamar berada di ruang tamu, ia harus tunduk dan patuh dengan segala aturan yang telah disepakati bersama, tanpa terkecuali. Hal itu pun berlaku saat di luar rumah. Setiap individu wajib memastikan rumah tersebut nyaman dan aman. Begitu kiranyalah yang harus kita pahami dari Pancasila dalam sebagai falsafah negara ini (Sindo, 01/04/2017).

Agaknya semangat inilah yang perlu ditekankan bersama dalam rangka menyikapi keberagaman (agama) bangsa kita. Tanpa itu, niscaya segenap elemen bangsa kita yang plural itu sebentar lagi akan saling menumpahkan darah. NKRI pecah. Percayalah, hanya Pancasila yang mampu menjadi tali pengikat kemajemukan bangsa kita ini. Sebab selain dapat diterima semua golongan, tak terkecuali selaras dengan paham keagamaan, yang melekat persama Pancasila juga nilai-nilai khas Indonesia. Wallahu’alam

Facebook Comments