Dewasa ini, relasi antara (agama) Islam dan Pancasila, mau tidak mau, suka atau tidak harus kita kaji lagi secara lebih obyektif. Sebab ada pihak-pihak golongan (Islam) tertentu yang berusaha melakukan propaganda dengan menggugat dan bahkan membenturkan antara keduanya. Mereka membangun narasi bahwa seolah-olah antara Islam dan Pancasila ada pertentangan yang tidak patut disepelekan dan diabaikan.
Tidak sampai di situ, dan sebagai konsekuensinya, mereka juga berusaha keras untuk mengganti ideologi negara yang telah kita sepakati bersifat final itu. Sudah banyak usaha-usaha yang mereka lakukan untuk melancarkan agenda yang menjurus ke sana, baik yang sifatnya formal seperti seminar-seminar umum atau yang sifatnya informal seperti diskusi biasa dan sejenisnya.
Karena itu, dewasa ini mudah sekali kita jumpai khutbah Jum’at, buletin dan sejenisnya yang sarat provokasi dan tidak terlepas dari usaha membenturkan Islam dan Pancasila. Juga acapkali disertai dengan pentakfiran kepada orang-orang yang pro Pancasila bersama segala turunannya, karena ideologi ini dianggap ideologi sekuler. Sementara itu, pada saat yang bersamaan mereka juga senantiasa menyebarkan ideologinya, melakukan rekrutmen anggota, dan masih banyak yang lainnya.
Mengklaim Paling Berjasa?
Selain umat Islam sebagai kelompok mayoritas, di negara ini, kelompok tersebut juga mengklaim diri bahwa, misalnya, umat Islam lah yang paling berjasa akan kemerdekaan dan eksistensi NKRI selama ini. Karenanya, maka sangat wajar jika negara ini didasarkan atas kepentingan Islam. Termasuk di antaranya mendirikan negara Islam.
Kita tentu memahami bahwa sejak zaman penjajahan, umat Islam memiliki peran yang besar dalam rangka eksistensi negara ini. Tapi kita juga tidak bisa menafikan perjuangan umat-umat yang lain. Meskipun, katakanlah misalnya itu sedikit sekali. Namun perlu disadari dan diakui bahwa kita berjuang secara bersama-sama. Tujuannya satu, yakni mendapatkan kemerdekaan. Bukan untuk disebut mayoritas-minoritas. Juga bukan disebut lebih unggul atau baik, yang satu mengalahkan atas yang lain. Sekali lagi tidak.
Perlu disadari dan diakui pula bahwa Indonesia adalah negara majemuk, bukan monolitik. Sehingga memberlakukan ideologi atas suatu agama tertentu, sama halnya dengan menganggap agama itu lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Besar kemungkinan itu tidak bisa diterima oleh kelompok lain. Dan jika ini terjadi pada negara kita, maka kesatuan republik ini hanya akan tinggal nama.
Oleh sebab itu, dalam kemajemukan kita, sudah sejatinya kita menggunakan ideologi yang dapat diterima oleh siapa saja. Ideologi itu tidak diskriminatif. Tidak mengunggulkan suatu kelompok, di saat yang bersamaan juga tidak merendahkan yang lain. Sehingga sesama kelompok tadi dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rata. Hidup berkemajemukan termasuk dalam hal agama sebetulnya sudah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.
Persisnya saat memimpin negara Madinah, yang penduduknya tidak saja dari umat Islam, tetapi juga umat Yahudi dan yang lainnya. Dan saat memimpin, konstitusi yang digunakan bukanlah Islam/syariah. Melainkan ialah konstitusi Madinah, suatu konstitusi yang isinya dapat diterima oleh semua kalangan. Padahal pada saat itu kedudukan umat Islam sudah sangat kuat. Kendati demikian, Nabi tidak melakukan tindakan semena-mena dengan menjadikan syariah sebagai konstitusi negara.
Melihat Secara Objektif
Oleh sebab itu, sudah sejatinya kita sesegera mungkin sadar dan berintropeksi diri. Sudah saatnya berfikir lebih realistis dan juga melihat persoalan lebih obyektif. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Maka, hendak mendirikan negara Islam juga merupakan suatu hal yang tidak masuk akal (absurd). Bahkan terkesan politis. Yang nampak hanyalah menginginkan kekuasan dengan dalih agama, untuk tidak mengatakan menjualnya.
Karena itu, sudah seyogyanya agar ‘madzhab’ Madinah sebagaimana yang dicontohkan Nabi itu juga menjadi spirit kita dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita sudah memiliki ideologi yang bisa dijadikan pijakan bersama, yakni Pancasila. Percayalah, ideologi kita bukanlah ideologi sekuler yang selama ini disalahpahami. Pancasila (dalam Wahyuni, 2017: 59) merupakan kesepakatan yang berbentuk filosofi dasar (philosopische grundslag) untuk membentuk negara bangsa, yang menjadi jalan tengah sebagai sebuah negara yang tidak sekuler sekaligus tidak didasarkan pada agama tertentu. Relasi ini lazimnya disebut dengan integralistik.
Tidak sebatas itu, bahkan Pancasila juga memiliki hubungan yang sangat organik dengan Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh Pemikir Muslim sekaligus mantan Guru Besar Universitas Gajah Mada yanki Almarhum Kuntowijoyo (dalam Rahman, 2010: 90) bahwa Pancasila merupakan objektivikasi dari agama-agama. Ia adalah objektivikasi dari Islam, sehingga Pancasila memperoleh dukungan ganda: yaitu ideologi yang mempunyai hati nurani atau “categorical imperative” dan melalui proses internalisasi ia bisa masuk dalam wilayah agama, apa pun agama itu.
Terkait hal ini, Van Anwar (2007: 167) mengungkapkan bahwa objektivitas merupakan penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Karenanya, suatu perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan tersebut dapat dilakukan dan dirasakan semua orang secara obyektif pula. Dan, secara bersama perilaku objektif ini dapat dapat pula menjadi perilaku agama. Paradigma ini penting untuk diketengahkan dalam masyarakat plural, guna membuktikan secara objektif bahwa Islam memang pembawa rahmat bagi semua orang.
Dan saat itu pulalah (umat) Islam juga mengalami kemenangan. Sebagaimana pernah diungkapkan Cak Nur (dalam Rahman: 2011), bahwa kemenangan Islam adalah kemenangan semua orang, termasuk orang non-Islam. Sebab Islam memang agama kemanusiaan. Wallahu’alam