Manusia pada dasarnya beragam dari semua sisi kehidupan. Perbedaan fisik maupun non fisik membuktikan bahwa keanekaragaman tersebut sejatinya adalah keniscayaan. Sunnatullah yang sengaja dihadirkan sebagai bentuk anugerah dan beberapa menjadi ujian bagi sebagian manusia lainnya. Kemajemukan menjadi anugerah takkala dengan perbedaan itu manusia mampu bersatu dan menyelesaikan banyak hal bersama. Karena dengan banyaknya tingkat kemampuan dan pemikiran, penyelesaian suatu perkara dapat lekas dilakukan atau sebaliknya menjadi pemicu permusuhan (ujian).
Manusia sejatinya paham dan sadar akan hal tersebut. Sadar bahwa keragaman warna dan corak itulah yang membuat manusia istimewa, tidak sekedar heterogen dari segi daya akal dan pikir semata. Namun, sayangnya, kita sering khilaf dalam prakteknya. Sering termakan bujuk rayu syaitan untuk mudah membenci, merasa lebih unggul dan paling benar. Padahal perasaan tersebut akan menghadirkan kesombongan dan keangkuhan yang dibenci Allah (Q.S. Luqman: 18). Karena perasaan sombong dapat menjadi penyebab kekafiran sebagaimana kisah iblis yang menolak keunggulan Adam yang diciptakan dari tanah. Bagi pandangan iblis, tanah lebih rendah derajatnya dari api asal mereka diciptakan (Q.S. Al Baqarah: 34).
Riya’ kecil yang terus ditumpuk tanpa sadar menjelma menjadi keangkuhan. Menjadi kepongahan dan keengganan untuk memahami orang lain diluar diri dan kelompoknya. Sehingga sedikit saya percik api datang kesombongan membakar diri kita dan kita yakin sebagai pihak yang benar. Padahal Allah dengan gamblang menegaskan bahwa haram hukumnya tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (Q.S. Al Maidah: 2; Q.S. An Nahl: 90). Bahkan pembicaraan yang dilakukan secara rahasia terkait perkara dosa, permusuhan, dan durhaka juga dilarangan (Q.S. Al Mujadilah: 9).
Pertanyaannya, bagaimana bisa kita membenarkan tindakan semena-mena hanya karena terpancing kabar burung (hoaks), hanya karena berbeda pandangan, keyakinan dan agama?. Bagaimana bisa kita mengatakan jihad fi sabbilillah sementara jihad yang sering digaungkan justru merusak perdamaian yang ada?. Semestinya perjuangan yang dilakukan dengan niatan murni karena Allah akan selalu berimbas positif. Seperti sholat jumat, haji, dan umroh meskipun dilakukan berjamaah, oleh banyak orang tidak pernah membawa kerugian dan menimbulkan kericuhan karena semua yang melaksanakannya benar-benar memurnikan niat hanya karena Allah.
Anehnya dewasa ini kita sebagai bangsa yang di anugerahi kemajemukan dari banyak sisi justru mulai terjangkit alergi perbedaan. Kita tidak suka berseberangan pendapat dan ide bahkan hal yang sifatnya lahiriah pun kita cenderung sibuk membangun tirai. Kita baru meradang dan marah ketika Indonesia dihina negara lain, ketika kita dicitrakan tidak demokrasi, tidak menghargai HAM dan sebagainya. Namun kita luput bahkan turut menyeru keseragaman tak kala diri kita atau kelompok kita terusik. Kita lupa bahwa sebangsa setanah air adalah saudara.
Al Quran dan Solusi Perdamaian
Al Quran dan Nabi Muhammad selalu menyeru dan meneladankan perdamaian. Bahkan memerintahkan untuk mengadakan perdamaian (Q.S. An Nisa: 114 ). Terhadap orang musyrik sekalipun kita dilarang berlaku semena-mena, kita wajib memberi perlindungan tak kala mereka memohon suaka dan Kita wajib berbuat yang baik ketika mereka juga berbuat baik (Q.S. At Taubah: 6-7) apalagi terhadap sesama muslim. Kita juga diajarkan untuk berbesar hati memaafkan dan membalas keburukan dengan kebaikan agar orang yang tidak menyukai kita jadi berbalik menyukai dan menganggap kita teman (Q.S. Fussilat: 34) meskipun Allah juga mengizinkan hukum qisas dilakukan. Solusi bijak yang dapat kita lakukan sebagai umat islam untuk perdamaian Indonesia dan dunia melalui tiga hal yaitu:
Pertama, sudah saatnya kita sebagai umat islam kembali pada Al Qur’an dan Hadis sebagai sumber kebenaran. Kita telaah dan pelajari kembali dua dalil sahih yang kemudian kita komparasikan dengan ke Indonesiaan, dengan ideologi pancasila. Kita wujudkan cita-cita para pejuang dulu untuk menciptakan Indonesia yang damai dengan keragamannya bukan keseragamannya. Niscaya kebenaran itu tidak akan mengingkari nilai kemanusiaan dan hati nurani. Sebagaimana Al Quran menerangkannya dalam beberapa ayat yang tidak sedikit jumlahnya. Hubungan habbuminallah harus seimbang dengan hubungan habbuminannas. Artinya jika seseorang beriman dan menyakini keberadaan Allah dengan selalu menjaga kehadiran Allah dalam dirinya, otomatis hubungan horisontal sesama manusia juga dijaga sebaik mungkin.
Kedua, kita luruskan, murnikan lagi niat kita. Niat benar-benar untuk menjadi umat beragama yang baik, taat dan berwawasan luas. Niat untuk menjaga Indonesia, suku, bahasa dan keragamannya dengan sikap tenggang rasa dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Niat untuk mampu menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.
Ketiga, kita evaluasi dan renungi kembali kesalahan masing-masing. Kita sibukkan diri sendiri untuk memperbaiki kesalah pribadi. Bukan saling tunjuk dan mengkambing hitamkan orang lain. Tidak perlu saling menghujat dan menuding. Jika kita mampu dan merasa memiliki kapasitas maka kita wajib maju sebagai orang yang bijaksana bukan malah sibuk menyalahkan.
Harapannya Indonesia mampu berjaya sebagai contoh negara demokratis yang toleran dan memegang teguh ukuwah kebangsaan. Negara yang dihuni orang-orang pintar nan bijaksana dan berketuhanan seperti amanat pancasila pertama. Bangsa yang dikendalikan oleh orang-orang yang berbesar hati untuk memaafkan dan memaklumi keadaan, semoga.