Kata perbedaan memiliki dua fungsi yang saling berlawanan, yaitu sebagai pemicu konflik dan sebagai perekat keragaman. Ketika kita memakai kerangka berpikir “Konflik”, maka kita akan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus dihabisi. Perbedaan selalu menyuguhkan bab-bab yang bersebarangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, misalkan perbedaan ideologi, penafsiran, dan kebudayaan. Perbedaan ideologi sudah menjadi kewajaran dalam setiap kelompok, sehingga sebagian bangsa Indonesia tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan tersebut selama tidak mengusik. Namun perbedaan ideologi akan menjadi sumber konflik ketika ada satu kelompok yang ingin mengganti ideologi kelompok lainnya. Kelompok yang ingin didominasi juga tidak akan terima, sehingga tidak heran jika feedback-nya sama dengan yang dilakukan kelompok lain.
Namun berbeda ketika kita memandang bahwa perbedaan itu justru dapat mempererat keragaman dan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Kerangka berpikir ini, memandang bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang perlu dirawat bersama. Perbedaan merupakan wujud dari kekayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam di dunia, yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk bisa dikembangkan menjadi entitas yang dahsyat.
Dari dua kerangka berpikir tersebut, seringkali kerangka berpikir konflik mendominasi kehidupan umat manusia di Indonesia. Konflik-konflik yang tidak diinginkan muncul, misalkan konflik antar agama, konflik internal agama, dan konflik antara kelompok beragama dengan pemerintah. Konflik-konflik ini memicu berbagai sektor untuk ikut andil di dalamnya, misalkan pendidikan, perkonomian, kebudayaan, dan lain sebagainya. Jadi kehidupan orang-orang di dunia bisa dikatakan sudah over dalam menggunakan kerangka berpikir konflik, sehinga hampir setiap saat ada saja konflik yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan nenanggulangi adanya konflik dalam perbedaan, maka perlu ada konsep dan langkah-langkahnya untuk menguatkan kerangka berpikir kedua, yaitu perbedaan sebagai perekat keragaman. Dalam hal ini, tatkala Alamsyah Ratu Perwiranegara (1925-1998) masih menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1978-1983, ia menerapkan konsep kerukunan antar umat beragama. Konsep kerukunan antar umat beragama ini terdiri dari tiga hal atau bisa dikatakan trilogi kerukunan, yaitu 1) kerukunan intern umat beragama; 2) kerukunan antar umat beragama; 3) kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Konsep tersebut masih sangat relevan dengan keadaan Indonesia saat ini, yang masih memandang perbedan sebagai sumber konflik. Konsekuensi logisnya, konsep tersebut perlu untuk dikembangkan dan diterapkan sebagai alternatif menyikapi perbedaan yang ada.
Kerukunan intern umat beragama bertujuan untuk memperkukuh hubungan antara individu dengan individu lain atau kelompok-kelompoknya yang masih satu agama. Sedangkan kerukunan antar umat beragama bertujuan untuk memperkukuh persaudaraan antara penganut agama satu dengan agama lainnya. Kemudian kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antar umat beragama dan pemerintah dalam bingkai Pancasila.
Tugas kita hari ini ialah mengoptimalkan implementasi dari konsep trilogi kerukunan tersebut. Optimalisasi konsep kerukunan bisa dilakukan dengan mengembangkannya dan disesuaikan dengan keadaan sekarang. Optimalisasi trilogi kerukunan ini bisa dimulai dari diri sendiri untuk membangun sebuah kerukunan diri sendiri dengan individu lainnya, baru kemudian meningkat di kelompok-kelompok yang satu agama maupun yang berbeda agama. Kata kunci dari optimlalisasi ini ialah harus memahami dan mengerti orang lain, agama lain, maupun pemerintah. Harapan dari optimalisasi konsep trilogi kerukunan antar umat beragama ini ialah dapat memayungi semua aktivitas intern dan ekstern umat beragama, sehingga kerukukunan tetap terjaga dalam berbagai macam perbedaan.