Berdinamika di dunia maya di zaman now adalah niscaya sekaligus dilema. Niscaya karena menjadi kebutuhan dan sulit lari darinya. Sedangkan dilema karena selain dampak positif, dunia maya juga berpotensi memberikan implikasi negatif.
Dunia maya bagai pisau bermata dua. Kuncinya ada pada pengguna. Apakah akan memanfaatkan untuk positif atau negatif. Sebagaimana kehidupan komunal nyata, berdinamika dalam dunia maya juga membutuhkan ikatan dan partisipasi bersama.
Ekspresi dalam dunia maya memiliki kebebasan yang sama dengan dunia nyata. Kebebasannya diijamin konstitusi dan regulasi. Kebebasan juga diatur agar tidak justru membuat kerukunan kendur. Untuk itu kebebasan penting diimbangi dengan kesantunan dan keadaban secara proporsional. Pendekatan ronda online sebagai wujud penggalangan partisipasi warganet cukup positif guna mengelola kebebasan sekaligus menjaga keadaban.
Iklim Kebebasan
Prestasi terbaik era reformasi adalah kesuksesannya membuka kran kekebebasan berpendapat dan berekspresi. Indonesia telah mengalami perkembangan yang progresif dalam mengatur kebebasan berekspresi. Konstitusi khususnya Pasal 28E menjamin hak setiap orang dalam berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi juga dijamin oleh UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Media.
Kebebasan merupakan bagian konsep filosofi politik yang menggambarkan kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Kekebasan berpendapat dan berekspresi cukup positif bagi upaya check and balance serta penegakan keadilan di semua sektor. Salah satu bentuk berpendapat adalah kritik. Kritik bagi pemimpin adalah keniscayaan. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas segala kebijakannya maupun perangai pribadi dan keluarganya.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah prinsip universal atau hak asasi di dalam negera demokratis. Prinsip ini antara lain diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sipil Politik. Bauhofer (1975) menyatakan bahwa hak-hak asasi tidak diberikan dan tidak hilang. Negara hanya merupakan organisasi yang menjamin hak-hak asasi manusia bersangkutan. Pemikiran demikian sesuai dengan filosofi demokrasi, yang menetapkan batas-batas atas kebebasan. Batas kebebasan antara lain sensor, kebenaran, dan peraturan perundangan.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam pelaksanaannya juga kerap dibatasi oleh tuntutan etika. Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Martin (1993) mendefinisikan etika sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Etika menjadi refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”.
dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan negara kota (polis). Jika melihat tujuan pengkritik untuk perbaikan kondisi ke depan, maka semua yang dilakukan dibenarkan secara etika.
Pengelolaan dan Penjagaan
Jalur hukum bisa saja dilakukan pemimpin ketika sebuah tindakan sudah serius mengancam kehidupan diri dan keluarga. Langkah itu tetap mesti dilakukan hati-hati dan diletakkan sebagai senjata pamungkas. Jika sedikit-sedikit somasi, justru akan kontra produktif bagi kewibawaan dirinya.
Pempimpin, baik itu presiden, ketua atau anggota lembaga negara, kepala daerah, hingga level terkecil semestinya dapat menerima kritik dalam bentuk apapun karena hal itu sebagai bentuk konsekuensi dari jabatannya. Jika merasa pernyataan sejumlah pihak tidak benar, maka cukup melakukan klarifikasi dan tidak perlu menggunakan mekanisme hukum.
Kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq dan Umar ibn al-Khattab RA layak diteladani. Abu Bakar ketika dilantik menjadi khalifah berpidato politik “… jika aku melakukan kebaikan, maka bantulah aku, jika aku berbuat salah, maka ingatkanlah aku…”. Umar sebagai penerus khalifah selanjutnya juga mencontohkan sikap pemimpin yang bijak. Suatu ketika beliau berpidato “Siapa saja yang mendapati hal bengkok padaku, maka luruskanlah”. Seorang warga berdiri, lalu berkata “Apabila kami mendapati hal bengkok padamu, maka kami akan meluruskannya dengan pedang-pedang kami”. Umar pun langsung menyambutnya “Syukurlah, ternyata masih ada rakyat Umar yang meluruskan kebengkokan Umar dengan pedang”.
Rakyat Indonesia merindukan sosok pemimpin yang bijak dan negarawan. Langkah somasi dalam menghadapi kritikan dapat dimaknai publik sebagai bukti egoisme pemimpin. Presiden akan lebih disibukkan menggunakan hak pribadinya dibanding melaksanakan kewajiban kepemimpinannya. Somasi secara tidak langsung juga menakut-nakuti rakyat dalam menyampaikan pendapat dan kritik. Hasilnya adalah kamuflase tanggapan publik dan menjangkitnya lagi mental “Asal Bapak Senang”. Inilah ganjalan yang menyelakakan dalam perjalanan memajukan bangsa.
Sebaliknya kesantunan dan keadaban juga mesti ditunjukkan oleh warga, salah satunya melalui dunia maya. Kritik yang terpaksa ditujukan mesti tetap konstruktif dan tidak justru memancing perpecahan. Sesama warganet dapat saling mengingatkan ketika menjumpai sesama warganet yang jauh dari etika dalam berpendapat. Pengingatan inipun juga mesti dilakukan secara baik-baik, tidak justru memancing masalah baru. Pembelaan dan penghakiman virtual secara bersama-sama tentu akan menjadi efek jera. Tentu kuncinya tidak terjebak pada polarisasi politik dan SARA. Ronda onlie dapat menjadi salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan.