Rekonsiliasi Kembalikan Harmonisasi Kehidupan Berbangsa

Rekonsiliasi Kembalikan Harmonisasi Kehidupan Berbangsa

- in Narasi
1307
0

Acara bertajuk Silaturahmi Kebangsaan NKRI itu sukses dihelat, akhir Februari 2018. Diadakan BNPT, gelaran ini menghadirkan komitmen rekonsiliasi antara para korban dan mantan pelaku aksi teror. Ada permaafan dan kerelaan hati mengubur masa lalu yang kelam. Menyingsingkan dendam, meredam amarah yang terpendam. Kita bisa menyebut para korban oleh serangkaian aksi teror di Indonesia tersebut sebagai pahlawan kemanusiaan dan pelopor perdamaian. Tidak mudah mengambil sikap sedemikian mulia itu.

Betapa pedih penderitaan yang diakibatkan aksi terorisme. Di antara mereka, kehilangan tulang punggung keluarga. Pada poin ini, tentu berimbas terhadap sektor penghidupan lainnya: pendidikan anak kacau, ekonomi keluarga ambruk. Tidak sedikit para terdampak langsung terorisme mengalami cacat fisik. Dan, dampak terbesar dan sulit diobati adalah trauma psikologis dan luka hati. Berangkat dari sini, berkemungkinan besar mereka memendam dendam berkepanjangan.

Sementara para mantan pelaku teror juga tergerak rasa penyesalan mendalam. Mereka tersadarkan oleh naluri kemanusiaan. Melihat akibat ulah tangannya berupa meledakkan bom, banyak anak mendadak yatim. Banyak pula yang cacat fisik sehingga tidak dapat lagi maksimal bekerja. Penyasalan selalu datang belakangan. Kenyataan pilu seperti itu ternyata merupakan jalan ampuh menyadarkan para mantan pelaku bahwa terorisme yang telah mereka perbuat tidak secuilpun meninggalkan kebaikan.

Kita meyakini para mantan pelaku itu telah menyadari kesalahkaprahannya dalam menggunakan term jihad. Rekonsiliasi membuka peluang bagi mereka berkontemplasi dan menyadari kembali fungsi agama adalah murni merawat suasana kedamaian. Bukan menebar ancaman dan permusuhan. Mereka pada akhirnya berhasil menempatkan jihad sesuai pemaknaan yang tepat. Sembari mereka berlakon meminimalisasi/melakukan counter terhadap tumbuh-kembang pemikiran radikalisme yang masih beredar di ruang publik hingga hari ini.

Harapan besar arti penting rekonsialiasi selain ajang permaafan, juga berkait agar mantan pelaku tidak kembali terjerumus radikalisme dan terorisme. Maklum, sebuah pemikiran/ideologi yang kadung menancap, terkira sulit dihilangkan begitu saja. Kita pun berharap besar, para mantan pelaku lewat gelaran rekonsiliasi –baik formal maupun informal—tidak menjadi residivis alias penjahat/teroris kambuhan. Komitmen bersedia berekonsiliasi menyiratkan pengakuan kesalahan.

Dialog menjadi tahap awal rekonsiliasi. Dari dialog, baik korban maupun mantan pelaku, akan saling bertatap muka, bersalaman, dan memungkinkan untuk berbicara dari hati ke hati. Dari kegiatan temu wajah itu, para mantan pelaku bakal terpapar langsung cerita-cerita pilu dari para korban. Pun, akan melihat langsung kondisi pihak korban yang mengalami cacat fisik. Interaksi langsung sedemikian itu seyogianya mengguratkan tujuan agar para mantan pelaku luluh hati untuk kemudian secara sepenuh hati menghasratkan permintaan maaf.

Tujuan dialog mengarah pada rekonsiliasi merupakan upaya saling memahami di antara kedua belah pihak. Satu sisi, para korban memang menjadi pihak paling terpukul telak lantaran mengalami kerugian besar, materiil maupun immateriil. Namun, di sisi lain, para mantan pelaku hakikatnya juga merupakan “korban”. Korban dari pemahaman keliru. Karena itu, pendampingan kepada “korban” dirasa sangat penting. Dengan demikian, rekonsiliasi mengandaikan proses keberterimaan para mantan pelaku untuk menapaki kehidupan normal di masyarakat kian terbuka lebar.

Bila sebaliknya, para mantan pelaku –meski telah menjalani hukuman penjara sekian tahun—tidak diterima masyarakat bahkan dikucilkan, boleh jadi mereka akan berbalik kembali berbuat serupa: menebar teror dan menarget masyarakat luas. Di sinilah arti penting posisi masyarakat luas –meski bukan sebagai terdampak langsung (korban), perlu kiranya merangkul mereka dalam melakukan pelbagai aktivitas keseharian. Dukungan masyarakat tentunya efektif dalam menghadirkan gambaran ideal kehidupan harmonis dan bagaimana tata cara menjalankan praktik keberagamaan.

Karena itu, pendampingan sangat diperlukan. Baik pendampingan dalam konteks teologis; bertujuan agar para mantan pelaku dapat tercounter dari paham radikalisme. Pun, tak kalah penting penguatan dari sisi sosial-kemasyarakatan, termasuk pemerolehan kebutuhan sehari-hari, ekonomi. Model pembauran kembali ke tengah masyarakat seperti itu pada banyak contoh kasus, terbilang berhasil. Ketika para mantan pelaku berikhtiar menunjukkan komitmen untuk berubah, masyarakat kiranya dapat dengan cepat pula kembali menerima mereka.

Di sisi lain, perhatian dan pemberdayaan bagi para korban tak kalah esensial. Mereka yang kehilangan pekerjaan tersebab cacat fisik, diutamakan untuk difasilitasi; tidak hanya pengobatan tapi kesempatan kembali bekerja. Mereka yang kehilangan tulang punggung keluarga, kiranya perlu mendapat jaminan keberlangsungan sekolah bagi anak-anaknya hingga perguruan tinggi, misalnya. Penguatan dan pendampingan, terutama di ranah perekonomian, merupakan bagian cara menghilangkan luka hati.

Mewujudkan rekonsiliasi tentu tidaklah mudah dan tidaklah sekonyong-konyong. Ada tahapan dan proses yang mesti dilalui. Memang semua bersumber dari kesadaran dan itikad pribadi. Tidaklah mudah menghilangkan paham radikalisme, kesadaran bersalah, dan melepas ego untuk kemudian mengulurkan tangan memohon permaafan. Pun, sama halnya para korban, tidaklah gampang untuk berbesar hati hingga sampai sudi menyambut jabatan tangan dan menerima permaafan. Dari mereka semua, masing-masing terdiri 51 korban dan 124 mantan pelaku teror dalam helatan Silaturahmi Kebangsaan NKRI itu, kita lantas beroleh tamsil inspiratif berkait bagaimana merajut kembali harmonisasi kehidupan sebagai sesama anak bangsa; agar tidak ada dendam yang beranak-pinak demi terciptanya kedamaian dan kerukunan sebagai etik dasar berbangsa-bernegara.

Facebook Comments