Ekstremitas dalam berpikir dan berperilaku adalah hal yang perlu dihindari. Sebab berpotensi menciptakan dua kutub yang saling bertolak belakang. Mereka yang berada di kubu kanan, akan sulit menerima kubu kiri. Begitu pun sebaliknya. Masing-masing mempertahankan egonya dan berpandangan pihak lain berbeda dengan dirinya. Ekstremitas pun menciptakan kekakuan sehingga sulit untuk menciptakan sistesis. Layaknya air yang selalu memisahkan diri dari minyak. Solusi agar tidak terjadi ekstremitas adalah sikap moderat. Ada kemauan untuk menerima pendapat yang berbeda sekaligus memposisikan diri di tengah. Dengan begitu, semua pihak dirangkul dan dihargai secara proporsional.
Menariknya, sikap moderat ternyata telah lama dipraktekkan oleh bangsa Indonesia. Bahkan jati diri bangsa ini digerakkan oleh sikap moderat yang mewujud dalam Pancasila. Lima silanya menggambarkan sikap inklusif yang menjadi karakter bangsa ini. Ada keterbukaan menerima perbedaan. Pancasila mampu menaungi beragam pandangan terkait konsep kebangsaan. Kaum agamawan merasa nyaman dengan Pancasila. Sebab spirit agama melekat erat dalam nilai-nilai Pancasila. Begitu pun kaum nasionalis, merasakan keteduhan sebab agama tidak dipraktekkan secara kaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada dikotomi dalam Pancasila. Maka Pancasila benar-benar menjadi jalan tengah sekaligus jalan ketiga yang memberi alternatif pengelolaan negara yang ideal.
Menurut Kaelan (2011: 59-60), ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara merupakan philosophical concensus (konsesus filsafat) karena membahas dasar filsafat negara dan political concensus (konsesus politik). Maka nilai-nilai Pancasila hakekatnya adalah realitas objektif yang ada pada bangsa Indonesia sebagai suatu aksidensia. Maksudnya suatu sifat, nilai-nilai, ciri khas yang secara objektif dimiliki bangsa ini. Tidak heran Soekarno menegaskan Pancasila merupakan weltanchauung bangsa Indonesia. Pancasila menjadi dasar filsafat dalam kehidupan negara dan bukan sekedar preferensi. Konstelasi bangsa dan negara Indonesia -yang secara geopolitik terdiri dari ribuan pulau, beragam suku, ras, budaya, dan agama, -mewajibkan bangsa kita hidup bersama dalam suatu negara dengan segala perbedaan dan keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika). Selain itu, Pancasila memiliki dasar legitimasi yuridis, filosofis, politis, historis, dan kultural.
Pancasila, yang dalam perumusannya didiskusikan secara intensif dan ilmiah oleh pendahulu kita, merupakan warisan berharga yang harus dilestarikan. Jangan sampai Pancasila diobrak-abrik oleh mereka yang abai sejarah. Apalagi Pancasila dilecehkan demi untuk kepentingan sesaat. Rumusan Pancasila merupakan capaian terbesar bangsa ini. Tidak semua bangsa di dunia bisa membuat dasar negara seperti yang kita miliki. Jika perlu, bangsa-bangsa di dunia meniru Indonesia dengan Pancasilanya. Menurut Karen Amstrong (2003: 191-192), fakta bahwa umat Islam belum menemukan bentuk pemerintahan yang ideal selama abad ke-20 tidak menunjukkan Islam tidak fleksibel dengan modernitas.
Perjuangan memasukkan cita-cita Islam dalam struktur negara dan menemukan pemimpin yang benar telah membuat sibuk umat Islam. Saenan gagasam temtamg megara Islam yang sejati bersifat transenden. Gagasan tersebut tidak dapat diungkapkan secara sempurna dalam bahasa manusia dan tidak dapat terhindar dari kelemahan dan kekurangan manusia. Seluruh masyarakat religius harus membuat tradisi mereka menghadapi tantangan modernitas. Dan pencarian bentuk pemerintahan Muslim yang ideal tidak boleh dianggap menyimpang melainkan sebagai perbuatan religius yang penting dan khas. Pancasila pun amat selaras dengan spirit agama manapun (termasuk juga dengan Islam). Dua ormas keagamaan mainstream di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, bahkan terus-menerus menekankan urgensi Pancasila dalam kehidupan negara ini. Sikap seperti ini harus tertanam dalam lubuk semua manusia Indonesia.
Jika saat ini bangsa ini telah memiliki Pancasila, maka sangat naif melihat suara-suara yang mengkritik Pancasila secara serampangan. Seperti Pancasila yang dianggap thagut, syirik, berhala, sesembahan, dan ungkapan tidak relevan lainnya. Mereka yang melabeli Pancasila dengan sebutan-sebutan tersebut sejatinya tidak memahami hakekat dari Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila memang tidak untuk disembah. Pancasila sekedar memberikan pedoman agar cita-cita kemakmuran bangsa ini tercapai. Nah, apakah hal tersebut bertentangan dengan agama? Apakah Tuhan melarang agar meng-ESA-kan diri-Nya (Sila Pertama)? Apakah Tuhan melarang berbuat adil dan beradab untuk manusia (Sila Kedua)? Apakah Tuhan melarang persatuan (Sila Ketiga)? Apakah Tuhan melarang umatnya bermusyawarah (Sila Keempat)? Dan apakah Tuhan melarang bersikap adil demi kemaslahatan bangsa (Sila Kelima)? Jika tidak ada larangan, lantas mengapa tidak menerima Pancasila dengan lapang dada dan berusaha mengamalkannya dengan sebaik-baiknya?