Hubungan antara nasionalisme dan agama di berbagai negara selalu menemukan perbincangan menarik tidak terkecuali di Indonesia. Sejatinya dua entitas ini tidak sepadan untuk dipertentangan. Negara adalah wilayah tempat tinggal yang bersifat profan, sementara agama adalah keyakinan spritual yang bersifat sakral. Namun, keduanya seolah bertentangan ketika negara menuntut loyalitas yang berkaitan dengan keyakinan dan agama menuntut eksistensi teritorial berkaitan dengan kekuasan.
Gagasan nasionalisme yang lahir dari Eropa yang melahirkan konsep negara bangsa (nation-state) ini membatasi ruang secara geografis dalam kawasan geopolitik tentang kesamaan nasib dan impian hidup bersama yang disatukan oleh satu kesepakatan. Pancasila adalah salah satu contoh kesepakatan bernegara sebagai pengikat dari keragaman suku, agama, ras dan bahasa. Di sisi lain, agama sebutlah Islam merupakan identitas trans nasional yang melampuai batas geogarfis. Kecintaan terhadap nation state terbatas pada wilayah perjanjian, sementara kecintaan agama melampuai batas negara.
Dari konsepsi tersebut lahirlah sebuah kenyataan nasionalisme mewujudkan kecintaan terhadap batas wilayah, sementara agama menuntut kecintaan melampaui batas wilyah. Satu sisi nasionalisme menjadi pondasi dalam membangun keyakinan loyalias terhadap negara. Sementara di pihak lain impian membangun negara agama tentu saja akan selalu lahir sebagai tantangan terhadap konsep nation state.
Namun, apakah pilihan hubungan ini harus selalu dinyatakan bahwa kita harus memilih satu dari keduanya entah nasionalisme atau agama. Apakah tidak ada pilihan lain yang dapat menyatukan keduanya?
Faktanya, impian melakukan tran-nasionalisasi negara agama tidak pernah terwujud sepanjang sejarah. Apakah negara yang berlandaskan pada hukum agama saat ini juga mengingankan ekspansi kewilayahan. Sebutlah Arab Saudi, Qatar, Yaman, Sudan dan lainnya berusaha menyatukan intas kewilayan berdasarkan perasaan agama. Bukankan dalam negara berlandaskan Islam itupun mereka sadar batas wilayah dan kecintaan terhadap negaranya.
Kekuasaan Islam yang melampaui batas wilayah pada era keemasannya pun tidak bisa disebut sebagai model tersukses yang wajib diduplikasi pada masa kekinian. Intrik politik pada masa itu, pertentangan, kudeta, konflik, peperangan, perang saudara bahkan antar satu keluarga memperebutkan kekuasaan merupakan sisi cermin hitam yang tidak pernah dilirik selain kesuksesannya. Negara-negara di Timur Tengah pun yang berlandaskan Islam tidak juga pernah bergairah untuk menyatukan diri.
Tidak mengherankan jika orang mengatakan bahwa kelompok yang gigih memperjuangkan negara transnasional berdasarkan agama adalah ilusi. Mereka tidak hanya gigih memegang impian tetapi juga gigih bermimpi terhadap sesuatu yang tidak ada landasan doktrinal dan faktual. Lebih mengerikan jika perjuangan terhadap nilai ilusi ini diteguhkan dengan kekerasan dan tindakan teror.
Pilihan realistis dari bebragai perubahan dan keragaman sebagai watak sejarah manusia adalah membangun wilayah dengan kesamaan impian, yang saling menghormati tanpa ada dominasi identitas tertentu. Sejatinya Madinah pada masanya merupakan contoh membangun wilayah nyaman dengan keragaman. Penghormatan terhadap perbedaan suku dan agama pada masa itu sangat ditekankan.
Agama dalam kawasan dengan semangat nasionalisme tidak juga pernah punah. Artinya nasionalisme tidak sama sekali memusnahkan kecintaan terhadap agama. Kecintaan terhadap agama dirawat dengan adanya jaminan kebebasan untuk menjalankan dan mengekspresikan keyakinan.
Agama adalah fitrah manusia, tetapi mencintai tanah air tempat kelahiran juga menjadi fitrah manusia. Tidak heran jika sesaat sebelum berhijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW., yang lahir di Mekkah berucap kepada tumpah darahnya bahwa:
“Sesungguhnya engkau (wahai Mekkah) adalah sebaik-baik negeri Allah dan negeri Allah yang paling kucintai. Demi Allah, sesungguhnya aku tidak diusir, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu(HR. Ibn Majah, Ahmad, at-Tirmidzy, dll.). artinya, mengekspresikan kecintaan terhadap tanah kelahiran bukan sesuatu yang tabu, dilarang, apalagi kalimat emosional haram.
Perasaan mencintai tanah air dan mereka yang berdiam diri dalam kwasan itu tidak juga disebut sebagai tindakan fanatis yang dapat merusak keimanan. Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW.,: “Apakah termasuk fanatisme (yang terlarang) bila seseorang mencintai kaumnya?” Nabi saw. Menjawab:“Tidak! Fanatisme yang terlarang adalah seseorang yang membantu kaumnya/bangsanya atas kezaliman(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan ath-Thabarany).
Nah, Indonesia telah berhasil melewati fase ujian kritis hubungan nasionalisme dan agama. Bangsa ini telah sukses mengawinkan agama dan nasionalisme sebagai identitas bangsa yang tidak bisa dipisahkan. Gejolak politik dalam fase tertentu dari perubahan politik dan kepemimpinan tidak bisa meruntuhkan konsepsi bernegara. Kerikil kecil selalu muncul untuk mengungkitkan kembali dua entitas itu untuk dipertentangkan. Hasilnya Indonesia kokoh dengan naisonalisme yang dismengati oleh agama.
Suara sumbang tentang nasionalisme haram atau penghormatan terhadap bendera haram muncul kemudian dari kelompok kecil yang tidak matang dalam memahami sejarah bangsa dan kedalaman pemikiran agama. Seorang ulama besar bangsa ini sekaligus Pahlawan Nasional, KH Hasyim Asy’ary, telah tegas mengatakan “Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama dan keduanya saling menguatkan”.