Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok radikal dan teroris telah bertransformasi secara signifikan dalam metode dan strategi mereka, terutama dengan merambah dunia digital. Internet telah menjadi alat yang sangat efektif untuk menyebarkan ideologi radikal, merekrut anggota baru, dan merencanakan aksi terorisme.
Dalam konteks perubahan itu, tentu saja, anak muda, sebagai kelompok yang paling aktif dalam penggunaan internet dan media sosial, menjadi sasaran utama. Anak-anak dan pemuda menjadi sangat rentan dari terpaan informasi dan pengetahuan yang sengaja disebarkan oleh kelompok radikal terorisme.
Radikalisasi kini tidak lagi membutuhkan interaksi fisik secara langsung. Melalui video propaganda, forum diskusi daring, dan media sosial, kelompok radikal dapat menjangkau audiens global dengan cepat dan efektif. Cerita ini, Saya kira, telah banyak membuktikan hasil dan korban. Fakta, banyak anak muda yang memilih aksi mandiri (lone wolf) gegara radikalisasi online sudah bukan rahasia lagi.
Perubahan ternyata semakin dipercepat oleh perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI). AI memiliki potensi besar untuk mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, namun juga membawa risiko signifikan jika disalahgunakan.
Kerentanan AI Dimanfaatkan oleh Kelompok Radikal
Kelompok radikal kini memanfaatkan AI untuk memperkuat propaganda mereka. AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menargetkan individu yang rentan terhadap radikalisasi melalui analisis data pribadi yang tersedia di internet.
AI juga dapat digunakan untuk membuat konten propaganda yang lebih meyakinkan dan dipersonalisasi. Misalnya, dengan menggunakan teknik deepfake, kelompok radikal dapat membuat video palsu yang tampak sangat realistis, yang dapat digunakan untuk menyebarkan informasi palsu atau memfitnah pihak tertentu. Teknologi chatbot yang didukung AI juga bisa digunakan untuk berinteraksi dengan calon rekrutan, membangun hubungan, dan memanipulasi mereka secara psikologis.
Ada beberapa fitur AI yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal dalam menyebarkan propaganda mereka:
Pertama, Analisis Data Besar: AI mampu menganalisis jumlah besar data dari media sosial untuk mengidentifikasi individu yang menunjukkan minat pada konten radikal. Dengan algoritma pembelajaran mesin, AI dapat mengklasifikasikan dan menargetkan individu-individu ini dengan konten propaganda yang disesuaikan.
Kedua, Natural Language Processing (NLP): Teknologi NLP memungkinkan AI untuk memahami dan memproduksi teks dengan cara yang sangat mirip dengan manusia. Ini dapat digunakan untuk menciptakan narasi yang menarik dan persuasif, serta berinteraksi langsung dengan calon rekrutan melalui chatbots.
Ketiga, Deep Learning dan Deepfake: Melalui teknologi deep learning, AI dapat membuat video atau audio palsu yang sangat meyakinkan. Deepfake dapat digunakan untuk membuat tokoh-tokoh publik tampak mengucapkan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka lakukan, yang dapat digunakan untuk menyebarkan disinformasi.
Keempat, Automasi Sosial: Bot AI dapat digunakan untuk membanjiri media sosial dengan pesan-pesan propaganda, meningkatkan visibilitas dan jangkauan konten radikal. Dengan fitur ini, kelompok radikal akan semakin menjangkau lebih luas audiens dengan menargetkan generasi muda.
Memang AI telah menawarkan banyak potensi untuk kebaikan, namun banyak celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok radikal dalam mengeksploitasi kecanggihan teknologi baru ini. Salah satu faktor utamanya adalah absennya regulasi atau keterbatasan regulasi dalam mengatur penggunaan AI. Regulasi tidak mampu mengimbangi kecepatan perubahan inovasi teknologi.
BNPT dan Kebutuhan dalam Menyiapkan Kontra Radikalisasi yang Adaptabel
Genap sudah usia Badan Nasional Penggulangan Terorisme ke 14 tahun. Memang masih belia, tetapi kiprah BNPT sudah banyak dikenal masyarakat dan tentunya memberikan dampak positif dalam mereduksi penyebaran aksi, gerakan dan narasi kelompok radikal terorisme. Tantangan utama BNPT ke depan adalah dengan geliat terorisme baru di atas.
Untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks tersebut, strategi kontra radikalisasi haruslah adaptabel dan memanfaatkan teknologi yang sama yang digunakan oleh kelompok radikal. Mau tidak mau, BNPT harus masuk dalam ranah baru ini. Kontra radikalisasi harus melangkah seperti kelompok radikal memanfaatkan AI.
BNPT harus merambah AI untuk Kontra-Propaganda. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah perlu mengembangkan sistem AI untuk mendeteksi dan menangkal propaganda radikal secara real-time. Teknologi NLP dan analisis sentimen dapat digunakan untuk memantau media sosial dan menyebarkan pesan kontra-propaganda yang efektif.
Selanjutnya, literasi harus terus digalakkan di kalangan anak muda. Mereka perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengenali dan menolak konten radikal, serta memahami risiko yang ada di dunia digital. Memanfaatkan komunitas anak muda seperti Duta Damai dan lainnya menjadi sangat penting dalam kampanye kontra narasi dengan pendekatan AI.
Terpenting BNPT juga dapat mendorongan pengembangan kebijakan dan regulasi yang adaptable. Membuat regulasi yang lebih ketat terkait penggunaan AI, serta menegakkan kebijakan yang ada, untuk mencegah penyalahgunaan teknologi oleh kelompok radikal.