Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang publik. Terbebasnya bangsa Indonesia dari panggung kekerasan teror tentu harus diapresiasi sebagai bentuk pencegahan yang optimal dalam menanggulangi terorisme dalam bentuk aksi kekerasan. Capaian ini oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disebut sebagaizero terrorist attack.
Namun, euforia terhadap nihilnya serangan teror jangan sampai membuat bangsa ini lengah. Sebab, seperti dikatakan berulangkali oleh BNPT,zero terrorist attackbukan berarti nihil ancaman. Justru sebaliknya, ada perubahan strategi yang sedang dimainkan kelompok teroris secara diam-diam. Terjadi proses hibernasi gerakan yang dalam waktu dan tempat kapanpun bisa muncul kembali.
Ketika ruang publik-sementara- tidak lagi menjadi sasaran bom atau serangan bersenjata, bukan berarti kelompok teroris berhenti bergerak. Yang terjadi adalah pergeseran taktik darihard violencemenjadisoft infiltration. Mereka berkamuflase, menggunakan metodetaqiyah(penyamaran) dengan masuk ke dalam sistem politik dan sosial yang sebelumnya mereka cela. Bahkan, bisa jadi mereka kini tidak segan menunggangi instrumen demokrasi—yang mereka anggap thagut—untuk memperluas pengaruh.
Selain itu, penyebaran propaganda dan indoktrinasi pun dilakukan secara masif, khususnya melalui media sosial, grup daring tertutup, hingga lembaga-lembaga pendidikan informal yang tidak terpantau. BNPT telah mengidentifikasi adanya pola baru dalam proses rekrutmen yang menyasar kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan perempuan. Proses ini dilakukan secaraunderground, menjadikan mereka agen potensial dalam jangka panjang.
Akhirnya, kita sampai pada pertanyaan apa yang harus kita maknai dari labelzero terrorist attackhari ini ? Status kondisi nihil aksi ini, sejatinya, adalah bayang-bayang dari narasi besar yang sedang mereka bangun secara sabar dan sistematis. Dalam kerangka ini, perang melawan terorisme telah bergeser dari medan tempur fisik keperang narasi(narrative warfare). Dan inilah medan yang lebih sulit, sebab ia bekerja dalam sunyi, menyusup ke ruang-ruang kepercayaan, merebut hati dan pikiran, membentuk identitas, bahkan memanipulasi keimanan.
Dalam kacamata pencegahan terorisme, nihilnya aksi memang menjadi indikator penting. Namun, indikator yang lebih esensial adalah sejauh mana masyarakat memiliki daya tangkal dan daya resistensi terhadap narasi radikal.Zero attack tanpa dibarengizero infiltrationhanyalah kesunyian yang menipu.
Karena itu, pendekatan keamanan harus diperluas menjadi pendekatan ketahanan. Negara tidak bisa hanya mengandalkan aparat penegak hukum atau intelijen. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun masyarakat yangresilient terhadap narasi kebencian, intoleransi, dan radikal terorisme. Di sinilah pentingnyasoft power approachmelalui kontra narasi, pendidikan kritis, penguatan literasi digital, dan kampanye keberagaman yang sistemik yang melibatkan seluruh stakeholder, tidak hanya BNPT.
BNPT bersama stakeholder penanggulangan terorisme—termasuk Kemenag, Kemendikdasmen, Kemenristek-Dikti, ormas keagamaan, hingga media massa—harus menjadikancounter-narrativesebagai garda terdepan. Esensi pencegahan terorisme dalam kondisi nihil aksi teror adalah mengoptimalkan kontra narasi dengan pelibatan berbagai unsur secara komprehensif. Kita butuh narasi alternatif yang menguatkan nilai-nilai kebangsaan, keberagaman, dan spiritualitas yang ramah perbedaan.
Dengan tanpa memandang sebelah mata capaianzero terrorist attacksebagai hasil kerja keras banyak pihak, kita harus tetap sadar bahwa ancaman tidak selalu datang dengan ledakan. Justru dalam keheninganlah, ideologi kekerasan bekerja paling efisien. Maka, tantangan terbesar kita ke depan bukan hanya mencegah ledakan bom, tapi memadamkan api ideologi kekerasan yang terus menyebar dalam bentuk narasi.