Reformasi yang telah berjalan selama dua dekade telah berperan dalam melakukan proses restrukturisasi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kran kebebasan terbuka lebar sampai pada batas riak euforia menolak sistem lama. Implikasi negatif yang harus dibayar terdapat diskontuintas yang tidak bisa dijaga dari reformasi yang mendadak memberikan kran kebebasan di berbagai aspek dengan nilai-nilai luhur yang tertanam lama. Salah satunya adalah lunturnya nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Penanaman nilai pancasila di berbagai instiusi pendidikan formal dan non formal seakan terabaikan. Dalam proses lemahnya penanaman tersebut, masyarakat kehilangan tongkat falsafah bangsa dalam menapaki kehidupan berbangsa. Dalam kondisi ini, Aris Arif Mudayat, Dosen Unhan, mengistilahkan dengan “kekosongan ideologi”.
Tidak dapat dipungkiri, terjadinya kekosongan ideologi yang melanda seluruh bangsa ini mendorong ideologi lain yang dikatakan “ideologi alternatif” mudah masuk. Kekosongan idelogi ini karena masyarakat sudah lama menanggalkan Pancasila karena banyak alasan. Alasan trauma masa lalu ketika Pancasila diperalat oleh kekuasaan sampai alasan ketidakcocokan Pancasila dengan spirit agama muncul kembali.
Kondisi krisis nilai ini dimanfaatkan dengan masifnya propaganda yang meletakkan Pancasila sebagai ideologi yang tidak sesuai dan munculnya tawaran ideologi lain. Sembari dengan proses tersebut, ruang-ruang publik baik di lingkungan nyata dan maya semakin dipenuhi dengan ideologi alternatif yang mencoba menolak Pancasila. Kritik yang dilakukan bukan karena tidak diimplementasikannya Pancasila secara konsisten, tetapi kritik subtantif yang menegaskan Pancasila gagal.
Dalam kondisi ini masyarakat mengalami kekosongan ideologi dan pandangan falsafah bernegara baik dalam aspek kognitif dan afektif. Masyarakat sudah menanggalkan nilai toleransi, kemajemukan dan keramahan dengan sikap saling menyalahkan, mudah tersulut amarah dan anarkisme. Pertanyaannya, apakah asumsi melemahnya ideologi Pancasila betul-betul terjadi?
Dalam banyak survey yang dilakukan terhadap sekolah, kampus dan masyarakat memang menunjukkan kekhawatiran. Banyak kalangan terdidik yang merasa pesimis dengan Pancasila bahkan ada sebagian kecil yang menyatakan penolakan terhadap ideologi bangsa ini. Kecenderungan ini terus melaju dan selalu mengalami peningkatan dengan semakin lemahnya ideologi bangsa dan semakin masifnya propaganda paham dan ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa.
Survey mengejutkan datang dari LSI Denny JA yang menyebutkan bahwa dalam 13 tahun terakhir, persentase publik pro Pancasila terus menurun. Dalam survey tersebut publik yang pro Pancasila menurun sebanyak 10 persen. Pada tahun 2005, misalnya, publik yang pro Pancasila angkanya mencapai 85,2 persen, pada tahun 2010, angkanya menurun menjadi 81,7 persen. Lalu, pada tahun 2015, angkanya kembali menurun menjadi 79,4 persen dan akhirnya, pada tahun 2018, angkanya turun lagi menjadi 75,3 persen.
Survei yang dilakukan pada 28 Juni-5 Juli 2018 dengan metode wawancara tatap muka menggunakan kuesioner di 34 provinsi di seluruh Indonesia juga memotret kecenderungan penurunan dari latarbelakang agama. Untuk warga beragama non-muslim angka penerimaan Pancasila cukup stabil di angka 81,7 persen pada 2005 dan di tahun 2018 angkanya 82,8 persen. Sementara warga yang beragama Islam, pada tahun 2005, yang pro Pancasila mencapai 85,6 persen dan pada tahun 2018, angkanya turun menjadi 74 persen atau terjadi penurunan 11,6 persen.
Survey LSI tersebut sejatinya bukan hal baru apabila kita melihat tren dari tahun sebelumnya di berbagai survey dan riset. Hasil survey dari PPIM Jakarta menyatakan mayoritas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mendukung Indonesia sebagai negara Pancasila dan UUD 45, namun mereka memiliki aspirasi yang kuat dalam penerapan Syariat Islam. Hasil lain yang sejalan dengan temuan tersebut bahwa mayoritas guru PAI menolak kepemimpinan non-Muslim.
Survey PPIM yang dilaksanakan selama bulan Oktober 2016 di 11 Kab/Kota (5 Provinsi). Responden 175 orang (kualitatif) dan 330 orang (kuantitatif) ini berangkat dari asumsi bahwa guru PAI harus menyampaikan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan secara imbang. Namun faktanya hasil yang ditemukan sangat ambigu. Guru agama pun terbukti ikut-ikutan terseret ke dalam pusaran paham-paham yang cenderung eksklusif dan bahkan radikal.
Hasil survey Alvara bulan September-Oktober 2017 kepada 1200 responden dari kalangan profesional, mahasiswa dan pelajar juga masih membenarkan kekhawatiran terhadap hal itu. Meski terdapat 83.2% responden mahasiswa yang menerima Pancasila sebagai ideologi negara, ada sejumlah 16.7% responden mahasiswa yang menyetujui ideologi radikalisme agama sebagai pandangan dasar negara ini, dan angka ini memperlihatkan pola tren peningkatan jumlah responden.
Jauh sebelum itu ternyata masuknya ideologi lain di tengah melemahnya ideologi bangsa ini terjadi secara sistematis terutama di lingkungan sekolah. Tahun 2010, Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu juga menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Dan parahnya, jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom.
Bagaimana suara milenial? Survey yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies pada 23-30 Agustus 2017 di 34 propinsi salah satunya terkait poin sikap terhadap gerakan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Survey ini membagi respon milenial dengan umur 17-29 tahun dan non milenial dengan umur 30 tahun ke atas. Hasilnya adalah setuju dari kalangan Milenial : 9.5% dan Non-milenial : 11.8%. Sementara mereka yang menolak dari kalangan milenial : 90.5% dan dari non milenial: 85.4%.
Dari trend mudah dan masifnya paham radikal diterima oleh masyarakat berjalan searah dengan melemahnya ideologi bangsa. Kekosongan nilai ini karena Pancasila sebagai wawasan yang bertugas menyerap dan memfilter paham, pandangan dan ideologi yang masuk secara bertubi-tubi ke dalam negeri tidak difungsikan. Karena itulah, jawaban dari mematikan ideologi radikal yang bertentangan dengan NKRI harus dilakukan dengan memperkuat Pancasila sebagai tongkat dan panduan dalam berbangsa dan bernegara.
Kesaktian pancasila sebagai ideologi bangsa harus diperkuat kembali dalam berbagai lingkungan sosial, pendidikan, dan keluarga. Kuatnya ideologi Pancasila akan menjadi benteng, perisai sekaligus senjata mematikan bagi paham radikal. Paham radikal tidak akan pernah laku di tengah masyarakat yang menjunjung nilai pancasila seperti ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan.