Para dai kekinian tentu mulai sadar bahwa kehadiran media sosial bukanlah sebuah ancaman, melainkan peluang untuk menyampaikan materi-materi dakwah dan persebarannya sangatlah luas. Di samping itu, kecenderungan masyarakat yang tidak bisa lepas dari gawai juga menjadi faktor pendukung lainnya. Sehingga, dai tidak perlu repot-repot datang dari pintu ke pintu atau majelis satu ke majelis lainnya untuk menyampaikan dakwahnya. Cukup dengan membikin akun media sosial untuk menyampaikan dakwahnya.
Benar bahwa kini dakwah di media sosial kian marak. Hal ini merupakan indikasi positif bahwa masyarakat telah sadar betapa urgennya penggunaan media sosial untuk menabur kebaikan. Namun, jika kita mencermati lebih teliti, konten-konten dakwah ternyata banyak juga yang mengandung narasi-narasi intoleran, memecah belah, bahkan ada pula yang sampai hati menyesatkan kelompok atau orang lain.
Kita gampang mendapati narasi-narasi kebencian dan memecah belah di media sosial, salah satunya misalnya seruan untuk berjihad. Ada banyak narasi yang sepintas lalu terkesan baik-baik saja, tapi ternyata dibangun di atas pondasi kebohongan. Sebagai contoh, narasi-narasi penderitaan muslimin di belahan dunia lain, kerap disebar untuk menarik simpati masyarakat atas mereka, tapi ternyata antara foto yang ditampilkan dan narasi yang dibangun tidak relevan. Gampangnya, narasinya menceritakan tentang penderitaan Aleppo, misalnya, tapi foto yang ditampilkan adalah kedukaan yang ada di Palestina. Jika niat penyebar narasi tersebut baik, kenapa data yang disampaikan tidak valid alias bohong?
Baca juga :Memoles Wajah Media Sosial dengan Cinta dan Kedamaian
Kerap juga kita temui dai-dai di media sosial yang bukannya menyeru pada kedamaian, justru malah menebarkan virus benci dengan label takfiri. Sebagian dari dai-dai tersebut juga bukanlah orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, hanya belajar agama dari internet, sehingga dalam memahami dalil al-Qur’an dan al-Hadits hanya mengandalkan akalnya, tanpa bimbingan guru. Spirit dakwah yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni, hanya akan membuat kegaduhan di media sosial dan masyarakat. Bukankah telah ada buktinya, di mana seorang dai mengatakan bahwa kelak di surga kita akan pesta seks, setelah pengorbanan di dunia untuk mengendalikan dorongan birahi? Atau, mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. dulu adalah sesat sebelum datang kepadanya wahyu? Atau yang lebih ekstrim, seruan untuk membunuh pemeluk agama lain yang dilabeli kafir?
Dakwah-dakwah tersebut boleh jadi disinari oleh spirit amar ma’ruf nahi munkar, tapi benarkan cara yang mereka lakukan? Apakah dengan menyeru membinasakan pemeluk agama lain atau pelaku maksiat atau yang memiliki pemahaman tidak sesuai al-Qur’an dan al-Hadits (versi mereka), merupakan bentuk ejawantahan dari amar ma’ruf nahi munkar?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok teladan agung sepanjang masa, Rasulullah Saw. Beliau dikenal sebagai pendai yang ketat terhadap diri sendiri, namun sangat lemah lembut dalam memperlakukan orang lain. Hal ini bisa dilihat, salah satunya, pada saat Nabi Muhammad Saw. menyeru penduduk Thaif untuk masuk Islam. Bukannya disambut dengan tangan terbuka, melainkan terkepal dan batu-batu yang beterbangan mengarah Nabi Muhammad Saw.
Aisyah bahkan meriwayatkan bahwa tragedi di Thaif lebih berat ketimbang kekalahan umat Islam di Perang Uhud. Di saat Rasulullah Saw. bersedih atas penolakan penduduk Thaif, datanglah Malaikat penjaga gunung dan berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain (kepada mereka).”
Tawaran malaikat untuk membinasakan penduduk Thaif ini tidak dimanfaatkan Nabi Saw. untuk balas dendam. Beliau justru menjawab, “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Swt. melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (HR. Muslim)
Sikap yang diambil Rasulullah Saw. merupakan pancaran akhlak mulia dalam menyeru pada kebaikan. Bahwa Nabi Saw. tetap memiliki harapan yang besar, supaya lahir dari para penentang dakwah, generasi yang dengan kesadaran penuh dan ketulusan hati menjunjung kalimah Allah Swt. Dari sini pula, tampak kecintaan Rasulullah Saw. yang besar kepada segenap manusia. Beliau telah meletakkan pondasi dakwah cinta untuk menyeru manusia pada kebaikan, bukan dengan jalan pemaksaan.
Teladan Nabi Muhammad Saw. ini bisa kita jadikan pondasi untuk berdakwah di media sosial. Narasi-narasi kebencian yang melimpah ruah di media sosial, jangan sampai menjadikan diri kita pesimis. Optimisme telah diajarkan Rasulullah Saw. dalam menghadapi penduduk Thaif, yang pada akhirnya memeluk agama Islam. Begitu juga kita dalam berjuang menebarkan virus-virus cinta dalam media sosial; jika hal ini dilakukan secara konsisten dan kontinue, dengan tetap mengedepankan harapan dan bukan pemaksaan, ke depan tentu akan membuahkan hasil yang gemilang. Percayalah, bahwa masyarakat lambat laun akan mendewasa dan mampu membedakan akun-akun (dai) penyebar kebencian dan mereka yang meneduhkan dengan dakwah cintanya.