Debat Santun; Debat yang Mendidik dan Bermartabat

Debat Santun; Debat yang Mendidik dan Bermartabat

- in Narasi
1649
1
Debat Santun; Debat yang Mendidik dan Bermartabat

Perhatian masyarakat beberapa hari terakhir tertuju pada debat capres 2019. Debat perdana pada Kamis (17/1) kemarin menjadi satu dari lima rangkaian debat yang rencananya diselenggarakan KPU sebelum pilpres April mendatang. Debat menjadi ajang kedua kandidat capres-cawapres memperkenalkan visi, misi, program, serta menunjukkan kemampuan menganalisis persoalan sesuai topik debat. Dari sana, masyarakat bisa menilai dan menjadikannya preferensi dalam menentukan pilihan.

Debat capres terbukti menarik perhatian masyarakat. Ini tergambar dari perbincangan warganet di media sosial. Pada hari Kamis (17/1) malam, dari sepuluh trending topic yang paling banyak dibicarakan di Twitter, enam di antaranya mengenai debat capres 2019. Hashtag #DebatCapres, #DebatPerdanaPilpres2019, #DebatPilpres, #JokowiAminMenangDebat, #PrabowoIndonesiaMenang, hingga mengenai moderator debat, merupakan topik-topik yang banyak dibicarakan warganet saat debat berlangsung, bahkan hingga hari-hari selanjutnya.

Debat yang menampilkan kedua kandidat dalam berpendapat, bahkan saling mengkritik mengenai suatu topik dan disiarkan langsung di berbagai stasiun televisi, menjadi momen penting bagi masyarakat untuk menilai. Dari debat, masyarakat menyaksikan gambaran sikap, watak, dan karakter kedua kandidat capres-cawapres.

Bagi masyarakat yang sudah punya pilihan, debat memberi pengaruh mengenai bagaimana cara pandang dalam menyikapi persoalan juga dalam menyikapi kritik dari lawan, dengan bersandar pada kandidat pilihannya. Debat menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat. Bagaimana cara kedua kandidat merespon suatu persoalan dan menyikapi kritik akan berpengaruh pula terhadap pemikiran, cara pandang, dan sikap para pendukung dan pemilihnya.

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kedua kandidat untuk menghadirkan debat yang santun. Berdebat dengan santun bukan berarti berdebat tanpa sikap kritis, namun bagaimana menyampaikan gagasan, kritik, maupun sanggahan, dalam bingkai bahasa dan sikap yang baik, sopan, dan beradab.

Bahasa

Salah satu indikator kesantunan paling mendasar adalah penggunaan bahasa. Dalam debat, bahasa yang digunakan menjadi tolok ukur, tidak hanya mengenai sejauh mana jangkauan wawasan dan pengetahuan mengenai suatu topik, namun juga menjadi ukuran sejauh mana kandidat memegang etika, adab, dan nilai-nilai kesantunan. Namun, bagaimana menilai kesantunan seseorang dalam berbahasa?

Baca juga :Membanjiri Media Sosial dengan Pesan Damai; Role Model Positif untuk Generasi Z

Pranowo dalam bukunya Berbahasa Secara Santun (2009) menjelaskan, santun tidaknya pemakaian bahasa, setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Yakni pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Setiap kata, di samping memiliki makna tertentu, juga memiliki daya (kekuatan) tertentu. Jika pilihan kata yang digunakan menimbulkan daya bahasa tertentu dan menjadikan mitra tutur atau lawan bicara tidak berkenan, maka penutur dipersepsi sebagai orang yang tidak santun.

Kesantunan juga dipengaruhi kesanggupan menggunakan gaya bahasa. Gaya bahasa, jelas Pranowo, tak sekadar mengefektifkan maksud, namun juga menggambarkan keindahan tuturan dan kehalusan budi bahasa penutur. Dari gaya bahasa yang dipakai, tergambar bagaimana kemampuan orang dalam berbahasa untuk memengaruhi, meyakinkan, demi tujuan tertentu, baik dalam bentuk tulisan maupun tuturan (ucapan).

Menular

Berdasarkan hal tersebut, kita berharap kedua kandidat capares-cawapres memiliki kesadaran menggunakan pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa yang santun dalam debat. Terutama, dengan tidak menggunakan kata-kata kasar atau gaya arogan, serta tidak menyakiti atau menyerang pribadi lawan debat. Mengungkapkan ide, gagasan, atau program tidak harus disertai mendiskreditkan lawan debat. Sebuah kritik bisa dilontarkan dengan bijak, elegan, tanpa harus menyerang dan menyakiti pribadi tertentu.

Kesantunan di tengah debat harus dijaga, sebab apa yang terlihat dan terdengar dalam debat akan menular kepada masyarakat. Apa-apa yang diucapan dan apa-apa yang ditampilkan kedua kandidat dalam debat akan sangat memengaruhi psikologi publik, terutama pendukung kedua kandidat. Jika seorang capres atau cawapres berdebat dengan tetap menjaga adab, etika, dan kesantunan, maka pendukungnya secara tidak langsung akan mendapatkan pendidikan atau teladan tentang bagaimana bersikap.

Kesantunan menjadi hal penting untuk diperhatikan dalam debat. Terlebih di era media sosial sekarang, di mana perdebatan juga gampang merambat dan tercipta di dunia maya. Ketika debat capres perdana berlangsung, kita bisa melihat bagaimana linimasa langsung ramai postingan soal debat. Berbagai komentar dan tanggapan warganet mengenai jalannya debat bermunculan, terutama dalam mengomentari kata-kata atau pernyataan kedua paslon capres-cawapres.

Sebuah penilaian dari seorang warganet di media sosial mengenai pernyataan salah satu paslon, seringkali memancing komentar dari orang lain yang punya pendapat berbeda. Dari sini, perdebatan pun tercipta. Bahkan, seringkali akhirnya berujung pada saling sindir, bahkan saling mencaci dan menyerang. Di sini, kita melihat bagaimana debat capres pada gilirannya menciptakan perdebatan pula di kalangan warga di dunia maya. Oleh karena itu, kesantunan, etika, dan adab menjadi hal penting untuk tetap dijaga dalam debat.

Berdebat tak harus dengan emosi dan kata-kata yang menyakiti. Kemampuan untuk mendebat, mengkritik, dan berargumentasi dengan tetap menjaga adab, etika, dan kesantunan mesti ditekankan demi menciptakan debat yang bermartabat.

Facebook Comments