Buku Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menuai kontroversi, utamanya di kalangan pengikut Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, dalam buku tersebut tidak ada entri nama pendiri NU, yakni Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Padahal, sampul depan buku itu memuat sampul beliau. Kontroversi pun bergulir. Sejumlah kalangan menuntut Kemendikbud merespons peristiwa ini dengan transparan.
Mendikbud Nadiem Makariem, berkilah buku itu disusun tahun 2017 dimana ia belum menduduki jabatan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan Dirjen Kemendikbu, Hilmar Farid yang juga merupakan seorang historian menyebut bahwa buku itu baru merupakan drat (rancangan) pertama yang belum final. Ia mengakui ada kealpaan dalam absennya KH. Hasyim Asyari.
Farid menyebut, buku tersebut baru dicetak 20 eksemplar sebagai semacam dummy. Sementara soft-filenya diunggah di laman website Kemendikbud RI. Kini, 20 eksemplar buku itu telah ditarik dan soft-file yang diunggah di situs Kemendikbud juga sudah dihapus. Meski demikian, kasus ini tentu tidak menguap begitu saja. Perlu ada upaya investigasi lebih lanjut. Mengapa tokoh sekaliber KH. Hasyim Asyari bisa luput dimasukkan ke entri Kamus Sejarah Indonesia.
Pertanyaannya, apakah hal itu disengaja? Jika disengaja apa tujuannya? Dari perpektif yang lain kita juga bisa membaca sebenarnya peristiwa ini mengindikasikan apa? Kemendikbud sebagai penanggung jawab utama penyusunan dan penerbitan Kamus Sejarah Indonesia ini kiranya harus menjelaskannya dengan transparan. Jika tidak, maka jangan salahkan jika publik, utamanya warga NU terus berspekulasi dan berasumsi atas hal ini.
Kekecewaan warga nadhliyin terhadap absennya KH. Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia tentu merupakan hal yang wajar. Bagaimana tidak? KH. Hasyim Asyari ialah tokoh yang terbilang sentral dalam gerakan revolusi kemerdekaan. Beliau juga terlibat langsung dalam pembentukan NKRI, penyusunan Pancasila dan perumusan UUD 1945. Tidak memasukkannya dalam Kamus Sejarah Indonesia merupakan kesalahan fatal.
Kesalahan Berulang
Kejadian ini seolah mengulang kesalahan fatal Kemendikbud lainnya yang terjadi secara beruntun belakangan ini. Sebelum kasus hilangnya nama KH. Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia ini mencuat, Kemendikbud juga mendapat sorotan lantaran hilangnya pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia dari Standar Pendidikan Nasional. Dalam PP. No. 57 Tahun 2021 Pancasila dan Bahasa Indonesia hilang dari daftar matakuliah wajib di perguruan tinggi. Ironisnya, PP itu kadung diteken oleh Presiden Jokowi dan belakangan direvisi.
Jika diamati, dua kesalahan yang diklaim sebagai kealpaan itu cenderung memiliki pola yang sama. Yakni menghilangkan unsur-unsur keindonesiaan secara perlahan dari pikiran kaum muda yang merupakan generasi penerus bangsa. Hilangnya nama KH. Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia merupakan upaya menghapus peran signifikan kaum tradisionalis yang diwakili NU dalam panggung revolusi Nasional.
Penghilangan nama dalam sebuah cerita sejarah bukanlah hal sepele. Dari sekadar penghapusan nama itulah dimulai penghapusan dan pembalikan fakta sejarah yang sesungguhnya. Ke depan, barangkali bukan hanya nama KH. Hasyim Asyari yang akan dihapus dari sejarah kemerdekaan RI, namun juga sejarah kemerdekaan RI itu akan diubah, dibelokkan sesuai dengan kehendak kelompok tertentu.
Demikian juga penghapusan Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai matkul wajib di perguruan tinggi. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa peristiwa ini disengaja. Tujuannya ialah mencerabut generasi muda dari akar nasinalisme dan keindonesiaannya. Pancasila seperti kita tahu merupakan ideologi bangsa yang harus ditanamkan kepada generasi penerus. Penanaman nilai dan prinsip Pancasila yang paling utama tentu melalui jalur pendidikan formal, mulai dari level usia dini hingga perguruan tinggi.
Begitu pula Bahasa Indonesia yang tidak hanya menjadi sarana komunikasi melainkan sudah menjadi simbol kenegaraan dan kebangsaan. Jika dihapus, maka ada kemungkinan generasi penerus akan terasing dari simbol kenegaraan dan kebangsaannya. Penghapusan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari daftar matakuliah wajib di perguruan tinggi ialah tindakan fatal yang berpotensi menjadikan generasi penerus kehilangan nasionalismenya.
Investigasi Menyeluruh
Di titik ini, kita patut mendorong adanya investigas menyeluruh terhadap seluruh jajaran Kemendikbud utamanya yang terlibat langsung dalam dua kasus tersebut. Kita patut menaruh curiga bahwa hilangnya nama KH. Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia dan hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dari daftar mata kuliah wajib memang disengaja, bahkan didesain oleh faksi konservatif kanan yang bercokol di birokrasi Kemendikbud.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak Kementerian, BUMN dan instansi pemerintah lainnya yang pegawainya telah terpapar ideologi radikal-keagamaan. Meski bekerja, mencari makan dan penghidupan di bawah naungan pemerintah, mereka justru kerap berpandangan anti-pemerintah. sebaliknya, mereka mengampanyekan ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila. Fatalnya lagi, mereka kerap menggunakan posisi strategisnya tersebut untuk menyusun kebijakan yang mendorong penyebaran ideologi transnasional.
Sekali lagi, kasus-kasus tersebut harus diselidiki secara tuntas dan transparan. Siapa yang terlibat langsung dan apa sanksinya, masyarakat harus tahu. Selain sebagai bentuk pertanggung jawaban Kemendikbud sebagai institusi publik, transparansi itu juga diperlukan sebagai pelajaran bagi instansi-instansi lain. Yakni bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan serius dalam melawan segala anasir radikalisme di tubuh lembaga, kementerian atawa instansi lainnya.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus hilangnya nama KH. Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia dan penghapusan Bahasa Indonesia serta Pancasila sebagai matakuliah kian menegaskan bahwa penanaman nilai Pancasila di kalangan ASN, birokrat dan pejabat pemerintah sangat urgen. Disinilah letak pentingnya gagasan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila bagi ASN yang disusun oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).
Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila bagi kalangan ASN ini sangat penting lantaran kecenderungan belakangan ini dimana banyak ASN terpapar ideologi radikal. Bahkan, tidak sedikit ASN yang berafiliasi dengan ISIS dan terlibat jaringan teroris global. Sebelum semuanya menjadi parah dan kian tak terkendali, harus ada upaya preventif agar ASN tidak mudah terpapar ideologi radikal-ekstrem. Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila ini ialah salah satu jawabannya.