Meningkatnya gairah keagamaan di kalangan muslim milenial dan generasi Z tentu patut diapresiasi dan disambut gembira. Itu artinya, agama terutama Islam masih relevan bagi kehidupan kaum milenial dan gen Z. Atau dengan kata lain, agama masih dipercaya sebagai salah satu pegangan hidup yang memberikan solusi bagi problematika kehidupan.
Asef Bayat dalam buku Being Young and Muslim menjelaskan bahwa kedudukan anak muda di negara-negara muslim sangat strategis. Cara pandang dan perilaku keberagamaan kaum muda akan berpengaruh signifikan terhadap praktik keberagamaan secara umum. Artinya, jika kaum mudanya memiliki pandangan dan perilaku keagamaan yang moderat, bisa dipastikan corak keberagamaan di negara tersebut pun akan mengarah ke toleransi dan inklusivisme.
Sebaliknya, jika pandangan dan perilaku keagamaan kaum mudanya bercorak konservatif, besar kemungkinan model keberagaman di negara tersebut pun mengarah pada kecenderungan eksklusif, intoleran, bahkan radikal.
Lebih lanjut, Bayat menjelaskan bahwa model keberagaman kaum muda ini akan menentukan arah dan masa depan negara. Negara dengan kaum muda yang beragama secara moderat relatif memiliki kondisi sosial-politik yang kondusif dan stabil. Sedangkan negara dengan kaum muda yang beragama secara konservatif cenderung rawan konflik dan perpecahan.
Karakter Beragama Gen-Z Adalah Kunci Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Analisis Bayat tersebut menyiratkan pesan bahwa salah satu kunci kemajuan bangsa adalah karakteristik keberagamaan generasi mudanya. Jika ditarik dalam konteks Indonesia, pertanyaaan Asef Bayat itu bisa dimaknai bahwa kunci terwujudnya cita-cita Indonesia Emas 2045 itu terletak pada karakteristik keberagaman kaum milenial dan gen Z.
Di titik inilah pentingnya mengembangkan corak keberagaman moderat di kalangan milenial dan gen Z. Jangan sampai gairah keberagamaan muslim milenial dan Gen Z itu justru menjerumuskan mereka ke jebakan radikalisme atau ekstremisme agama. Maka, menggencarkan kampanye moderasi beragama di kalangan milenial dan gen Z adalah keharusan mutlak yang tidak bisa ditawar.
Meski demikian, kira perlu mendesain strategi moderasi beragama yang tepat dan efektif menyasar kelompok muda ini. Mengingat kelompok milenial apalagi gen Z merupakan kelompok sosial yang cenderung kritis. Selain itu mereka juga dikenal sebagai generasi digital friendly, dalam artian sangat akrab dengan teknologi digital.
Artinya kampanye moderasi beragama di kalangan milenial dan gen Z harus dilakukan secara rasional dan mengoptimalkan teknologi digital, seperti internet dan media sosial. Penanaman moderasi beragama secara rasional itu artinya prinsip-prinsip beragama yang toleran, inklusif, nasionalis, anti-kekerasan, dan adaptif pada kearifan lokal itu dilakukan dengan cara-cara yang mengedepankan pendekatan dialog terbuka. Moderasi beragama di kalangan milenial apalagi gen Z tidak dapat dilakukan dengan indoktrinasi apalagi bernuansa paksaan.
Tidak kalah penting dari itu, prinsip moderasi beragama harus dikemas semenarik mungkin dan disebarluaskan melalui media digital. Diseminasi gagasan moderasi beragama di era sekarang, apalagi yang menyasar ke kalangan milenial dan gen Z tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional, misalnya seperti seminar, sarasehan, pelatihan, dan semacamnya. Dibutuhkan pendekatan yang lebih populer dan digital friendly. Dengan begitu, kalangan milenial dan gen Z akan lebih terbuka dan akomodatif terhadap agenda moderasi beragama.
Urgensi Kampanye Moderasi Beragama di Ranah Digital
Dalam konteks ini, kita perlu mendorong para pegiat moderasi beragama mulai dari tokoh agama, aktivis sosial, akademisi maupun intelektual untuk ikut andil meramaikan wacana moderasi beragama di media digital. Moderasi beragama selama ini masih menjadi wacana elitis yang hanya bergaung di kelas-kelas universitas atau ruang-ruang seminar.
Ke depan, wacana moderasi beragama harus mengambil alih wacana keagamaan di ranah digital yang belakangan ini didominasi oleh narasi konservatisme bahkan radikalisme. Gagasan moderasi beragama harus dikemas sedemikian rupa; ringan, menarik, namun tetap subtantif. Dengan begitu, wacana moderasi beragama akan lebih mudah diterima kalangan milenial dan Gen Z.
Perilaku keagamaan moderat yang mencerminkan sikap nasionalis, anti-kekerasan, toleran, dan akomodatif pada budaya lokal adalah salah satu modal penting mewujudkan Indonesia Emas 2045. Tanpa hadirnya paradigma moderat dalam beragama, relasi sosial-keagamaan kita hanya akan diwarnai oleh ketegangan, perpecahan, bahkan konflik. Alhasil, energi bangsa akan tersedot habis untuk mengurusi hal-hal remeh-temeh ihwal khilafiyyah dalam beragama.
Energi bangsa ini seharusnya diarahkan ke arah yang lebih produktif dan konstruktif. Keragaman agama dan budaya seharusnya bisa menjadi agregator sekaligus akselerator kemajuan bangsa. Bukan justru sebaliknya, menjadi faktor pemicu timbulnya segregasi, polarisasi, apalagi disiintegrasi.