Ahimsa: Menghindari Spiral Kekerasan Pasca-pemilu

Ahimsa: Menghindari Spiral Kekerasan Pasca-pemilu

- in Narasi
128
0
Ahimsa: Menghindari Spiral Kekerasan Pasca-pemilu

“Ahimsa” adalah sebuah ajaran tentang anti-kekerasan. Salah satu pondasi ajaran tersebut adalah bahwa kehidupan itu suci, sakral, dan berharga, sehingga kita tidak boleh melakukan kekerasan terhadap kehidupan yang sakral itu. Menyakiti seseorang berarti menyakiti diri sendiri.

Konsep bahwa kehidupan itu suci dan sakral membawa implikasi yang dalam bagi para penganutnya. Menurut prinsip Ahimsa, kita sebagai individu bertanggung jawab untuk menghormati dan melindungi kehidupan dalam segala bentuk. Melakukan kekerasan terhadap makhluk hidup lain dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip Ahimsa. Bahkan, menyakiti seseorang, baik secara fisik, emosional, atau spiritual, dianggap sebagai tindakan yang merugikan tidak hanya orang itu saja, melainkan juga menyakiti diri sendiri. Ini karena, dalam pandangan Ahimsa, kita semua terhubung sebagai bagian dari satu kesatuan yang lebih besar, dan kekerasan yang kita lakukan terhadap orang lain akhirnya akan menciptakan penderitaan dan ketidakharmonisan yang kembali mempengaruhi kita sendiri.

Dalam praktiknya, konsep Ahimsa mendorong kita untuk mengembangkan sikap belas kasihan, pengampunan, dan empati terhadap semua makhluk hidup. Ini bukan hanya tentang menahan diri dari tindakan kekerasan fisik, tetapi juga tentang menghindari perilaku dan kata-kata yang dapat menyakiti orang lain secara emosional atau mental. Melalui penerapan prinsip Ahimsa dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih damai, harmonis, dan penuh kasih di sekitar kita.

Ahimsa merupakan salah satu pola ajaran yang penting bagi banyak aliran agama di dunia. Ajaran tentang anti-kekerasan ini diajarkan oleh banyak tradisi keagamaan, baik di antara aliran-aliran Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme yang penganutnya lebih jarang dikenal di Indonesia. Tentu, ajaran ini juga ditekankan dalam tradisi-tradisi agama lain seperti dalam ajaran Islam dan Kristen juga, contohnya dalam aliran Kristen Mennonite. Ajaran tentang anti-kekerasan ini semakin relevan dalam konteks pasca-pemilu ini. Segera setelah melewati masa pemilihan, seringkali masyarakat menjadi rentan terhadap perpecahan, yang mungkin terjadi oleh karena hasil penghitungan suara sementara dan suara-suara sumbang yang berniat memicu chaos, yaitu kekacauan publik.

Berkenaan dengan itu, ajaran tentang Ahimsa ini memang tidak dapat dilepaskan dari dunia politik. Justru, ajaran Ahimsa ini menjadi populer karena digunakan oleh figur-figur ternama seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. sebagai metode berpolitiknya. Gerakan Satyagraha yang diinisiasi olehnya di India mengajarkan anti-kekerasan sebagai salah satu prinsip utamanya. Oleh karena ide tentang Ahimsa yang sudah tidak asing bagi orang-orang di India, alhasil gerakan Satyagraha yang diinisiasi itu berhasil membawa perubahan besar bagi arah politik India.

Selain itu, pemahaman tentang Ahimsa juga dapat disesuaikan ke dalam konteks politik yang sedang berjalan pada masa itu. Gandhi mengajarkan bahwa ajaran Ahimsa tidak hanya melawan kekerasan yang dilakukan secara fisik saja. Ketidakadilan, kecurangan, dan manipulasi yang dilakukan secara politik juga merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang perlu dihilangkan melalui promosi damai yang anti-kekerasan.

Namun, untuk melawan kekerasan tersebut tidak dapat digunakan juga cara-cara kekerasan. Istilah “spiral of violence”, atau spiral kekerasan menjadi salah satu alasan dari hal ini. Spiral kekerasan adalah ketika suatu kekerasan dalam bentuk yang kecil dibalas dengan kekerasan yang lebih besar, yang kemudian dibalas dengan kekerasan yang lebih besar lagi sehingga kekerasan yang begitu besar mengamuk oleh kekerasan yang berspiral besar. Oleh karena itu kekerasan tidak dapat dibalas dengan kekerasan. Ahimsa tidak mengajarkan seseorang untuk mengalahkan pembuat kejahatan, akan tetapi mengalahkan sifat kejahatan itu sendiri dengan menahan diri dari kekerasan.

Oleh karena itu penting juga untuk memahami bahwa Ahimsa bukanlah tindakan pengecut atau penerimaan pasif terhadap ketidakadilan. Sebaliknya, Ahimsa adalah tindakan yang memerlukan keberanian dan keteguhan hati untuk menentang kekerasan tanpa membalas dengan kekerasan. Konsep spiral kekerasan menggambarkan dengan jelas bahaya dari siklus kekerasan yang tidak pernah berujung, dan itulah mengapa penting untuk memutusnya dengan pendekatan yang damai dan penuh belas kasihan.

Sejarah Indonesia tidak lepas dari sejarah kekerasan dan pembalasan dendam yang berspiral hingga memakan banyak korban. Berbagai konflik yang mewarnai sejarah negara hingga hari ini menjadi peringatan bagi kita untuk terus menghindarkan diri dari kejatuhan kita pada spiral kekerasan. Oleh karena itu, kita perlu mengingat prinsip Ahimsa dalam menghadapi konteks pasca-pemilu ini. Rasa hormat terhadap satu sama lain perlu dimunculkan dari rasa hormat kita terhadap kehidupan yang sakral itu sendiri. Pilihan politik, kemenangan dan kekalahan yang dihadapi, semua itu tidak lebih penting daripada kehidupan dan pola hubungan baik yang jauh lebih penting dan lebih sakral. Dengan menginternalisasi prinsip-prinsip Ahimsa dalam kehidupan demokrasi kita, kita dapat membawa perubahan yang positif dan berkelanjutan bagi masyarakat. Kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, berempati, dan damai, di mana setiap individu dihargai dan diakui sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan yang lebih besar.

Facebook Comments