AI dan Kembalinya Manusia Ke Masa Bermain

AI dan Kembalinya Manusia Ke Masa Bermain

- in Narasi
49
0
AI dan Kembalinya Manusia Ke Masa Bermain

Power puts into play of dynamic of constant struggle. There is no escaping it. But there is freedom in knowing the game is yours to play.

—Michel Foucault

Segenap teori resistensi seolah rubuh, atau setidaknya membutuhkan perombakan yang jauh dari bayangan awal, ketika orang hidup di era revolusi industri 4.0. Di era ini dinamika kehidupan orang seperti tak gampang untuk sekedar dikategorisasikan. Taruhlah teori tentang pergolakan kelas ala tradisi “kiri” maupun pergolakan “kaum kafir” dan “kaum beriman” dalam tradisi “kanan.”

Pertanyaan besarnya, apakah dalam pergolakan itu kaum “kapitalis” ataupun “kaum kafir” yang menjadi pemenang mengingat sejarah teknologi adalah sepenggal sejarah yang lekat dengan citra modal dan “thagut”?

Dengan berbagai bukti yang ada, ketika orang hidup di masa revolusi industri 4.0 yang jelas-jelas telah menggeser peran manusia, tak ada yang menjadi pemenang. Taruhlah organisasi-organisasi keagamaan radikal seperti IS, pada tataran “akidah” mereka terbukti membuat penyimpangan. Dan pada titik inilah orang sampai pada hakikat manusia yang memang tak pernah “ideologis,” ketika ideologi di sini adalah hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide besar.

Artificial Intelligence, di hari ini, adalah salah satu faktor yang membuat ideologi itu sekedar pecut untuk menggerakkan para kuda terlepas mereka akan bergerak ke mana atau seperti apa. Sangat jelas, logika AI bukanlah logika manusia. Fenomena deepfake ataupun chatbot, sebagai bagian dari AI, memberi ruang pada manusia untuk tak lagi ideologis. Bahkan, AI seolah justru mengembalikan lagi kecenderungan manusia untuk “bermain” sebagaimana di masa kanak-kanak.

Taruhlah fenomena pilpres 2024 yang lalu, dari berbagai cara berkampanye (dan barangkali juga logika dalam berkuasa), bukankah sama sekali tak ada hubungannya ide-ide besar seperti kesejahteraan, keadilan, dsb., dengan pencitraan seperti “Naruto,” “Top Gun,” bahkan “Malaikat Jibril” dan “Imam Mahdi”—hal-hal yang lekat dengan logika anak-anak?

Kuasa, dalam pengertian Foucault, yang di hari ini gamblang pada logika AI, sebagai bagian dari revolusi industri 4.0 yang terjadi, memang terkesan sama sekali tak memberikan ruang bagi terjadinya resistensi. Itulah kenapa IS, sebagai salah satu ekspresi keagamaan yang paling radikal, sampai mesti menelan kembali ludah ideologisnya demi tuntutan logika bermain AI.

Demikianlah kuasa yang menurut Foucault benar-benar laiknya udara yang tanpanya orang tak mungkin hidup. Namun, dominasi kuasa yang sedemikian menjerat semacam AI itu bukanlah semacam konsep takdir kaum Jabariyah yang mengenyahkan kebebasan manusia. Tetap terdapat kebebasan, kata Foucault, meskipun sebatas untuk mengetahui bahwa permainan kuasa itu adalah permainan yang mesti kita mainkan (The Passion of Michel Foucault, 1993). Pada tahap inilah kemudian dengan logika AI, para teroris yang terpaksa menjual jiwanya pada kuasa teknologi, berupaya melakukan apa yang diistilahkan Foucault sebagai “subjektifikasi” dengan berbagai cara. “Kafir” dan “beriman” adalah salah satu bentuk subjektifikasi tersebut.

Dengan demikian, dengan merunut logika Foucault, “kafir” ataupun “beriman” hanyalah sebuah subjektifikasi yang bersifat “artificial” atau hanyalah sekedar konstruksi. Celah yang kemudian tersingkap adalah juga dengan logika AI, dengan melakukan desubjektifikasi atau, dengan kembali pada Foucault, “hidup laiknya sebuah karya seni,” karena hanyalah logika seni yang memungkinkan orang untuk mengkonstruksi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi.

Facebook Comments