AICIS 2023, Piagam Surabaya, dan Seruan Kaum Intelektual Melawan Politik Identitas

AICIS 2023, Piagam Surabaya, dan Seruan Kaum Intelektual Melawan Politik Identitas

- in Faktual
498
0
AICIS 2023, Piagam Surabaya, dan Seruan Kaum Intelektual Melawan Politik Identitas

Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 kembali digelar. Tahun ini AICIS bertempat di UIN Sunan Ampel Surabaya pada 2-4 Mei 2023. AICIS merupakan ajang tahunan konferensi ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). AICIS diikuti oleh para akademisi, peneliti, dan pegiat isu-isu keislaman dan studi keagamaan. Tahun ini, gelaran AICIS mengusung tema besar “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace”.

Selain menghadirkan narasumber lokal, AICIS tahun ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya juga menghadirkan pembicara internasional. Tahun ini hadir Abdullah Ahmed an Naim (Amerika Serikat), Mashood Baderin (Inggris), Sadi Erin (Turki) dan sejumlah nama lainnya. Gelaran AICIS ditutup dengan pembacaan deklarasi Piagam Surabaya (Surabaya Chater) yang berisi enam poin.

Salah satu poin menarik adalah seruan untuk menolak politik identitas. Seruan ini merupakan poin ke lima dalam deklarasi Piagam Surabaya. Redaksi lengkapnya berbunyi “menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik; fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras”. Seruan ini menjadi penting dan relevan dengan situasi kebangsaan hari ini yang diwarnai oleh polarisasi masyarakat akibat mewabahnya politik identitas berbasis agama.

Residu Politik Identitas; Dari Intoleransi ke Radikalisme

Politik identitas merupakan strategi politik yang mengeksploitasi sentimen perbedaan identitas untuk menyerang lawan politik dan meraih simpati publik. Praktik politik identitas kerap berkelindan dengan berita palsu, fitnah, provokasi, dan ujaran kebencian yang menimbulkan perpecahan di masyarakat. Praktik politik identitas merupakan strategi kotor yang bertentangan dengan demokrasi dan etika politik.

Di Indonesia, wabah politik identitas bermula dari kontestasi politik Pilpres 2014. Praktik politik identitas mencapai titik puncaknya pada momen Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Sejarah akan mencatat Pilkada DKI Jakarta 2017 sebagai proses politik paling brutal yang diwarnai eksploitasi sentimen keagamaan. Ironisnya, praktik politik identitas kembali terulang pada Pilpres 2019.

Banyak survei mengungkap bahwa politik identitas menyumbang andil pada menguatnya intoleransi agama. Fanatisme politik yang berkelindan dengan konservatisme keagamaan telah menjebak kita pada nalar konfliktual. Siapa pun yang berbeda afiliasi politik pasti dianggap musuh yang harus dienyahkan. Tidak hanya itu, politik identitas juga membuka jalan bagi mewabahnya ideologi keagamaan radikal-ekstrem yang menjadi akar kekerasan dan teror berbasis agama.

Deklarasi Piagam Surabaya bisa dikatakan sebagai komitmen kaum intelektual dalam menyelesaikan problem kebangsaan. Di tengah sengkarut kebangsaan yang salah satunya disumbang oleh fenomena politik identitas tersebut, kaum intelektual memang tidak boleh tinggal diam. Peran intelelektual sangat dibutuhkan untuk menjaga negara dan bangsa dari ancaman konflik dan perpecahan.

Peran Kaum Intelektual Mengatasi Problem Kebangsaan

Menurut filosof Italia Antonio Gramsci, kaum intelektual tidak boleh tercerabut dari realitas sosial dimana mereka hidup. Kaum intelektual tidak boleh tinggal di “menara gading” alias berjarak dengan masyarakat. Sebaliknya, kaum intelektual harus terlibat dalam gerakan sosial demi mengurai problem kemasyarakatan. Itulah yang disebut Gramsci sebagai “intelektual organik”.

Dalam konteks keindoneisaan hari ini, peran intelektual terutama yang berasal dari rumpun keilmuan sosio-humaniora idealnya diarahkan pada upaya mencegah perpecahan bangsa yang dilatari oleh politik identitas. Maka, deklarasi Piagam Surabaya bisa dikatakan sebagai representasi konsep intelektual organik ala Gramsci.

Peran intelektual dalam isu sosial-politik sangat penting. Terlebih saat ini kita tengah memasuki tahun politik menuju Pilpres 2024. Kekhawatiran bahwa politik identitas akan kembali mewabah di tengah masyarakat cukup beralasan. Mengingat sejak saat ini pun narasi-narasi kebencian berbasis sentimen identitas agama itu sudah mulai marak. Di tengah kondisi yang demikian ini, kaum intelektual sebagai golongan yang disebut Ali Syariati sebagai “arrasihuna fil ilmi” harus mendampingi masyarakat agar tidak terperangkap oleh jebakan politik identitas.

Di satu sisi, kaum intelektual harus netral dalam konteks politik praktis. Peran kaum intelektual adalah sebagai pendidik, peneliti, dan penjaga marwah keilmuan. Bukan justru menjadi bagian dari aktivitas dukung-mendukung politik praktis yang dibumbui dengan fanatisme buta. Sikap netral kaum intelektual ini penting untuk menjaga iklim demokrasi tetap stabil dan seimbang. Bagaimana pun, demokrasi membutuhkan kontrol dan kaum intelektual adalah salah satu yang diharapkan bisa menjalankan fungsi kontrol (check and balance) tersebut.

Di sisi lain, kaum intelektual juga harus berperan aktif memberikan pencerahan pada publik ihwal bagaimana merayakan pesta demokrasi tanpa membahayakan integrasi bangsa. Lebih spesifik, kaum intelektual harus aktif memberikan penyadaran pada publik ihwal bahaya politik identitas dan politisasi agama. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari menulis di media massa, membuat konten di media sosial, atau yang paling mudah yakni dimulai dari ruang-ruang kelas.

Facebook Comments