Akar Ideologi Bom Bunuh Diri : Salah Memahami Tahkim dan Takfir

Akar Ideologi Bom Bunuh Diri : Salah Memahami Tahkim dan Takfir

- in Analisa
515
0
Akar Ideologi Bom Bunuh Diri : Salah Memahami Tahkim dan Takfir

Kemarin kita dikejutkan dengan sebuah berita tentang aksi seseorang teroris yang melakukan bom bunuh diri di Polsek Astana, Kecamatan Anyar Bandung (7/12). Akibat aksi ini pelaku korban dan 1 aparat polisi meninggal serta beberapa korban lainnya menderita luka berat.

Masyarakat tentu bertanya-tanya di tengah-tengah kemajuan peradaban dunia yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi masih ada orang yang rela melakukan tindakan konyol seperti itu, rela bunuh diri dengan cara yang mengerikan? Apa yang mereka cari? dan apa yang mendorong mereka melakukan hal tersebut?

Terorisme adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak menggunakan logika, tetapi menggunakan pemahaman yang doktriner. Dalam menerima doktrin yang dikedepankan adalah emosi, ilusi, perasaan bukan logika.

Salah satu bentuk pemahaman kelompok terorisme dalam masalah keagamaan adalah mereka yang tidak menjalankan syariat atau hukum Allah adalah kafir. Kafir dalam pandangan mereka boleh halal darahnya dan boleh menyita harta kekayaannya.

Pemahaman tersebut muncul akibat dari doktrin tentang tahkimartinya hukum hanya pada Allah tidak ada hukum selain hukum Allah. Jadi, mereka yang tidak menjalankan hukum Allah ia disebut kafir. Indonesia dalam pandangan mereka tidak menjalankan hukum Allah karena tidak menjalankan sistem pemerintahan khilafah dan tidak menerapkan syariat Islam.

Konsekuensi dari pemahaman itu lembaga dan anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah thogut artinya mereka adalah kelompok yang dhalim karena mengabaikan perintah Tuhan. Nah, polisi sebagai aparat keamanan dianggap sebagai ujung tombak pelaksanaan semua ini karena itu menjadi target mereka.

Pemahaman tentang kafir inilah yang mendorong mereka siap dan rela melakukan bunuh diri demi untuk menegakkan hukum Allah. Mereka menanggap bunuh diri adalah bagian dari perjuangan dalam menegakkan syariat Allah dan siapapun yang meninggal dalam memperjuangkan syariat Allah ia mati syahid. Jadi ada tiga poin yang mereka salah memahami yaitu; tahkim (hukum Allah), kafir dan syahid. Semuanya disalahpahami!

Meluruskan Pemahaman tentang Tahkim dan Takfir

Ideologi tentang tahkim dan takfir memang memiliki akar sejarah dalam salah satu sekte Islam, tetapi sekte ini tidak diterima oleh ulama-ulama salafussalih karena dianggap menyimpang dalam memahami nash Alquran. Kelompok ini disebut khawarij atau kelompok yang keluar dari pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib Radiallahu anhu karena menganggapnya tidak menjalankan hukum Allah dalam menyelesaikan konflik. Padahal langkah Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menunda penyelesaian konflik itu adalah dalam rangka meredahkan situasi bukan berpihak pada satu kelompok dan itu sangat bijaksana.

Pemahaman mereka tentang tahkim sangat leterleks dan menempatkan dalil tentang tahkim bukan pada tempatnya. Ayat ini lebih merujuk pada fenomena umat yang terjadi kalangan ahlul kitab sebelum nabi datang. Ayat yang semestinya menjadi landasan dalam menceritakan kondisi umat lain, tetapi mereka giring untuk menjustifikasi syahwat politik mereka.

Kemudian kesalahan yang kedua adalah kesalahan dalam melabeli seseorang menjadi kafir akibat dosa yang dilakukan seseorang. Artinya orang-orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, berzina, merampok atau mencuri adalah kafir. Jadi, jika seseorang melakukan dosa besar mereka menghukuminya sebagai kafir, termasuk ketika sebuah pemerintahan tidak menjalankan hukum Allah dianggap kafir yang halal darahnya dan boleh menyita harta kekayaannya.

Pemahaman mereka ini tentang kafir bertolak dari pijakan mengaitkan perbuatan dengan keimanan. Artinya, jika seseorang melakukan dosa besar seperti membunuh atau dhalim tidak menegakkan hukum Allah, ia adalah thagut dan thgohut itu adalah kafir karena bagian dari setan. Polisi dan seluruh aparat negara, semuanya adalah thaghut karena membuat hukum bukan hukum Allah.

Ulama Ahlussunnah Waljamaah yang ajarannya mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia tidak memahami demikian. Perbuatan seseorang apakah dosa kecil atau dosa besar tidak bisa dikategorikan kafir karena iman yang ada dalam jiwanya kadang berkurang dan kadang bertambah. Ketika seseorang melakukan dosa atau kesalahan kemungkinan saat itu imannya lagi turun dan begitu juga sebaliknya ketika seseorang melakukan kebaikan pada saat itu imanya lagi kuat dan meningkat.

Bisa saja seseorang melakukan kesalahan atau dosa besar seperti membunuh, menganiaya tetapi setelah itu dia sadar dan menyesali perbuatannya karena itu tidak bisa dihukum kafir. Pelabelan kafir hanya bagi mereka yang tidak ada iman terhadap Tuhan dalam hatinya. Selama ada iman atau kepercayaan terhadap Allah, tidak boleh dilabeli kafir. Jangankan sesama muslim dengan agama lainpun tidak boleh dilabeli kafir karena mereka yang beragama pasti ada dalam hatinya keimanan terhadap Tuhan. Dalam Al-Quran misalnya Allah berfirman :

إن الذين امنوا والذين هادوا والنصاري والصابئين من أمن بالله واليوم الأخر وعمل صالحا فلهم أحرهم عند ربهم ولاخوف عليهم ولاهم يحزنزن (البقرة 62)

Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa kita tidak boleh menghakimi orang lain sebagi kafir karena Allah sudah menjami mereka yang beriman kepada Allah dan beramal soleh akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

Orang yang beriman kepada nabi Muhammad SAW atau pengikut disebut mukminin. Begitu pula orang-orang yang menjadi pengikuti nabi Musa disebut Yahudi dan mereka yang menjadi pengikuti nabi Isa AS disebut Nasara dan mereka yang menjadi pengikuti nabi-nabi dan orang orang saleh selain ketiga nabi itu disebut Sabiinn dan jika semua ini percaya kepada Tuhan dan hari kiamat mereka dijamin oleh Allah mendapatkan pahala di sisinya.

Tetapi, dalam pandangan kelompok radikal teroris bukan saja yang berbeda agama, bahkan yang sesama agamapun dianggap kafir dan ahli neraka. Ini adalah salah satu kesalahan fatal dalam doktrin radikal terorisme yang melabeli orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai kafir dan menganggap orang lain yang bukan bagiannya bahkan memperlakukannya di luar kewajaran seperti menyasar aparat kepolisian yang tidak berdosa.

Paham-paham ini tumbuh berkembang di kalangan kelompok radikal terroris. Mereka memproduksi buku-buku dan menterjemahkan buku-buku yang memuat ajaran-ajaran seperti ini lalu mereka doktrinkan kepada masyarakat kita yang tidak paham agama.

Oleh karena itu, terorisme itu adalah akibat kesalahpahaman memahami teks-teks agama dan tidak menggunakan logika dan pengetahuan dalam memahami teks itu sendiri. Padahal, salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan dalam memahami teks adalah ilmu. Jika tidak ada ilmu maka logika tidak akan bekerja dan jika logika tidak bekerja maka akan salah memahami.

Tidak mengherankan mereka yang terlibat dalam jaringan terorisme tidak akan terbuka dan tidak akan menerima dialog. Bagi mereka, kebenaran adalah apa yang tertanam dalam pikirannya dan tidak akan menerima apa yang orang lain pahami.

Apa yang terjadi di Polsek Astana Anyar memberikan petunjuk kepada bahwa kita harus selalu waspada terhadap penyebaran paham-paham radikal terorisme bukan saja kepada diri kita sendiri tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat yang ada di sekitar kita. Karena perlu sekali sinergi semua pihak dan secara aktif mendukung pemerintah dalam menyelesaikan penyebaran paham-paham radikal terorisme paling tidak di lingkungan kita masing-masing.

Facebook Comments