Akhir Agustus, ketika sejumlah kota di Indonesia dilanda demonstrasi massa, media sosial pun ikut bergejolak. Riset Monash Data and Democracy Research Hub mencoba menganalisa percakapan digital di tanggal 25-31 Agustus, hari-hari ketika demonstrasi terjadi.
Selama kurun waktu tersebut, terdapat 10 juta unggahan, dimana 29 persen di antaranya bernuansa toxic dan 20 persen lainnya mengarah pada polarisasi kelas, sedangkan 47 persen lainnya bernada kemarahan. Artinya, secara presentase unggahan bernuansa kemarahan menjadi narasi yang dominan dari 10 juta unggahan yang muncul di sepakan terkahir bulan Agustus tersebut.
Kekecewaan kolektif yang ditumpahkan di media sosial inilah yang lantas melahirkan fenomena algoritma kemarahan. Yakni kondisi ketika media sosial kita didominasi oleh unggahan yang berisi ekspresi kecewa dan amarah.
Algoritma kemarahan tercipta ketika unggahan dengan ekspresi amarah membanjiri lininmasa media sosial kita dan mendapat engangemet yang besar dan luas, melalui like, komen, share, dan sebagainya. Alhasil, narasi kemarahan mendominasi nyaris seluruh percakapan digital sehingga nyaris tidak tersisa ruang untuk narasi lain.
Algoritma kemarahan bisa dipahami dari dua sisi. Pertama, narasi kemarahan kolektif itu sebenernya tidak mencerminkan realitas di lapangan yang sesungguhnya. Melainkan lebih sengaja cerminan efek echo chamber media sosial.
Apa yang tengah trending di media sosial cenderung diamplifikasi secara masif oleh netizen sehingga melahirkan efek bola salju. Semakin menggelinding semakin besar dan melaju liar tanpa kendali. Itulah yang terlihat dari perbincangan di media sosial dimana netizen cenderung beropini dengan tone marah.
Sedangkan pihak-pihak yang memilih menahan diri dengan diam atau tidak berkomentar mendapat label negatif sebagian tone deaf, apatis, tidak peduli, tidak kritis, dan label sejenisnya. Akhirnya, mau tidak mau netizen pun ikut-ikutan marah lantaran khawatir diserang gelombang cancel culture atau sekadar dikucilkan.
Kedua, algoritma kemarahan digital di media sosial itu sengaja diskenariokan digerakkan oleh oknum-oknum tertentu. Asumsi ini dibuktikan dengan ditangkapnya sejumlah provokator medsos yang terbukti menggunggah konten dengan narasi ajakan berbuat rusuh.
Polisi tentu tidak sembarangan menerapkan individu sebagai tersangka tindakan hasutan, tanpa bukti kuat. Jejak digital unggahan tidak akan pernah terhapus, dan itu membuktikan bahwa memang ada upaya memobilisasi persepsi massa agar marah pada institusi tertentu, khususnya pemerintah.
Ketiga, algoritma kemarahan ini wujud dari ketidakdewasaan kita dalam berdemokrasi yang sudah menggejala dan mewabah selama satu dekade terakhir. Jika diamati secara obyektif, ada kecenderungan bahwa netizen Indonesia memang semakin overreaktif dalam menyikapi sebuah isu atau peristiwa. Netizen lebih mudah tersulut emosinya atas sebuah kejadian tanpa berusaha melihat hal itu dari berbagai sudut pandang dan perspektif yang bijak.
Kegaduhan di ranah digital inilah yang lantas melahirkan gelombang delegitmasi terhadap pemerintah. Tudingan pemerintah gagal, aparat represif, bahkan kembalinya rezim otoriter santer membanjiri ruang publik kita. Padahal, respons pemerintah dan aparat itu merupakan reaksi yang muncul karena ada aksi.
Di era digital, ketika media sosial dianggap sebagai barometer dan arena pertarungan wacana, kebeneran dan kepalsuan kerap tipis batasnya. Termasuk dalam hal simpati publik atas aksi massa atau demonstrasi.
Ada sebagian kelompok yang bersimpati pada aksi massa, namun menolak kekerasan atas dasar komitmen pada demokrasi. Namun, tidak sedikit yang pura-pura simpati, hanya karena takut dilabeli apatis atau tone deaf. Bahkan, muncul pula simpati semu dari kaum konservatif radikal yang seolah-olah mendukung demonstrasi, padahal mereka sebenernya sangat anti terhadap demokrasi itu sendiri. Sikap simpati semu itu tidak lain bertujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah.
Algoritma kemarahan di medsos tentu patut menjadi konsern bersama. Dari perspektif psikologi kebangsaan, ledakan kemarahan digital tentu kontra produktif dengan upaya membangun demokrasi yang sehat. Demokrasi modern mensyaratkan adanya ruang publik yang egaliter dimana segala perbedaan pandangan dikontestasikan dengan basis rasio dan nalar dialogis.
Kemarahan adalah wujud kegagalan kita mendialogkan perbedaan. Kemarahan adalah ekspresi frustasi kita lantaran gagal memahami akar persoalan. Kemarahan kolektif juga muncul dari rasa pesimisme akan masa depan bangsa. Bahwa seolah-olah bangsa ini tidak punya harapan ke depan. Maka, sudah saatnya kita meredam amarah kolektif ini dengan membangun kembali optimisme berbangsa.
Di usia Indonesia yang menginjak delapan puluh tahun ini, tentu ada banyak ketidaksempurnaan di sana sini. Berbagai problem moral menjangkiti institusi politik kita. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih menjadi problem klasik.
Kesenjangan sosial juga masih menjadi kerikil dalam perjalanan bangsa. Namun, itu semua adalah problem yang pasti ada di negara yang ada di masa transisi dari berkembang ke maju, dari otoriter ke demokrasi.
Dari sisi politik, kita perlu melakukan konsolidasi internal. Reformasi institusi atau lembaga pemerintah untuk memberangus korupsi dan praktik kotor lainnya perlu terus diintensifkan.
Dari sisi sosial, kita perlu membangun budaya dialog yang konstruktif. Dengan begitu, ke depan tidak akan ada lagi ledakan kemarahan massa yang rawan dijadikan alat untuk mendelegitimasi pemerintah.